Apa yang ada di pikiran kalian ketika melakukan perjalanan atau sekadar berjalan-jalan? Mungkin pemandangan indah atau keinginan untuk mendapatkan oleh-oleh khas daerah tersebut. Â Di sini, saya akan menceritakan pengalaman jalan-jalan yang memberikan akses kepada datangnya pengalaman dan pengajaran. Pada tanggal 16 September 2023 lalu, saya mengambil bagian dalam suatu kegiatan sebagai salah satu relawan dalam rangkaian acara Voluntrip by Kitabisa. Kegiatan ini berlokasi di Solo dan diikuti oleh sekitar 20 volunteer lainnya, termasuk teman saya yang bernama April. Sebenarnya pada hari itu, saya seharusnya melakukan perjalanan dan kegiatan ini bersama teman saya yang bernama An Nuur, tetapi karena suatu alasan tertentu yang tidak terduga, An Nuur harus pergi ke kota asalnya, yaitu Cirebon sehingga saya kami memutuskan untuk mencari pengganti dari kuota An Nuur. Beruntungnya, saat itu April sedang dalam kondisi luang sehingga dapat menemani saya untuk ikut dalam kegiatan ini.Â
Saya berangkat dari Yogyakarta sekitar pukul 11.30 dan sampai di Solo pada pukul 12.15 siang, dengan lama perjalanan selama 45 menit menggunakan kereta jarak jauh. Sebenarnya, saya sedikit menyesal, kenapa saya tidak menggunakan KRL saja, karena harga tiket KRL tentunya lebih terjangkau daripada tiket kereta jarak jauh yang saya beli saat itu. Kala itu, saya beli tiket kereta jauh kelas eksekutif secara GoShow dengan harga Rp40.000 sehingga sebenarnya telah jauh lebih murah daripada harga aslinya yang hampir menyentuh angka Rp200.000, sedangkan tiket untuk KRL hanya memakan ongkos sebesar Rp8.000.
Meski begitu, penyesalan tersebut tidak begitu berarti karena saya menikmati kenyamanan kelas eksekutif dan mendapatkan tempat duduk tanpa harus berebut dengan penumpang lain. Selain itu, perjalanan dengan kereta jarak jauh lebih cepat dibandingkan KRL yang membutuhkan waktu kurang lebih satu setengah jam. Akibatnya, ketika tiba di Stasiun Balapan Solo, saya dapat melakukan ibadah sholat Dhuhur dengan cukup tenang tanpa terburu-buru.
Ketika saya telah menyelesaikan ibadah sholat Dhuhur, April, yang memang merupakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Solo, menghubungi saya dan mengatakan bahwa dia telah berada di depan Stasiun Solo Balapan dengan mengendarai motor. Dengan perhatiannya, April membawakan saya satu buah helm karena dia tahu, saya tidak membawa pelindung kepala tersebut dari Yogyakarta. Karena keadaan perut yang lapar, kami memutuskan untuk berhenti sejenak di Indomaret sebelum menuju ke titik kumpul. Di sana, kami hanya membeli air mineral dan onigiri karena waktu yang sempit dan acara telah hampir dimulai.Â
Titik kumpul dari kegiatan voluntrip ini adalah di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bakti yang lokasinya tidak jauh dari stasiun dan kegiatan akan dimulai pada pukul 13.30 WIB. Ketika sampai di sana, saya dan April merasa sedikit terkejut karena teman-teman volunteer lainnya berseragam menggunakan baju yang sama, berwarna kuning lembut dengan gambar berwarna biru hijau di tengahnya. Saya langsung berpikir, apakah saya melewatkan sesuatu atau mungkinkah saya tidak membaca informasi yang dikirimkan dengan pihak penyelenggara dengan baik? Perasaan malu timbul seketika membayangkan saya telah salah kostum di kegiatan ini karena pakaian yang saya gunakan adalah setelan hitam secara keseluruhan dan entah kebetulan atau bukan, April telah menggunakan baju berwarna kuning pastel yang senada dengan kaos seragam para volunteer.
Mencoba mengabaikan fakta bahwa saya merasa malu, saya tetap melangkah untuk menyapa para pihak yayasan yang merupakan penyelenggara, dan di bagian ini, saya merasa lega. Bagaimana tidak? Secara tiba-tiba salah satu perempuan dengan rompi Kitabisa menyerahkan dua buah baju yang masih terbungkus plastik bening. Baju itu merupakan seragam yang harus kami gunakan pada kegiatan voluntrip di hari itu. Senyum lega langsung tercipta dan sesegera mungkin saya berbalik menghadap April yang berada di belakang saya untuk melempar tatapan antusias. Disusul desahan sedikit kecewa kala perempuan tersebut mengatakan "tapi bajunya tinggal yang ukuran XL". Saya dan April yang sama-sama pengguna baju berukuran S langsung bertatapan kembali dengan sedikit bingung, seolah menyampaikan "duh, gimana dong?" melalui tatapan mata. Pada akhirnya, kami kembali tersenyum dan mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah masalah besar. Setelahnya, kami diarahkan menuju mushola untuk berganti baju. Sesuai dugaan, baju kaos tersebut terlalu besar untuk kami berdua. Baju yang seharusnya hanya mencapai lengan atas, menjadi baju dengan lengan ketika kami kenakan. Walaupun begitu, kami tidak terlihat buruk.Â
Tidak lama setelah kami berganti baju, acara langsung dimulai. Agenda pertama adalah membersihkan area Taman Makam Pahlawan Kusuma Bakti, dengan dibagi berkelompok. Beberapa berada di dalam Taman Makam Pahlawan, dan sisanya berada di area luar membersihkan jalan dan sisi kebun. Saya dan April berada di kelompok area luar, kami langsung saja menuju sisi jalan yang dipenuhi sampah plastik dengan menenteng trash bag besar dan sarung tangan. Pada saat kami fokus memunguti sampah, tiba-tiba seorang anak menghampiri kami dan ikut memunguti sampah di sekitar jalan. Anak tersebut terlihat ramah dan ceria, maka April yang pada dasarnya menyukai anak kecil langsung menanyakan nama anak itu tanpa basa-basi. Anak itu menjawab dengan lantang bahwa namanya adalah Jibril. Apabila ditengok pada daerah depan Taman Makam Pahlawan Kusuma Bakti, memang terdapat suatu bangunan yang dipenuhi oleh anak-anak. Mata saya seketika langsung tertuju pada suatu papan yang bertuliskan "Panti Asuhan Rumah Lentera" dan tak lama dari itu, saya mengetahui bahwa Jibril merupakan salah satu anak yang tinggal di rumah sederhana tersebut. Selama bersih-bersih dan memunguti sampah, Jibril sangat aktif. Saya menawarkan sarung tangan agar tangan kecilnya tidak kotor, tetapi dia menolak, mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hal yang biasa.
