Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Keledai Pilpres

21 Juni 2014   22:16 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:53 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konon dulu ada orang yang sangat bersemangat dalam beragama. Apapun dia lakukan bila berkaitan dengan agama. Sampai suatu ketika muadzin yang biasa adzan di masjid dekat rumahnya sakit, orang ini bersemangat menggantikannya. Tetapi orang menolak itikadnya tersebut. pasalnya sederhana saja; suaranya sumbang, sangat tidak enak di dengar. Tetapi karena orang tersebut bersikeras dan memaksa, jamaah pun tidak kuasa menolaknya.

Maka hari-hari berikutnya selama lima kali dalam sehari suara sumbang itu pun menggema. Banyak orang mengeluh mendengar suara itu tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai pada suatu ketika datang seorang Ibu mencari muadzin tersebut. Katanya ia ingin mengucapkan terima kasih dan memberi hadiah. Si Ibu itu merasa terbantu oleh si muadzin

Menurut si Ibu tersebut dia mempunyai anak perempuan yang bersikeras masuk Islam karena ingin menikah dengan lelaki muslim. Si Ibu sudah berusaha keras menghalangi niat anaknya tersebut tetapi tidak berhasil. Sampai pada suatu ketika anaknya mendengar adzan si muadzin tadi. Sang anak sangat terganggu dengan suara sumbang tersebut. Tidurnya menjadi tidak nyenyak dan hari-harinya pun jadi tidak tenang. Sampai pada akhirnya dia berpikir ulang rencananya masuk Islam. Akhirnya dia mengatakan ke Ibu nya untuk membatalkan niatnya.

Konon perumpamaan ini diungkap Jalaludin Rumi. Pada masanya perumpamaan ini merupakan koreksi dan pengingatan tentang pola keberagamaan yang mestinya lebih substantif dan lebih mawas diri. Tetapi pada masa pilpres sekarang ini perumpamaan dari Rumi ini seolah mendapatkan momentumnya juga. Entah sudah berapa orang yang bersuara mempromosikan kandidat capres cawapres dukungannya, tetapi alih-alih menimbulkan simpati justru menimbulkan antipati dan kontraproduktif bagi capres dukungannya.

Mulanya kita terkejut dengan munculnya sebuah tabloid bernama Obor Rakyat. Ketika isinya menjelek-jelekan Jokowi mestinya hal itu menguntungkan Prabowo, tetapi ternyata tidak. Tidak sedikit orang yang menjadi antipati gara-gara tabloid tersebut sehingga berbalik tidak suka Prabowo. Karena menganggap timses Prabowo ada dibelakang tabloid tersebut. Lalu setelah itu muncul kejadian serupa. Wimar Witoelar yang terang-terangan menyatakan dirinya pendukung Jokowi, posting gambar yang sangat menghina. Sebuah gambar berjudul Gallery of Rogues.. Kebangkitan Bad Guys muncul dari account medsos Wimar.

Tabloid Obor Rakyat dan dan Gallery of Rogues nya Wimar adalah suara-suara yang ingin mengajak orang memilih salah satu capres. Banyak suara-suara lain yang juga melakukan hal serupa. Seperti budayawan yang mengaitkan pilihan presiden dengan kewarasan, agamawan yang mengaitkan pilihan presiden dengan status keimanan sampai dengan seorang Jendral yang mendadak menjadi pendekar HAM demi membela capres dukungannya

Mereka fikir bahwa upaya mereka itu akan membantu kandidat capres dan cawapres yang didukungnya padahal terbukti tidak. Bahkan lebih dari itu, mereka tidak hanya merusak kandidat dukungannya tetapi juga sudah ikut merusak tatanan sosial. Suara mereka tidak hanya membangun perdebatan politik yang tidak perlu, tetapi menjadi senjata baru pada tingkat grass root untuk terus bertikai. Sehingga sebetulnya yang mereka lakukan itu bukan hanya merusak capres dukungannya, tetapi juga merusak kehidupan sosial. Maka sejatinya yang mereka hadapi sekarang bukan lagi lawan politik tetapi masyarakat itu sendiri.

Dalam pandangan saya suara-suara mereka itu seperti suara keledai. Kata Allah suara paling buruk itu adalah suara keledai (QS Luqman; 19). Menurut teman yang pernah mendengarnya, suara keledai itu memang tidak enak di dengar. Selain bernada tinggi juga tidak ritmis sehingga sangat mengganggu. Tetapi menurut Rumi hakikat suara keledai buruk karena keledai itu hanya bersuara ketika perutnya lapar. Melalui interpretasinya Rumi seolah mengatakan kita bahwa orang yang bersuara hanya karena kepentingannya terganggu atau bersuara seenak perutnya saja, itu suara yang buruk. Sangat tidak enak didengar dan mengganggu

Undecided Voters

Lain suara publik figur lain lagi suara masyarakat. Utamanya bila kita perhatikan di dunia maya.Beberapa kali saya iseng membaca postingan di sebuah group atau status seseorang yang membela atau mencela salah satu capres. Bila postingan tersebut mendukung Prabowo, dipastikan bakal dibantah habis-habisan oleh pendukung Jokowi. Begitu sebaliknya. Postingan mendukung Jokowi akan dibantah habis-habisan oleh pendukung Prabowo. Bantahannya pun tidak sekedar bantahan. Ada yang sampai keluar caci maki.

Menariknya adalah ketika kita lihat alur komunikasinya. Orang saling serang dengan orang berbeda dukungan capres dan akrab dengan orang satu dukungan capres. Dalam hati saya bertanya, apa gunanya berbantahan dengan orang berbeda dukungan dan akrab dengan orang satu dukungan. Mestinya bila memang ingin capresnya menang, yang dilakukan adalah akrab dengan orang yang berbeda dukungan dan lebih akrab dengan yang satu dukungan. Karena yang berbeda dukungan itu mesti diraih sehingga dia satu dukungan dengan kita.

Saya jadi teringat ucapan Imam Ali bin Abi Thalib. Kata Imam Ali kita itu tidak perlu mendeskripsikan diri kita siapa karena pendukung kita tidak pernah membutuhkan itu dan musuh kita juga tidak akan pernah mempercayainya. Jadi bila kebaikan Prabowo tidak disebut pencitraan oleh pendukung Jokowi, itu sudah sangat bagus. Begitu juga bila keburukan Jokowi tidak dilebih-lebihkan dan didramatisir oleh pendukung Prabowo, itu juga sudah sangat bagus.

Ungkapan Ali ini bila diterjemahkan dalam dunia survei maka ada istilah disebut dengan pemilih tetap. Yaitu orang-orang yang sudah memiliki pilihan dan tidak akan goyah dengan pilihannya itu. Lalu sekarang ini untuk menambah suara para capres tidak sedang berkampanye pada pemilih tetap, yang suka berbantahan itu, tetapi mereka sedang bergerak merayu undecided voters (orang-orang yang belum menentukan pilihan) untuk menjatuhkan pilihannya terhadap mereka. Karena dari sana lah tambahan suara diraih dan menjadi penentu kemenangan.

Dari sini kita jadi faham bahwa orang yang berbantah-bantahan mendukung capresnya sebetulnya sudah rugi berkali-kali. Karena ketika mereka saling berbantahan mengenai capres dukungannya, capres mereka justru sedang tidak mempedulikan mereka. Para capres sedang kampanye, dialog dan memperhatikan orang-orang yang belum menentukan pilihan dan itu adalah bukan mereka. Kerugian lainnya adalah karena mereka menghabiskan waktu dan energi untuk sesuatu yang tidak perlu. Apa gunanya promosi Prabowo ke pemilih fanatik Jokowi atau kampanye Jokowi ke die hard nya Prabowo

Bandung, 21-06-2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun