Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu: Antara Suara, Uang dan Popularitas

21 Juni 2014   01:34 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:57 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai selesai pemilu, meski sudah ada gambaran cara meraih suara terbanyak di pemilu berikutnya, saya masih bingung mencari kesimpulan besar faktor yang membuat seorang caleg bisa menjadi anggota legislatif. Utamanya antara faktor uang dan popularitas.

Ada yang bilang makin banyak uang, peluang terpilih makin besar. Dengan uang caleg bisa melakukan apa saja. Mulai dari pasang alat peraga kampanye di semua tempat, sosialisasi massif, membiayai pergerakan tim, melakukan serangan fajar, melakukan pencurian suara sampai dengan membayar penyelenggara pemilu. Ada lagi yang bilang popularitas lah yang utama. Makin populer, peluang terpilih makin besar. Karena populer, seseorang tidak perlu lagi repot-repot turun lapangan mencari suara. Namanya sudah terpatri kuat di masyarakat.

Selain kedua hal diatas, banyak hal juga yang sering disinggung pengamat sebagai variable penting elektabilitas. Namun pada kesempatan kali ini saya hanya ingin share dua hal ini saja. Faktor lainnya, silahkan saja dibahas oleh para pengamat, intelektual atau cendikiawan yang mumpuni. Saya hanya bisa share sebatas yang saya ketahui. Tidak lebih.

Sekarang mari kita share tentang uang. Banyak orang bilang, utamanya para pengamat, mengatakan bila elektabilitas salah satunya ditentukan jumlah uang. Tetapi yang saya alami uang tidak selalu berkorelasi positif dengan jumlah suara. Berikut pengalamannya

Di satu dusun masyarakat memiliki lapangan volley yang sedang di cor (tanahnya dikeraskan). Bertepatan dengan massa kampanye, panitia meminta bantuan dana ke caleg. Iming-imingnya apalagi selain dari suara se dusun itu. Keluarlah uang Rp 3.5 Juta dari kocek sang caleg. Tidak tahu konstelasi yang terjadi, saya singgah ke dusun tersebut. Ngobrol dengan warga dan keluarlah permintaan warga untuk membantu masjid yang sedang di rehab pintunya. Karena kebutuhannya 1 sak semen, keluarkan lah uang Rp 100.000 ke masjid dekat lapangan volley tersebut.
Di hari pemilihan apa yang terjadi?Saya mendapat 11 suara dari dusun itu dan kompetitor saya mendapat 2 suara. Bayangkan!...Rp 3,5 Juta menghasilkan 2 suara dan Rp 100.000 mendapat 11 suara.

Lain lagi cerita di lingkup kecamatannya. Ceritanya kompetitor saya, dengan jaringan yang dimiliki, membawa banyak program pembangunan pemerintah ke kecamatan tersebut. Katanya ada 3 program pembangunan pemerintah yang nilainya masing-masing sekitar 250 Jutaan. Tidak cukup sampai disitu, pada malam terakhir dilakukan serangan fajar Rp 50.000 perwarga ditambah baju koko. Lalu beberapa Pak Kades penguasa wilayah pun diberi amunisi Rp 40 Juta untuk menggerakan perangkat desanya. Lalu bagaimana dengan saya?

Tidak ada pertemuan massal, tidak ada program pemerintah. Pertemuan paling massal mungkin hanya ngaliwet bareng yang dihadiri maksimal 10 orang di warung atau di rumah warga. Biaya konsumsi memang dari saya, tetapi tidak ada uang transport yang saya berikan pada warga yang hadir. Warga yang diberi uang adalah orang yang mendapat tugas untuk memasang stiker; honor pemasangan. Dari 5 kali kedatangan, rata-rata saya hanya keluar uang Rp 750.000/pertemuan. Gerakan hari akhir?Saya supplai dana Rp 5 Juta untuk pergerakan tim menyebarkan contoh surat suara.

Lalu bagaimana hasil akhirnya?Jumlah suara saya kalah oleh kompetitor saya. Tetapi tahukah berapa selisihnya?Selisihnya hanya 80 suara. Coba bandingkan antara biaya dan hasil suara antara saya dan kompetitor saya. Suara berbeda hanya 80 tetapi perbedaan uang sampai 100 jutaan lebih

Lain lagi pengalaman saya di salah satu kecamatan lainnya. Kali ini saya berkompetitor dengan caleg berbeda partai. Informasi yang saya dapat biaya kampanye caleg tersebut di kecamatan tersebut mencapai angka 1,5 Milyar lebih. Saya percaya tidak percaya dengan informasi itu. Tetapi melihat gerakannya di lapangan saya jadi berfikir bila angka itu mungkin.

Alat peraga kampanye yang beredar bukan hanya banner yang berukuran 0.5 x 1 M, tetapi juga billboard yang terpampang dari awal masa kampanye sampai akhir di tempat strategis. Jangan tanya persebaran stiker, setiap sudut desa stiker nya selalu menempel. Setiap kali bersosialisasi dan mengadakan pertemuan, minimalnya ada sekitar 70 orang yang berkumpul dan diberi amplop @ Rp 50.000. Setelah itu untuk mengharumkan namanya, diadakan lomba jalan sehat se kecamatan yang diikuti ratusan peserta dengan hadiah TV dan kulkas. Serangan fajar?jangan tanya. Itu menu wajib. Tarifnya antara 30-50 ribu per orang. Silahkan kalkulasi sendiri kira-kira berapa uang yang keluar untuk operasional dan biaya kegiatan itu.

Cukup disana?Ternyata tidak. Itu baru program langsung ke grassroot, belum program ke penguasa daerah seperti kepala desa. Lalu apa programnya?Untuk memikat para kepala desa, beberapa desa diberikan program pembangunan pemerintah. Katanya ada sekitar 5 progam pembangunan infrastruktur pedesaan yang dia bawa dengan nilai masing-masing Rp 250 Jutaan. Tidak cukup sampai disana, beberapa kepala desa pun diberangkatkan ke Singapura dan diberi uang saku Rp 3 juta. Bahkan teman saya cerita tentang kepala desa nya yang mengendarai mobil baru dan mengatakan kalau BPKB mobil itu akan diberikan si caleg kalau suara sang caleg di desanya unggul mutlak.

Bagaimana dengan saya?Sekali lagi Nothing special. Tidak ada program pemerintah yang dibawa. Jangankan bertemu kepala desa, staff nya pun enggan bertemu saya. Sosialisasi mengumpulkan masyarakat?Dua kali saya lakukan itupun kerjasama dengan caleg DPRD nya. Karena patungan, 1 kali pertemuan saya keluarkan uang Rp 500.000. Lainnya saya temui beberapa orang yang dikenal dan minta bantuan mereka. Saya beri stiker dan kalender dengan biaya operasional tidak lebih dari Rp 100.000. Uniknya dalam beberapa kesempatan ada kelompok masyarakat yang memberikan hasil buminya kepada saya. Katanya oleh-oleh untuk orang rumah.

Lalu bagaimana hasil nya?di Kecamatan itu saya mendapat suara 560 dan kompetitor saya mendapat 600 suara. Hanya beda 40 suara. Silahkan dibandingkan beda jumlah uang antara yang saya keluarkan dengan kompetitor saya. Lalu yang saya yakini, kompetitor saya pasti tidak pernah diberi oleh-oleh hasil bumi oleh masyarakat yang dia kunjungi.

Di kecamatan lain dengan pola yang sama, saya bukan hanya unggul, tapi unggul mutlak. Suara saya unggul berlipat-lipat dibanding kompetitor. Lalu apakah uang tidak berperan untuk meraih suara banyak?Jawabannya tegas saya; tidak. Di kecamatan lain saya juga kalah uang dan kalah suara. Bukan hanya kalah tipis, tapi kalah telak. Selain itu juga  salah satu calon anggota legislatif di daerah pemiliahan saya yang sudah dipastikan mendapat kursi, menurut teman saya sudah menghabiskan uang lebih dari 15 Milyar.

Jadi begitulah masalah uang dalam pencalegan. Sangat penting tetapi tidak selalu menjadi jaminan utama. Lalu kemudian masalah popularitas. Apakah benar popularitas menjadi penopang utama keberhasilan seorang caleg melenggang ke senayan?

Berkaitan dengan popularitas, saya punya catatan menarik. Kita anggap saja popularitas dalam bentuk konkritnya adalah massifnya publikasi dan adanya pesohor, baik itu artis, atlet atau tokoh media. Kita bicarakan yang pertama dulu; popularitas dalam arti massifnya publikasi.

Mungkin kira-kira setahun sebelum pemilu legislatif, di daerah saya diadakan Pilkada. Seperti biasa, publikasi pilkada massif dilakukan. Semua alat peraga kampanye dipakai oleh semua kandidat. Tidak ada tempat yang tidak ditempeli alat peraga kampanye. Publikasi pilkada pun tidak hanya dilakukan oleh para pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, tetapi juga oleh penyelenggara. Entah berapa banyak alat peraga pilkada yang dipasang oleh KPU Kabupaten yang terpasang di tiap sudut kota dan desa. Semua tidak hanya mewartakan adanya Pilkada, tetapi lengkap dengan tanggal penyelenggaraan, maksud penyelenggaraan, tujuan penyelenggaraan, cara memilih dan pasangan kandidat.

Lalu apa yang terjadi di masyarakat?Entah berapa kali saya mendengar masyarakat bertanya “Asa ku rame iyeu teh, bade aya naon iyeu teh kang?” (Rasanya ramai, ini mau ada apa kang?). Ketika saya beritahu akan ada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, muncul lagi pertanyaan baru. “Emang saha wae calonna Kang”? (Emang siapa lagi calonnya). Percaya atau tidak, beberapa kali saya mendapat pertanyaan seperti itu di depan spanduk besar yang menginformasikan pilkada. Nah kan..

Fenomena pada pemilu legislatif pun tidak berbeda. Beberapa kali masyarakat complain tentang kota yang sudah semrawut oleh alat peraga kampanye. Jangankan masyarakat, saya saja sebagai caleg sudah pusing melihat gambar caleg bertebaran dimana-mana. Tetapi apa yang terjadi pada hari pemilihan?Banyak masyarakat bingung mau memilih siapa karena tidak tahu para caleg nya. Jadi para pemilih tidak tahu siapa saja yang hendak dipilih di tengah gempuran alat peraga kampanye yang membabi buta. Bagaimana kita memahami ini?

Nah lain lagi bila popularitas bila diukur dengan figur seorang pesohor. Di daerah pemilihan saya ada caleg bernama Dede Yusuf. Siapa yang tidak kenal nama ini. Menurut lembaga survei inilah caleg dapil saya yang masuk top of mind. Artinya bila masyarakat di daerah pemilihan saya ditanya siapa caleg yang mereka kenal, 80 persen menyebut nama Dede Yusuf. Terbukti, rekapitulasi sementara KPU Jabar nama Dede Yusuf urutan pertama caleg yang akan melenggang ke senayan. Pertanyaannya apakah benar pesohor bisa lenggang kangkung ke senayan?

Teman saya di salah satu dapil Jawa Timur punya cerita. Kompetitornya adalah pesohor. Tiap minggu ada di acara audisi musik sebuah TV swasta nasional. Tidak hanya istri dan mantan istrinya yang terkenal, anaknya pun dikenal. Jangan tanya frekuensi kehadirannya di acara gossip TV. Meskipun menurut hitungan KPU dia sudah dipastikan mendapat kursi, menurut teman saya pesohor tadi tetap saja mesti membagi sembako, sebar uang dan mencuri suara untuk meraih suara terbanyak. Nah kan

Lalu kita simak apa kata para pakar komunikasi yang mengatakan bahwasannya seorang pesohor mesti memiliki “tone” pemberitaan media yang positif. Caleg pesohor yang dikenal karena kejelekannya, dipastikan gagal. Contoh yang selalu dikemukakan adalah pada pesohor Farhat Abbas. Pertanyaanya kemudian, kenapa pesohor seperti Aceng Fikri bisa terpilih menjadi anggota DPD Jawa Barat?Mau pakai teknik analisa media seperti apapun, pemberitaan Aceng Fikri oleh media selalu negatif. Bahkan ada partai yang enggan mencantumkan Aceng Fikri sebagai caleg nya.

Jadi uang berlimpah dan popularitas barulah ternyata baru modal awal. Politik itu seperti cermin kehidupan kita.
Terlalu sederhana bila kesuksesan hanya dinisbahkan pada satu atau dua faktor semata. Hidup tidak sederhana yang kita kira. Ada banyak kompleksitas dan keunikan di setiap waktu dan tempat
Memang ada banyak faktor-faktor lain yang tidak terbahas disini. Seperti faktor kedekatan, kekrabatan atau kekuatan politik. Uang dan popularitas adalah dominan yang sering muncul di tengah masyarakat. Lalu bila anda bertanya kepada saya faktor apa yang paling dominan yang bisa mengantar orang jadi anggota legsilatif? Sebagai pelaku yang melihat rumitnya di lapangan, bukan pengamat, jawaban saya; Taqdir Allah. Kalau sudah rizki gak bakalan kemana

Wassalamu’alaikum Wr Wb

Bandung, 03-05-2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun