Mohon tunggu...
Deliana Donata
Deliana Donata Mohon Tunggu... Wiraswasta - Student at the Law Faculty of Atma Jaya Catholic University Indonesia

Traveling, Reading

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gerakan Solidaritas dan Subsidiaritas dalam Nilai Ajaran Sosial Gereja

2 Februari 2024   11:35 Diperbarui: 2 Februari 2024   11:39 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo ini diambil pada tanggal 29 Desember 2022, sekitar jam 10 pagi. Berlokasi di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang, Kelurahan Cikiwul, Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi. Luas Area : 110,3 Ha terdiri dari : Luas efektif TPST 81,91 % dan sisanya 18,09% untuk prasarana seperti Jalan masuk, Jalan Kantor dan Instalasi Pengolahan Lindi. Status Tanah : Milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ini pertama kali saya berkunjung ke lokasi ini, dan inilah yang menjadi penyebab pencemaran udara dan sumber bau tidak sedap yang saya rasakan jika terjadi perubahan arah angin yang mengarah ke pemukiman saya atau sedang musim hujan dan kondisi sampah yang kemungkinan sedang menumpuk. Sepanjang jalan menuju lokasi tempat pemulung saya melihat tumpukan sampah yang tingginya seperti bukit namun tidak berwarna hijau tapi berwarna warni yang menujukkan tumpukan sampah yang meninggi seperti bukit. 


Kondisi yang sangat bau, basah, becek , licin dan lalat bertebaran dimana-mana tidak menghalangi para pemulung untuk mencari barang-barang yang masih dianggap layak untuk dijual kepenampung. Di lokasi tersebut saya bertemu sekitar 18 orang pemulang, yang sedang mengais-ngais sampah dengan tekun, berharap mendapatkan sesuatu yang berharga dari tumpukan sampah tersebut. Saya menyempatkan diri untuk bertanya tentang kegiatan harian ke beberapa pemulung diantaranya : Ibu Nenidah, Ibu Supinah, Bapak Sutarno, Bapak Yanto dan Bapak Dadang. Mereka adalah pemulung yang setiap hari berkunjung ke TPST Bantar Gebang. Secara umum penghasilan mereka per hari rata-rata antara Rp.100.000 s/d Rp.150.000. Jika dihitung dari perspektif ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk satu orang masih mencukupi. Hal yang berbeda yang dirasakan oleh Ibu Nenidah dan Ibu Supinah yang dimana mereka memiliki anak, masing-masing dua orang dan masih bersekolah. Penghasilan yang rata-rata perbulan Rp3.500.000 sangatlah tidak mencukupi untuk kehidupan rumah tangga dengan 2 orang anak.


Namun permasalahan yang timbul bukan hanya sekedar permasalahan kehidupan tentang pemulung, tapi pencemaran lingkungan yang terjadi dan mempengaruhi kehidupan sekitar TPST Bantar Gebang. Meski sudah banyak warga yang sadar untuk mengolah sampah menjadi produk daur ulang, namun tetap saja tidak bisa menanggulangi sampah yang dihasilkan oleh perkotaan setiap hari. Sampah-sampah dari perkotaan menjadi timbunan di TPST. Keberadaan pemulung sebenarnya menguntungkan karena dapat membantu TPST dalam memilah sampah-sampah organik dan anorganik yang masih memiliki nilai ekonomis. Hal ini mengurangi penimbunan sampah di TPST Bantargebang.


Pencemaran lingkungan  yang terjadi di sekitar TPST Bantar Gebang, sangat mempengaruhi kehidupan penduduk sekitarnya, untuk itu Pemprov DKI berkewajiban membayar kompensasi untuk ribuan keluarga yang tinggal di sekitar daerah Bantargebang sebagai ganti rugi dari dampak bau sampah. sekitar Rp300.000/bulan yang dianggap sebagai ganti rugi dari dampak bau sampah Bantargebang. Meski demikaian warga  yang telah mendapat dana kompensasi, masih mengeluhkannya dan menyatakan bahwa uang yang mereka terima tak sebanding dengan apa yang mereka alami setiap hari. Sangat masuk akal karena resiko yang ditimbulkan akibat dari pencemaran lingkunga seperti pencemaran udara, air dan bau tidak sedap sangat mengganggu kenyamanan kehidupan masyarakat sekitar Bantargebang, termasuk saya yang bermukim di Bekasi Timur yang berjarak 12 Km dari TPST tersebut. Saya sangat merasakan dampaknya walau tidak seberat yang dirasakan oleh warga sekitar. Selain ketidaknyamanan karena bau tidak sedap, maka masalah lain yang timbul adalah dampak kesehatan terhadap lingkungan sekitar. Kita tahu bahwa dalam sampah terdapat banyak lalat yang menjadi sumber penyebaran bakteri dan menimbulkan dampak terhadap kesehatan manusia. Penumpukan sampah di TPST Bantargebang sudah menjadi masalah sosial dan kompleks dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya mengganggu kehidupan sekolompok orang saja namun sudah meluas sampai pada pengrusakan lingkungan.


Namun bagaimana dengan sisa sampah organik yang menumpuk di TPST? Hal ini harus menjadi perhatian yang serius  dari pihak pemerintah sebagai pengelola yang bertanggungjawab terhadap kondisi sampah tersebut. Sampai kapan penumpukan sampah akan diselesaikan sementara kondisi lahan yang semakin terbatas. Kesadaran masyarakat akan pengelolaan sampah rumah tangga juga membawa dampak yang positif. Minimal mengurangi tumpukan sampah yang akan dibuang ke tempat pembuangan akhir.
Secara umum bagi para pemulung tumpukan sampah yang semakin banyak akan memberikan kesempatan bagi para pemulung untuk mendapatkan barang bekas yang memiliki nilai ekonomis. Kondisi para pemulung walau mendapatkan penghasilan yang dianggap sebagian orang adalah layak. Apakah memang ini kondisi rakyat yang kita anggap ideal? Menjadi pemulung memang bukan pekerjaan hina, namun bagaimana kesejahteraan masyarakat dengan tingkat resiko pekerjaan yang sangat tinggi? Kesehatan mereka dipertaruhkan demi kehidupan yang dianggap layak oleh sebagian orang.

Gerakan solidaritas dan subsidiaritas merupakan nilai dan identitas dalam ajaran sosial gereja harus mampu mengaktivasi nilai-nilai potensial yang memberikan sumbangan nyata untuk kesejahteraan bersama dalam setiap lapisan masyarakat. Pemulung yang menjadi bagian dari diri kita. Sampah juga menjadi bagian dari diri kita yang seharusnya dikeloa dengan baik. Sebagai bukti nyata ajaran sosial gereja, setiap manusia harus menghargai harkat dan martabat manusia lainnya apapun profesinya. Gerakan solidaritas harus mampu memberikan penghormatan kepada pemulung yang memiliki martabat sebagai manusia. Ajaran sosial gereja mengajarkan supaya kita menjadi pribadi yang memiliki ikatan satu dengan pribadi, maupun dengan kelompok yang marginal.
Sebagai warga negara dan sebagai umat Katolik, saya harus memberikan partisipasi konkrit dalam ajaran sosial gereja melalui memberikan perhatian dan kepedulian kepada kelompok marginal di sekeliling saya. Kepedulian ini bisa berupa kesadaran memberikan perhatian, memberikan bantuan dan mendoakan mereka. Walau hanya sekedar menyapa dan memberi sedikit bantuan berupa makanan, namun saya merasa terpanggil ke depan untuk lebih peduli lagi terhadap kehidupan kaum marginal.

Subsidiaritas berkaitan erat dengan cara bagaimana berbagai lapisan dan tingkatan dalam masyarakat saling berhubungan, berkomunikasi, dan membantu dalam mengupayakan hasil terbaik bagi semua orang dan pihak (bdk. Massaro, 2000, 128). Prinsip subsidiaritas berkaitan dengan keterlibatan dan perjuangan untuk kehidupan yang lebih layak bagi kaum miskin.. Pada dasarnya dibutuhkan partisipasi yang lebih besar dari kalangan level bawah dalam menentukan kehidupan sendiri dan dalam kehidupan bersama. Sebagai pribadi saya sangat menghargai keberadan hidup mereka, dan senantiasa memberikan perhatian yang lebih intens dan keberpihakan kepada mereka demi tercapainya kesejahteraan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun