Dulu saya menghabiskan pendidikan sekolah menengah pertama di Pondok Pesantren Modern Daarut Taqwa. Waktu itu ustadz-ustadz saya mengingatkan bahwa penamaan nama "Modern" bukan berarti sekolah kami diisi dengan peralatan yang canggih dan modern, tetapi lebih kepada metodologi dan kurikulum pendidikan. Jadi kami tidak hanya diajarkan ilmu-ilmu tradisional seperti Nahwu Sharaf, Bahasa Arab, Ilmu Tafsir, Hadits atau khat, tetapi juga diajarkan tentang Matematika, Fisika, Biologi dll. Karenanya jam belajar kami sangatlah berat dan panjang. Masuk kelas jam 07.00 dan selesai menjelang adzan Ashar.
Ketika itu diantara ustadz-ustadz kami banyak yang masih sangat muda dan energik. Umurnya mungkin 17-18 tahun. Oleh ustadz-ustadz senior, kami diberitahu bila mereka itu guru-guru yang sedang menjalani pengabdian di Pondok kami selama setahun. Mereka adalah santri-santri dari Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Yah, karena Pondok kami didirikan oleh alumni Gontor, maka kami punya keterkaitan dengan Gontor. Dan hampir setiap tahun Pondok Gontor mengirimkan santri-santrinya yang akan menyelesaikan pendidikan di Gontor untuk mengabdi selama setahun di pelosok-pelosok
Jadi ternyata Pondok Pesantren Gontor Itu punya program pembelajaran bagi santrinya yang sangat menarik. Santri-santri yang sudah menyelesaikan masa pendidikannya, sebelum di wisuda mereka akan dikirim ke pesantren-pesantren yang ada di pelosok selama setahun. Namanya program pengabdian. Bila pengabdiannya selama setahun selesai, dia baru bisa mengambil ijazah pesantren dan kemudian bisa melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi. Saya tidak tahu update terbaru program ini seperti apa, tapi kira-kira tahun 90an yang saya tahu seperti itu.
Lalu darimana dana operasional dan manajerial untuk pelaksanaan program pengabdian santri itu?Saya tidak tahu dananya darimana tapi kalau sudah menjadi program pesantren mestinya secara manajerial ada dana dari pesantren. Yang jelas saya tidak pernah melihat ada sponorship masuk ke Pondok kami seiring dengan adanya ustadz muda yang sedang mengabdi
Kemudian darimana para santri itu membiayai dirinya?Apakah para santri itu orang yang sudah bekerja sehingga bisa membiayai dirinya?Para santri itu membiayai diri mereka sendiri. Biayanya memang menjadi lebih ringan karena selama pengabdian mereka tidak lagi perlu mengeluarkan biaya untuk makan harian atau tempat tinggal karena semuanya sudah ditanggung Pondok tempat mengabdi. "Biaya" terbesar yang mesti dibayar oleh mereka adalah waktu dan tenaga. Waktu karena para santri mesti menahan 1 tahun keinginannya untuk lulus. Tenaga karena ustadz-ustadz muda itu mengajar tanpa mendapat bayaran.
Santri-santri itulah yang kemudian ada yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi, ada yang meneruskan pengabdian di pesantrennya dan ada juga yang kembali ke masyarakat. Bersama-sama dengan masyarakat bahu-membahu menyelesaikan problem sosial kemasyarakatan. Karena sudah berjalan lama, pastinya tidak sedikit santri yang berada di tengah-tengah masyarakat.
Program ini sudah berjalan bertahun-tahun. Yang mengetahui program ini mungkin selain pengelola pesantren, para santri adalah para santri pengabdi itu sendiri. Masa kami dulu belum ada internet apalagi media sosial. Komputer pun masih sistem operasi DOS dan memiliki komputer itu hal yang sangat mewah. Pemilikan terhadap komputer itu berkorelasi erat dengan status sosial dan ekonomi. Hanya segelintir orang dan institusi yang bisa membeli komputer
Tetapi rupanya kebiasaan silent ini terbawa sampai sekarang. Sampai saat ini saya tidak tahu apakah program ini masih jalan atau tidak. Tetapi saya rasa masih berjalan karena ini sudah menjadi program wajib. Rasanya tidak ada publikasi terhadap program ini. Sama seperti minimnya, untuk mengatakan tidak ada, publlikasi dari teman saya yang organisasi dibawah kendalinya rutin mengiri da'i ke pelosok
Jakarta 10 Desember 2014
Â
Â