Â
Setelahnya, kami beranjak untuk mencuci tangan di wastafel yang tersedia. Ternyata, tidak terdapat sabun untuk cuci tangan di wastafel tersebut, membuat saya dan April berjalan menuju mushola untuk mencari sabun yang kami yakini dapat membunuh kuman menempel di tangan. Kebingungan melanda ketika kami tidak menjumpai adanya sabun di musholla, membuat kami terpaksa menggunakan sabun cuci baju untuk mencuci tangan. Perasaan sedikit kesal menghampiri ketika menyadari bahwa tim penyelenggara kurang mempersiapkan kelayakan sanitasi dalam pelaksanaan voluntrip ini, padahal para volunteer harus berhubungan langsung dengan sampah. Meskipun telah menggunakan sarung tangan, tetap saja pembilasan oleh air dan sabun itu penting demi menjaga kebersihan diri dan orang lain. Terlebih lagi, agenda setelah bersih-bersih adalah istirahat dan tim memberikan snack berupa roti dan air mineral untuk para volunteer. Cukup berbahaya apabila teman-teman volunteer harus makan dalam keadaan tangan yang kotor.
Agenda selanjutnya adalah bermain bersama anak-anak di Panti Asuhan Rumah Lentera. Panti Asuhan ini mungkin terlihat biasa saja, tetapi sebenarnya menyimpan keistimewaan. Panti yang terlihat oleh mata sebagai rumah sederhana ini merupakan rumah hangat bagi kurang lebih 40 anak pemilik riwayat HIV/AIDS akibat diturunkan oleh orang tuanya. Keluarga dari anak-anak tersebut umumnya merasa tidak mampu mengasuh anak yang memiliki kebutuhan lebih besar dari manusia yang tidak memiliki riwayat penyakit ini. Kebutuhan gizi anak-anak tersebut sangat besar demi menjaga imun dan metabolisme mereka dibandingkan individu yang tidak menderita HIV/AIDS. Itulah sebabnya, banyak keluarga yang harus menitipkan anak-anak mereka di sini karena panti ini sangat mengusahakan apa pun yang dibutuhkan anak-anak asuhnya.
Pada sesi ini, saya dan April banyak mengobrol dengan Jibril. Jibril anak yang semangat dan banyak memiliki keingintahuan. Meskipun Jibril jarang menunjukkan senyum, tetapi anak ini gemar tertawa. Saya merasa memiliki kedekatan emosional dengan Jibril, dia bahkan bertanya kapan hari ulang tahun saya. Bapak Puger selaku pendiri panti asuhan ini menceritakan sedikit kisah tentang Jibril. Bocah laki-laki yang cukup tinggi ini merupakan salah satu anak yang telah masuk ke Panti Asuhan Rumah Lentera di awal masa berdirinya. Jibril gemar bermain kejar-kejaran dan pada hari itu, saya dan April sedikit bermain dengannya, diakhiri dengan kami yang ngos-ngosan karena tidak dapat mengimbangi tenaga Jibril.Â
Jibril juga bercerita bahwa dia suka bermain bola, tetapi karena keterbatasan waktu, kami tidak memiliki kesempatan untuk bermain dan melihat kemampuannya. Ketika tim penyelenggara mengatakan bahwa sesi bermain ini hampir habis, saya sontak menarik Jibril untuk foto bersama sebagai kenang-kenangan. Sebelum itu, kami telah diberi peringatan untuk melakukan sensor pada wajah anak-anak dari panti asuhan ini apabila ingin mengunggah hasil foto dokumentasi ke media sosial demi menjaga privasi mereka. Sebelum mengakhiri sesi bermain ini, saya dan April berpamitan dengan Jibril serta Bapak Puger. Saya dan April juga menyampaikan pada Jibril, bahwa kami berharap untuk dapat bertemu Jibril lagi di masa depan.
Sesi selanjutnya mengharuskan kami berpindah tempat yang cukup jauh, sehingga kami harus mengendarai kendaraan bermotor untuk menjangkaunya. Lokasi yang dituju adalah sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) bernama TPA Putri Cempo, Kelurahan Mojosongo, Surakarta. Pada sesi ini, volunteer berkegiatan di suatu tempat yang berisi cukup banyak tumbuhan dan kerajinan dari sampah, tepat di depan TPA tersebut, bernama Taman Sehat Putri Cempo. Taman ini merupakan suatu taman yang dibentuk oleh masyarakat Kelurahan Mojosongo dengan memanfaatkan barang-barang bekas. Di sini, volunteer akan bermain dan membuat kerajinan bersama adik-adik yang merupakan warga setempat. Tanpa disangka-sangka ketika para volunteer dan tim penyelenggara tiba, beberapa mobil pemadam kebakaran mengikuti dari belakang dengan terburu-buru dan di bagian seberang dari TPA, terlihat asap membumbung tinggi. Warga setempat mengatakan bahwa terjadi kebakaran, tetapi kami tidak mengetahui letak spesifik dari kebakaran tersebut. Akibatnya, pada beberapa foto dokumentasi, terdapat pemandangan berupa asap kebakaran sebagai background-nya.
Pada sesi ini, para volunteer dan adik-adik dibagi menjadi empat tim, dengan saya dan April berada di tim satu. Adik-adik yang masih berusia tingkat Sekolah Dasar (SD) membuat kerajinan dengan didampingi para volunteer. Sedangkan adik-adik yang sudah berusia lebih tua dan mendekati lulus dari SD, bekerja secara mandiri dengan kegiatan mewarnai sesuai tema yang ditentukan, yaitu 'Bumi-ku'. Saya mendampingi seorang anak yang masih sangat kecil, bernama Hakim. Hakim yang masih kelas dua (2) SD membuat saya dan April merasa sangat gemas. Pasalnya, Hakim sangat pemalu, berbeda dengan Jibril. Kami harus aktif memancingnya berbicara di sepanjang sesi ini. Meskipun begitu, lama-kelamaan Hakim mulai sedikit terbuka dengan menceritakan koleksi mobil-mobilannya. Setelah berkenalan singkat, setiap anak dan pendampingnya diberi satu plastik bahan untuk membuat kerajinan dari tutup botol plastik air mineral, kain perca, dan karton.Â
Pendamping diberi arahan oleh tim penyelenggara mengenai cara pembuatan kerajinan, dan  pendamping yang merupakan teman-teman volunteer harus mengajari adik-adik cara pembuatannya. Di sepanjang sesi ini, saya berusaha mengajak Hakim untuk berpartisipasi dalam pembuatan kerajinan ini, saya bertanya, Hakim ingin warna apa dan bagaimana tangan dan kaki kerajinan ini ingin dibentuk. Namun, Hakim berkata bahwa warna apa saja boleh. Pada saat itu, saya sedikit sedih karena Hakim masih cenderung pasif. Akhirnya saya mulai menceritakan mengenai kesenian menari tradisional dan tarian modern seperti ballet. Di situ, Hakim berkata bahwa dia menginginkan kerajinan orang-orangannya memiliki bentuk kaki dan tangan seperti orang yang sedang ballet. Pada saat itu, saya merasa bahagia dan semangat karena akhirnya Hakim mulai terlihat antusias. Â
Â