Sampai datang seorang dato bernama Tony Fernandez yang dengan “gila” membeli perusahaan penerbangan yang pada saat itu sahamnya tak lagi bernilai itu. Lewat bendera Tune Air Sdn Bhd yang ia miliki, Tony mengakuisisi AirAsia dengan harga saham RM 1 saja.
Apa yang dilakukan Tony hingga mampu membawa rongsokan itu terbang mengudara lagi, dengan begitu gagahnya? Langkah awal Tony adalah membuka dua Hub penerbangan pesawat AirAsia di Malaysia. Yaitu, di Kuala Lumpur dan Johor. AirAsia kemudia re-branding menjadi pesawat yang dapat mengankut penumpang manapun dengan biaya yang murah. Alhasil, dengan krisis keuangan yang memaksa penurunan daya beli masyarakat, membuat AirAsia menjadi alternative yang sangat populer.
Lalu muncul pertanyaan bagaimana bisa semulus itu Tony Hernandez mengubah puluhan rongsokan pesawat menjadi alternative transportasi yang paling dicar? Banyaknya inefisiensi yang terdapat di dalam perusahaan membuat Tony memilih untuk operasi angkat lemak dengan menjual pesawat-pesawat yang berbiaya besar dan bermacam jenis, lalu menggantinya dengan pesawat type sejenis. Dengan demikian biaya maintainance dapat ditekan sedemikian rupa. Perampingan ketenaga-kerjaan (down sizing) juga tak luput dari perhatian, hingga kemudian mengajukan renegosisasi utang pada bank-bank yang terkait.
Krisis akibat Guncangan Keamanan Terorisme
Pembajakan pesawat dengan motif terorisme yang menghancurkan WTC di Amerika memberikan teroma yang cukup besar bagi para pengguna pesawat terbang di Dunia. Itupulah yang dirasakan oleh AirAsia. Sebagian besar pasar yang dimilikinya dibeberapa Negara di Asia menciut drastis.
Tapi, ada strategi yang justru menarik yang digunakan oleh Tony Hernandez untuk mengantisipasi penurunan penumpang. Air Asia malah menambah frekuensi iklan dan promo. Bahkan, Ketika terjadi pemboman Bali I di mana maskapai internasional takut ke Bali, Air Asia malah meningkatkan iklan dan promosi tujuan terbang wisata ke Bali.
Masih ingat asal muasal melonjaknya maskapai penerbangan carter ringan lokal Susi Air. Tatkala terjadi bencana tsunami Desember 2004 di Aceh, semua maskapai penerbangan nasional tidak ada yang berani terbang ke Aceh. Berniat membantu korban bencana tsunami dengan membawa sejumlah bantuan kemanusiaan, pesawat ringan Cessna Susi Air menjadi pesawat komersial yang mendarat pertama di Aceh. Dengan segera menjadi langganan badan-badan kemanusiaan internasional sehingga mempercepat penguasaan pangsa pasar carter ringan ke depannya.
Begitu pula yang dilakukan AirAsia, disaat semua maskapai menjauhi Bali, AirAsia justru berusaha menjadi oase ditengah keringnya alternative penerbangan ke Bali. Semua pintu, baik dari luar Indonesia maupun dalam Indonesia di buka. Meledaklah kata AirAsia di setiap perbincangan pengguna pesawat terbang yang kesulitan menemukan penerbangan ke Bali.