Sesi bersih-bersih ternyata memakan cukup banyak waktu. Tim penyelenggara sibuk melakukan dokumentasi pada saat teman-teman volunteer bergerak untuk bersih-bersih. Pada sesi ini, saya berkenalan dengan beberapa teman, dan yang paling membekas adalah seorang teman bernama Rasel. Rasel merupakan mahasiswa yang berasal dari Yogyakarta dan sedang berkuliah di Universitas Sebelas Maret. Usianya seumuran dengan saya dan April, maka dari itu kami merasa dekat dan cocok. Pada saat saya dan April sedang fokus memungut sampah sekaligus mengobrol bersama Rasel, pihak penyelenggara memanggil kami dan mengatakan bahwa sesi bersih-bersih telah usai. Kami bertiga sontak menuju titik kumpul dan meletakkan kantong sampah besar hasil bersih-bersih area jalan dan kebun. Sebelum kami pergi untuk bercuci tangan, kami memilah sampah organik dan non organik untuk dipisahkan dan kemudian dikelola lebih baik. Secara tiba-tiba, tim penyelenggara bagian dokumentasi memberi instruksi untuk menghadap kamera, membuat kami langsung menciptakan senyum terbaik.Â
Â
Setelahnya, kami beranjak untuk mencuci tangan di wastafel yang tersedia. Ternyata, tidak terdapat sabun untuk cuci tangan di wastafel tersebut, membuat saya dan April berjalan menuju mushola untuk mencari sabun yang kami yakini dapat membunuh kuman menempel di tangan. Kebingungan melanda ketika kami tidak menjumpai adanya sabun di musholla, membuat kami terpaksa menggunakan sabun cuci baju untuk mencuci tangan. Perasaan sedikit kesal menghampiri ketika menyadari bahwa tim penyelenggara kurang mempersiapkan kelayakan sanitasi dalam pelaksanaan voluntrip ini, padahal para volunteer harus berhubungan langsung dengan sampah. Meskipun telah menggunakan sarung tangan, tetap saja pembilasan oleh air dan sabun itu penting demi menjaga kebersihan diri dan orang lain. Terlebih lagi, agenda setelah bersih-bersih adalah istirahat dan tim memberikan snack berupa roti dan air mineral untuk para volunteer. Cukup berbahaya apabila teman-teman volunteer harus makan dalam keadaan tangan yang kotor.
Agenda selanjutnya adalah bermain bersama anak-anak di Panti Asuhan Rumah Lentera. Panti Asuhan ini mungkin terlihat biasa saja, tetapi sebenarnya menyimpan keistimewaan. Panti yang terlihat oleh mata sebagai rumah sederhana ini merupakan rumah hangat bagi kurang lebih 40 anak pemilik riwayat HIV/AIDS akibat diturunkan oleh orang tuanya. Keluarga dari anak-anak tersebut umumnya merasa tidak mampu mengasuh anak yang memiliki kebutuhan lebih besar dari manusia yang tidak memiliki riwayat penyakit ini. Kebutuhan gizi anak-anak tersebut sangat besar demi menjaga imun dan metabolisme mereka dibandingkan individu yang tidak menderita HIV/AIDS. Itulah sebabnya, banyak keluarga yang harus menitipkan anak-anak mereka di sini karena panti ini sangat mengusahakan apa pun yang dibutuhkan anak-anak asuhnya.
Pada sesi ini, saya dan April banyak mengobrol dengan Jibril. Jibril anak yang semangat dan banyak memiliki keingintahuan. Meskipun Jibril jarang menunjukkan senyum, tetapi anak ini gemar tertawa. Saya merasa memiliki kedekatan emosional dengan Jibril, dia bahkan bertanya kapan hari ulang tahun saya. Bapak Puger selaku pendiri panti asuhan ini menceritakan sedikit kisah tentang Jibril. Bocah laki-laki yang cukup tinggi ini merupakan salah satu anak yang telah masuk ke Panti Asuhan Rumah Lentera di awal masa berdirinya. Jibril gemar bermain kejar-kejaran dan pada hari itu, saya dan April sedikit bermain dengannya, diakhiri dengan kami yang ngos-ngosan karena tidak dapat mengimbangi tenaga Jibril.Â
Jibril juga bercerita bahwa dia suka bermain bola, tetapi karena keterbatasan waktu, kami tidak memiliki kesempatan untuk bermain dan melihat kemampuannya. Ketika tim penyelenggara mengatakan bahwa sesi bermain ini hampir habis, saya sontak menarik Jibril untuk foto bersama sebagai kenang-kenangan. Sebelum itu, kami telah diberi peringatan untuk melakukan sensor pada wajah anak-anak dari panti asuhan ini apabila ingin mengunggah hasil foto dokumentasi ke media sosial demi menjaga privasi mereka. Sebelum mengakhiri sesi bermain ini, saya dan April berpamitan dengan Jibril serta Bapak Puger. Saya dan April juga menyampaikan pada Jibril, bahwa kami berharap untuk dapat bertemu Jibril lagi di masa depan.
Sesi selanjutnya mengharuskan kami berpindah tempat yang cukup jauh, sehingga kami harus mengendarai kendaraan bermotor untuk menjangkaunya. Lokasi yang dituju adalah sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) bernama TPA Putri Cempo, Kelurahan Mojosongo, Surakarta. Pada sesi ini, volunteer berkegiatan di suatu tempat yang berisi cukup banyak tumbuhan dan kerajinan dari sampah, tepat di depan TPA tersebut, bernama Taman Sehat Putri Cempo. Taman ini merupakan suatu taman yang dibentuk oleh masyarakat Kelurahan Mojosongo dengan memanfaatkan barang-barang bekas. Di sini, volunteer akan bermain dan membuat kerajinan bersama adik-adik yang merupakan warga setempat. Tanpa disangka-sangka ketika para volunteer dan tim penyelenggara tiba, beberapa mobil pemadam kebakaran mengikuti dari belakang dengan terburu-buru dan di bagian seberang dari TPA, terlihat asap membumbung tinggi. Warga setempat mengatakan bahwa terjadi kebakaran, tetapi kami tidak mengetahui letak spesifik dari kebakaran tersebut. Akibatnya, pada beberapa foto dokumentasi, terdapat pemandangan berupa asap kebakaran sebagai background-nya.
Pada sesi ini, para volunteer dan adik-adik dibagi menjadi empat tim, dengan saya dan April berada di tim satu. Adik-adik yang masih berusia tingkat Sekolah Dasar (SD) membuat kerajinan dengan didampingi para volunteer. Sedangkan adik-adik yang sudah berusia lebih tua dan mendekati lulus dari SD, bekerja secara mandiri dengan kegiatan mewarnai sesuai tema yang ditentukan, yaitu 'Bumi-ku'. Saya mendampingi seorang anak yang masih sangat kecil, bernama Hakim. Hakim yang masih kelas dua (2) SD membuat saya dan April merasa sangat gemas. Pasalnya, Hakim sangat pemalu, berbeda dengan Jibril. Kami harus aktif memancingnya berbicara di sepanjang sesi ini. Meskipun begitu, lama-kelamaan Hakim mulai sedikit terbuka dengan menceritakan koleksi mobil-mobilannya. Setelah berkenalan singkat, setiap anak dan pendampingnya diberi satu plastik bahan untuk membuat kerajinan dari tutup botol plastik air mineral, kain perca, dan karton.Â
Pendamping diberi arahan oleh tim penyelenggara mengenai cara pembuatan kerajinan, dan  pendamping yang merupakan teman-teman volunteer harus mengajari adik-adik cara pembuatannya. Di sepanjang sesi ini, saya berusaha mengajak Hakim untuk berpartisipasi dalam pembuatan kerajinan ini, saya bertanya, Hakim ingin warna apa dan bagaimana tangan dan kaki kerajinan ini ingin dibentuk. Namun, Hakim berkata bahwa warna apa saja boleh. Pada saat itu, saya sedikit sedih karena Hakim masih cenderung pasif. Akhirnya saya mulai menceritakan mengenai kesenian menari tradisional dan tarian modern seperti ballet. Di situ, Hakim berkata bahwa dia menginginkan kerajinan orang-orangannya memiliki bentuk kaki dan tangan seperti orang yang sedang ballet. Pada saat itu, saya merasa bahagia dan semangat karena akhirnya Hakim mulai terlihat antusias. Â
Â
Pada akhirnya, kerajinan kami ternyata dinilai dan dipilih tiga kerajinan terbaik yang akan memperoleh hadiah dari tim penyelenggara. Sayangnya, Hakim tidak memperoleh juara kerajinan terbaik, tetapi meskipun begitu, Hakim tetap senang dengan hasil kerajinan yang diperoleh. Terlebih, Hakim merupakan pencetus unik dari kerajinan yang memiliki tangan dan kaki berbentuk seperti menari balet. Ketika ditanya, untuk apa kerajinan ini setelahnya, Hakim menjawab bahwa kerajinan tersebut akan dia berikan kepada ibunda-nya untuk dijadikan gantungan kunci. Saya merasa bahwa Hakim sangat manis dan memiliki hati yang lembut. Hal tersebut membuat saya merasa terharu karena Hakim ingin memberikan karya ini kepada sang ibu. Di sisi lain, saya juga merasa bangga karena dari kejadian ini, menandakan bahwa Hakim sangat mendahulukan ibu-nya di atas apa pun.Â
Tidak hanya itu, adik-adik yang lebih tua juga akan dipilih tiga hasil gambar terbaik. Adik-adik ini ternyata juga sangat luar biasa dalam mewujudkan imajinasinya mengenai warna-warna bumi ke dalam gambarnya. Pasalnya, adik-adik tersebut hanya diberi waktu yang singkat untuk menyelesaikan gambarnya karena sesi lain mengenai edukasi bumi juga diberikan, tetapi tetap mewarnai gambarannya dengan cukup rapi dan warna yang benar. Pada pemanggilan juara, kami bertiga yaitu saya, April dan Rasel maju untuk menjadi perwakilan volunteer dalam sesi dokumentasi. Hal tersebut membuat kami menyaksikan hasil mewarnai adik-adik secara lebih dekat dan jelas. Selain itu, saya juga dapat melihat betapa senang dan bangga adik-adik ini dalam memperoleh juara dan hadiah yang diberikan oleh tim penyelenggara. Hal ini menurut saya menunjukkan bahwa dalam kegiatan ini, tim penyelenggara berusaha mengenalkan mengenai bumi dan mengajak adik-adik untuk mencintai planet tempat kita tinggal ini. Â
Pada akhir acara, saya dan April yang sama-sama menginginkan sebuah kenangan memutuskan untuk mengambil beberapa foto bersama Hakim, tetapi di tengah sesi berfoto, terdapat salah satu adik yang masuk ke dalam frame dengan membuat ekspresi lucu dan hal tersebut menghibur kami, termasuk para ibu-ibu yang menonton kegiatan tersebut. Hal tersebut masih melekat dalam ingatan saya hingga kini, betapa lucunya seorang anak kecil mengekspresikan dirinya.Â
Suatu perjalanan memang pasti menghasilkan suatu memori. Namun, pada jalan-jalan kali ini, saya tidak hanya memperoleh memori mengenai pemandangan dan oleh-oleh, tetapi juga betapa berharganya pengalaman ketika interaksi sosial secara lebih intensif terjadi. Aktivitas bersih-bersih di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bakti, hadirnya momen emosional ketika berinteraksi dengan anak-anak dari Panti Asuhan Rumah Lentera yang memberikan pelajaran tentang solidaritas dan kepedulian, sesi kreatif di Taman Sehat Putri Cempo membawa perubahan positif pada anak-anak, termasuk Hakim yang awalnya pemalu namun kemudian antusias dalam membuat kerajinan. Dari hal-hal tersebut, saya menyadari apabila kegiatan volunteer dilakukan secara tulus, tidak hanya memberikan dampak positif pada lingkungan fisik, tetapi juga menguatkan hubungan sosial dan membuka mata terhadap realitas kehidupan anak-anak di tengah tantangan yang mereka hadapi. Anak-anak yang telah berjuang untuk diri mereka, anak-anak yang dibesarkan dengan tangan-tangan peduli lingkungan, dan anak-anak yang selalu ingin menunjukkan sisi terbaiknya.Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H