Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ulasan Film "Malcolm X"

13 Januari 2018   21:58 Diperbarui: 14 Januari 2018   10:07 2771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.austinchronicle.com

Malcolm X 

Dalam sebuah tamsil yang cukup mashur, diceritakan tentang seorang pertapa yang kesehariannya tidak lepas dari mengingat Tuhannya. Karena dia dianggap sebagai orang yang sangat suci dan terhormat, masyarakat pun sangat menghormati dan menaati dirinya. 

Karena dia mempunyai pengaruh sangat besar juga selalu mendekat pada penciptanya, setan pun senantiasa mengganggu dan menggoda dirinya. Tetapi sekian lama setan menggoda dan sekian upaya dipakai untuk mengganggu, orang tersebut tetap saja tidak tergoda mengikuti ajakan setan. 

Sampai suatu ketika akhirnya setan mempunyai formula menghancurkan orang tersebut. Caranya adalah dengan menitipkan seorang gadis kecil pada si pertapa dengan dalih supaya mengajari kebaikan bagi wanita tersebut. Karena diminta merawat seorang gadis kecil, si pertapa tidak kuasa menolaknya. 

Tetapi waktu berjalan, gadis kecil yang dititipkan kepada si pertapa tumbuh menjadi wanita muda yang manis, cantik dan menggoda. Sekian lama si pertapa menahan hasrat dirinya sebagai lelaki melihat wanita cantik, akhirnya defense mechanism yang dia miliki runtuh. Si pertapa menggauli perempuan yang bukan istrinya alias berzina. 

Usai bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, si pertapa takut membayangkan bila kelakuannya itu diketahui masyarakat. Mereka yang menghormati nya bukan hanya berbalik akan mencercanya, bahkan juga mungkin akan membunuhnya. Karena nya si pertapa pun lalu membunuh si wanita tersebut untuk menutupi jejak kejahatannya. 

Usai membunuh, rupanya si pertapa tersebut sadar bila itu juga tindakan terlarang. Si pertapa bingung dengan apa yang sudah dilakukannya. Dalam kebingungan tersebut, dia pun menghadapi nya dengan meminum tuak supaya semua masalah terlupakan. Seketika dalam satu waktu, ada tiga dosa yang dilakukan si pertapa dalam waktu singkat : berzina, membunuh dan meminum arak. 

Mungkin tamsil inilah diantara cara memahami jalan hidup seorang Malcolm X, tetapi dalam alur yang dibalik. 

Sebagai seorang muslim pembela hak-hak warga kulit hitam Amerika, Malcolm seperti memegang teguh ide Islam Transformatif dimana orang mesti aktif melakukan transformasi sosial, tidak boleh diam begitu saja melihat realitas yang menyimpang.

Seperti yang disebutkan Sir Muhammad Iqbal, watak transformasi Islam terlihat dari peristiwa Isra Mi'rajnya Nabi. Bila tujuan tertinggi seorang Muslim adalah bertemu dengan Tuhan-Nya (liqa rabbihi), mestinya ketika Nabi Mi'raj dan bertemu langsung dengan Allah, putra Abdullah ini seharusnya memilih tinggal di langit bersama Tuhan nya. Tetapi itu tidak dilakukan. Nabi memilih kembali ke bumi ketimbang berada di langit bersama Tuhan. 

Masa muda Malcolm juga berbeda dengan si pertapa. Suram dan penuh dengan kekerasan dan kejahatan. Malcolm muda adalah mucikari, pencuri, pemadat, pengedar narkoba juga anggota gang. Adapun masa kecilnya, Malcolm hidup dalam tekanan diskriminasi rasial terhadap warga kulit hitam. Rumahnya dibakar kelompok Kristen fanatik, Ku Klux Klan, yang tidak menghendaki ada orang kulit hitam yang tinggal di daerah mereka. Tidak hanya itu, Bapak nya pun dibunuh dengan cara diikat hidup-hidup di rel kereta api. 

Malcolm kecil juga mesti mengubur cita-citanya untuk menjadi lawyer. Meskipun dia adalah siswa terbaik di kelasnya. Karena lawyer adalah profesi elite yang hanya pantas bagi orang kulit putih.

Kehidupan Malcolm muda berakhir di penjara karena kasus pencurian. Hukuman terhadap Malcolm bertambah berat karena sentimen hakim yang mengetahui kalau Malcolm sudah tidur dengan perempuan kulit putih. Suatu hal yang sangat tabu dan menghina bagi orang kulit putih pada masa itu. 

Tetapi penjara inilah yang kemudian merubah jalan hidupnya. Di penjara Malcolm bertemu dengan Baines, seorang muslim berkulit hitam dari organisasi Nation of Islam, yang mengingatkan Malcolm tentang jalan hidupnya yang keliru dan memperkenalkan Islam sebagai sebuah cara pandang baru. Malcolm menerima cara pandang yang disampaikan Baines, sampai kemudian masuk Islam, bergabung dengan Nation of Islam dan menjadikan Elliah, Ketua Nation of Islam, sebagai pemimpin yang dia kagumi. 

Dalam hidup Malcolm sendiri, selain penjara, maka ber Haji ke Makkah adalah dua hal yang merubah pandangan dan cara hidupnya secara drastis. 

Penjara bukan hanya memperkenalkan Malcolm dengan Islam, tetapi merubah haluan hidupnya. Usai keluar dari penjara, Malcolm aktif melakukan gerakan penyadaran akan hak-hak warga kulit hitam juga melakukan upaya advokasi. Ceramahnya yang menarik, tidak hanya membuat orang tertarik mendengarkan, tetapi juga membuat organisasi Nation of Islam bertambah besar. 

Tetapi dalam masa ini, Malcolm dianggap rasis. Malcolm memperjuangkan hak warga kulit hitam dengan menebar kebencian terhadap warga kulit putih dan tidak mau bekerjasama dengan warga kulit putih atau kelompok-kelompok kulit hitam lainnya yang mempunyai isyu yang sama. Sehingga digambarkan ketika ada warga kulit putih bersimpati dan setuju terhadap perjuangan Malcolm dan bertanya apa yang bisa dia lakukan, Malcolm menolak untuk dibantu. Dalam menyelesaikan masalah diskriminasi di Amerika, Malcolm dan organisasinya mengusulkan pemisahan warga kulit hitam dan warga kulit putih. 

Pada masa ini juga Malcolm mendapat kenyataan pahit. Eliah yang selalu dia jadikan panutan dan Nation of Islam tempat dia bernaung, ternyata sudah menyimpang dari tujuan semula. Organisasi yang semakin besar dan dikenal, ternyata dimanfaatkan oleh sebagian elite nya untuk memperkaya diri. Bukan hanya menyimpang dari tujuan semula, bahkan menyimpang dengan nilai-nilai Islam. 

Dalam kondisi seperti ini, Malcolm X menyatakan keluar dari Nation of Islam. Lalu untuk lebih mendalami Islam dan meluaskan cara pandang, Malcolm pergi ke Makkah untuk melaksanakan Haji. 

Ketika melaksanakan Haji inilah Malcolm mendapat pengalaman hidup yang tidak pernah dia dapat sebelumnya. Dia bisa bersama-sama berkumpul dengan warga dunia lainnya meski berbeda-beda warna kulit dan ras. Bahkan dalam satu kesempatan, Malcolm bisa makan dan minum bersama dengan memakai tempat dan gelas yang sama dengan orang kulit putih. Sesuatu yang tidak pernah dia alami sebelumnya di Amerika. Malcolm menemui kenyataan bahwa orang kulit putih yang selama ini dia caci maki, ternyata juga ada yang baik. Haji sudah mencerahkan Malcolm.

Sepulang dari Makkah, Malcolm punya sikap dan pandangan yang berbeda dengan sebelumnya. Malcolm bersedia bekerjasama dengan kelompok-kelompok kulit hitam lainnya dalam memperjuangkan hak-hak mereka, juga mempunyai pandangan yang lebih positif terhadap warga kulit putih yang selama ini dia anggap seluruhnya penindas. 

Tetapi pertentangan Malcolm dengan Nation of Islam semakin meruncing. Malcolm mempunyai cara pandang berbeda dalam memperjuangkan hak-hak orang Afro-America. Masalahnya semakin meruncing manakala CIA juga mengambil kesempatan dalam konflik ini. Malcolm menduga bahwa penolakan warga kulit hitam terhadap dirinya sudah tidak lagi murni, tapi juga ditunggangi oleh CIA. Orang-orang yang menteror dirinya, adalah orang-orang yang dibiayai CIA, begitu juga dengan orang-orang yang disuruh untuk membunuh dirinya. 

CIA sendiri memang bukan hanya mengikuti Malcolm ketika dia pergi Haji dan mengadakan kunjungan ke Mesir, tetapi juga mensadap seluruh pembicaraan telepon Malcolm. 

Seperti Gandhi, ujung hidup Malcolm memang berakhir sangat dramatis. Bila Gandhi meninggal ditembak oleh orang India yang selama ini dia bela dari kolonialisme Inggris, maka Malcolm meninggal ditembak oleh warga kulit hitam yang selama ini dia perjuangkan hak-hak nya. 

Begitu juga sebab penembakannya. Bila penembak Gandhi adalah orang yang kecewa terhadap sikap Gandhi yang akomodatif terhadap Ali Jinnah, yang memisahkan diri dari India dengan membuat negara Pakistan dan dibenci banyak orang India, serta pembelaannya terhadap minoritas muslim India, maka penembak Malcolm juga orang kulit hitam yang kecewa terhadap arah baru perjuangan Malcolm yang ingin lebih terbuka terhadap kelompok lain. 

Dalam hal waktu kematian, Malcolm seperti menjalani hari-hari menjelang kematian sebagaimana orang-orang baik yang akan meninggal. Dalam kepercayaan banyak orang Islam, orang baik selalu mempunyai firasat bila kematian sudah mendekatinya. Begitu juga dengan Malcolm. Menjelang pidatonya di sebuah pertemuan, Malcolm seperti sudah memprediksi bila itu adalah hari terakhirnya di dunia. 

Membaca sejarah hidup Malcolm X seperti mengingatkan kita sebait ungkapan dari Oscar Wilde penyair dan novelis Irlandia yang mengatakan bahwa "Every saint has a past and every sinner has a future" 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun