Permasalahan pendidikan menjadi lebih kompleks ketika kita melihat ke dunia ketiga seperti Kenya yang diungkap dalam film "The First Grader".Â
Dilihat dari cara mengajar, Jane bukan hanya guru yang tahu cara berhadapan dengan anak-anak didik, tetapi perempuan yang sangat mencintai dunia pendidikan. Hanya masalahnya Jane hidup di negara dunia ketiga Kenya dengan segudang permasalahan yang tidak bisa tuntas dengan mengandalkan kreativitas seorang guru.Â
Sebagai kepala sekolah, Jane tidak hanya berhadapan dengan rasio guru-murid yang tidak seimbang tetapi juga rasio murid-bangku sekolah yang tidak sepadan sehingga banyak anak didiknya yang mesti duduk dilantai. Apalagi kalau dilihat dari kelayakan bangunan sekolahnya beserta perlengkapannya.
Tetapi mungkin yang terberat adalah dimensi sosial politik Kenya itu sendiri. Jane mesti berhadapan dengan politisi yang datang ke sekolahnya yang reyot dengan memakai mobil mewah seolah ingin menunjukan kepedulian, tetapi di belakang itu stafnya "meminta jatah" kepada Jane karena menganggap sekolah Jane mendapat bantuan dana dari luar. Jane juga harus berhadapan dengan sentimen kesukuan pasca lepasnya Kenya dari kolonialisme Inggris.Â
Adalah Maruge, mantan pejuang kemerdekaan yang berasal dari suku Kikuyu yang mendapat pengumuman pemerintah tentang program pendidikan gratis bagi semua orang Kenya. Meski Maruge sudah berumur 85 tahun, dia bersikeras ingin ikut sekolah dasar pimpinan Jane karena dia ingin membaca.Â
Selain umur Maruge yang sudah 85 tahun, segitiga antara Jane-Maruge dan dinamika sosial politik di Kenya inilah yang menjadi perhatian dalam "The First Grader".Â
Maruge yang berasal dari suku Kikuyu yang dulu nya dianggap pemberontak karena menentang kolonialisme Inggris, mesti berhadapan dengan birokrat pendidikan Kenya yang secara keturunan berasal dari suku yang dulu sangat loyal terhadap kolonialisme Inggris.Â
Begitu juga dengan Jane yang tidak hanya mesti berurusan dengan politisi korup, tetapi juga harus berhadapan dengan intrik politik birokrasi pendidikan dan tekanan masyarakat yang membuatnya mesti tersingkir dari sekolah yang dipimpinnya.Â
Karena film ini berkaitan dengan dimensi sosial politik di Kenya, maka film ini juga sarat kritikan terhadap para politisi dan pemangku kebijakan pendidikan di Kenya.
Film ini tidak hanya pengkritik tentang politisi korup yang datang ke sekolah reyot untuk "meminta jatah", tetapi juga mengkritik bagaimana cara politisi dan pemangku kebijakan menerapkan kebijakan.Â