Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Adakah Amerika dalam Pemberantasan PKI?

2 Oktober 2016   06:49 Diperbarui: 2 Oktober 2016   10:24 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak versi mengenai man behind the gun upaya pemberantasan PKI. Diantaranya adalah intervensi Amerika. Melihat pada politik global saat itu, tuduhan ini beralasan. Masa itu Soekarno dikenal dekat dengan Rusia dan RRC. Sementara PKI adalah partai politik yang lekat dengan dua negara tersebut. Adapun Amerika dan Uni Soviet adalah negara adidaya dunia yang sedang berebut pengaruh. Tetapi "aroma" keberadaan Amerika bisa juga dilihat dari hal lain. Misalnya dari strategi komunikasi memberangus PKI.

Secara umum pada waktu itu studi ilmu Komunikasi mempunyai dua kiblat. Mazhab Kritis Eropa yang anti positivistik dan Mazhab pragmatis Amerika yang positivistik.

Dalam perspektif Kritis, objek komunikasi adalah orang berdaya dan berpotensi. Karenanya komunikasi adalah proses dialektis pemaknaan pesan. Dalam sebuah proses dialektis, maka feedback itu penting. Komunikasi bottom up bukan top down. Karenanya komunikasi berlangsung secara resiprokal tidak linear. Komunikasi itu dialog bukan instruksi atau indoktrinasi. Komunikasi adalah proses partisipasi untuk membangun kesadaran publik.

Adapun Amerika melihat komunikasi sebagai sebuah strategi penyampaian pesan. Komunikasi itu upaya top down bukan bottom up. Keberhasilan komunikasi adalah ketika orang bisa berbuat sesuai dengan apa yang dimaksud. Bukan pada proses dialektisnya. Karenanya komunikasi adalah upaya untuk memobilisasi dan indoktrinasi idiologi bukan untuk membangun kesadaran akan sebuah idiologi

Sebagai paradigm yang mengadopsi ilmu alam, cara berpikir ilmu alam pun sangat kental dalam perspektif ini. Seperti teori komunikasi Shanon and Weaver yang mengadopsi sistem transmisi pesan dalam dunia elektronika. Karena adopsi dari ilmu alam inilah maka komunikasi dalam perspektif Amerika berjalan linear, sistematis, detail dan menyeluruh.

Pola komunikasi inilah yang terlihat dari upaya pemberangusan PKI. Orde Baru tidak pernah membangun komunikasi dialog untuk mengingatkan letak berbahayanya PKI. Pola yang dilakukan adalah komunikasi linier berupa doktrinasi. Karena tidak ada dialog itulah banyak kesalahfahaman ketika membicarakan PKI. Mendukung PKI disebut atheis, menyarankan rekonsiliasi disebut PKI. Tulisan ini pun mungkin akan disebut Pro-PKI.

Hal lain juga terlihat dari strateginya yang sistematis dan menyeluruh. Negara betul-betul memakai seluruh instrument yang dimiliki untuk memberangus PKI. Penghapusan kader dan simpatisan PKI, tidak hanya berhenti pada para tokoh, anak-anak mereka serta cucunya, tapi juga tingkat grass root. Tidak hanya di dalam negeri, orang Indonesia di luar negeri yang terindikasi PKI pun dihabisi. Passport mereka dicabut sehingga mereka menjadi stateless, orang tanpa negara.

Hal tak terlupakan adalah film G30S/PKI yang mesti diputar setiap 30 September.

Film dalam tradisi komunikasi Eropa adalah media sosial budaya masyarakat. Film dipakai untuk menggugah kesadaran masyarakat akan suatu hal. Film memaksa penonton untuk merenung dan berpikir ulang akan suatu hal. Karenanya bagi berapa kalangan, Film Eropa selalu dianggap tontontan berat. Karena memaksa orang berpikir dan merenung bukan untuk menghibur. Sementara Amerika menempatkan film sebagai media sosialisasi. Film adalah media komunikasi untuk doktrinasi. Bukan media komunikasi untuk membangun dialog atau berefleksi.

Hollywood sendiri mengaku bila beberapa film mereka dibiayai Pentagon. Utamanya film kehebatan militer Amerika dan keburukan lawan politik Amerika. Pada masa perang dingin, peran antagonisnya selalu militer Rusia. Sementara setelah 9/11 banyak film tentang terorisme atau pembajakan pesawat dengan peran antagonis orang Timur Tengah dan muslim.

Diantara film absurd Hollywood yang menggambarkan kehebatan tentara Amerika adalah film Rambo. Seorang tentara Amerika yang bisa menghabisi satu pleton pasukan musuh di Vietnam. Padahal kita tahu tentara Amerika angkat kaki dari Vietnam dikalahkan tentara Vietkong. Film ini disinyalir untuk memulihkan kepercayaan terhadap militer Amerika.

Diantara kelebihan film Amerika adalah efek dramatisasi. Konon film James Bond, sebuah tokoh MI16 agen intelijen Inggris, justru gagal ketika di filmkan oleh Eropa. Tetapi di tangan Hollywood, James Bond adalah lumbung uang yang diproduksi berseri-seri. Dramatisasi adalah kuncinya. Karena memancing efek kekaguman, bukan perenungan. Bagaimana seorang agen intelijen bisa menguasai berbagai macam seni bela diri, dilengkapi banyak peralatan super canggih dan tidak mati meskipun jatuh dari lantai 20

Film G30S diproduksi negara sebagai media doktrinasi. Dramatisasi adalah efek yang tidak dilupakan. Disebutkan bila tubuh para Jendral itu sudah di sayat silet, disundut korek api dan kemaluannya dipotong. Sebuah dramatisasi untuk menggambarkan betapa kejamnya PKI. Tetapi ternyata menurut visum dokter, tidak ada tanda-tanda penyiksaan seperti itu.

Pada akhir tahun 60an, ketika studi komunikasi belum begitu banyak digeluti ilmuwan Indonesia dan belum menjadi perhatian, rasanya patut "dicurigai" adanya sekelompok orang yang menjadi "konsultan" strategi komunikasi pemberangusan PKI.

Faktanya setelah itu, Indonesia menjadi sangat Amerika oriented. Pada 7 April 1967 misalnya. Pada tanggal itu Indonesia menandatangani kontrak karya dengan Freeport McMoran untuk mengelola bukit emas di Irian Jaya. Peristiwa yang hanya berjarak hitungan minggu setelah Soeharto ditetapkan menjadi Pejabat Presiden. Pasca kemerdekaan dan setelah Soekarno manasionalisasi perusahaan peninggalan Belanda, inilah perusahaan asing pertama yang masuk ke Indonesia.

Payung hukum kontrak karya ini adalah UU PMA (Penanaman Modal Asing) Maret 1966. Secara teoritis Presiden Indonesia waktu itu masih Soekarno. Banyak orang mencurigai kalau Soekarno menandatangani UU ini dalam keadaan dipaksa atau diperdaya. Kecurigaan ini beralasan. Karena Soekarno dikenal sangat anti Amerika. Dan semua mafhum bahwa selepas G30S, Soekarno adalah Presiden tanpa kekuasaan yang menjalani tahanan rumah.

Kemudian setelah 30 September, rasanya tidak kita dengar lagi adanya pelajar Indonesia yang dikirim belajar ke Beijing, Moskow atau negara-negara Eropa Timur. Melalui program-program seperti Marshall Plan dan Colombo Plan yang digagas Amerika, kampus-kampus di negeri Paman Sam adalah tujuan utama pelajar-pelajar Indonesia. Puncaknya adalah ketika sekelompok alumni dari Universitas California Barkeley, memegang posisi-posisi penting di pemerintahan Indonesia. Orang-orang yang disebut sebagai Mafia Barkeley inilah yang merumuskan, melobby dan menjalankan kebijakan ekonomi orde baru.

Louis Althusser, seorang pemikir post strukturalis Prancis, mengurai cara sebuah negara mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya. Menurut Althusser ada dua instrument yang dipakai, yaitu Refresif State Aparatus (RSA) dan Idiological State Aparatus (ISA). RSA dilaksanakan secara refresif melalui aparatur negara. Dia adalah polisi, tentara, Jaksa, Hakim, Satpol PP dan aparatus negara refresif lainnya. Sementara ISA, berlangsung lebih halus dan sublime. Negara melakukan infiltrasi idiologi melalui upacara bendera, penataran P4, sekolah, buku-buku sekolah atau penulisan sejarah.

Jadi kira-kira adakah tangan Amerika dalam pemberantasan PKI?

Bandung 2 Oktober 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun