Mohon tunggu...
Delfi Yudha Frasetia
Delfi Yudha Frasetia Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Editor in Chief di http://katabangdel.com/ Character Education Enthusiast | Business Analyst | Co-Founder MGI Foundation

Selanjutnya

Tutup

Money

Membongkar Dalang di Balik Krisis Ekonomi (Mata Uang) 2015 (AADC-A)

27 Agustus 2015   11:13 Diperbarui: 15 September 2015   11:07 26475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh Delfi Yudha Frasetia

AADC+A = Ada Apa Dengan China - Amerika

Panik. Barangkali kata sifat ini punya rating yang tinggi dalam beragam search engine beberapa minggu belakangan ini. Penyebabnya apa lagi kalau bukan depresiasi rupiah yang cukup dalam (terakhir menembus Rp 14.000). Memang dasar tabiat masyarakat Indonesia, pertanyaan yang dipastikan muncul ramai adalah siapakah gerangan yang pantas disalahkan? Lalu biasanya yang tertuduh juga mencari kambing hitam untuk cuci tangan.

Sudahlah, tidak akan habis kata kalau yang kita runut itu “salah siapa krisis ini?. Lebih bijak jika kita mencoba berpikir logis lalu kemudian menyimpulkan fakta, bukan menyimpulkan opini. Fakta yang pertama adalah nilai Rupiah menurun dan Dollar naik. Ini memang fakta, dan memang terjadi, apa salah jika ada orang bilang seperti itu?. Nyatanya banyak sekali pihak-pihak yang sok merasa pintar dan berguyon “anak kecil juga tahu kalau rupiah turun dollar naik”.

Anggaplah mereka kurang puas (kalau tidak dikatakan malas mencari tahu) dengan jawaban pemangku kekuasaan atas masalah ini. Jadi biarlah kita saja yang mencoba mengurai benang kusut krisis mata uang tahun ini, semoga kita bisa mengintip siapa biang kerok kepanikan dunia yang terjadi tahun ini.

Perlu kita ketahui, menguatnya nilai rupiah dalam periode 2007-2011 dikarenakan melesatnya investasi ke pasar uang dan pasar modal di Indonesia. Bagaimana tidak, krisis ekonomi yang dilanda Amerika membuat tidak ada satupun investor yang betah dan nyaman jika uang mereka berada di negeri yang sedang sakit tersebut. Ditambah lagi kebijakan The Fed yang mem-bailout (stimulasi) ekonomi Amerika lewat kebijakan Quantitative Easing ternyata menambah likuiditas global yang membuat kondisi menjadi nggak gena-gena. Alhasil, karena investasi deras mengalir ke Indonesia, rupiah berada pada posisi yang cukup baik dengan kecenderungan menguat selama Amerika sakit (kurs Rp 16.800 per dollar pada tahun 1998 sebagai komparasi). Amerika punya basis investasi yang besar, sistemati, dan menggurita. Sehingga jika uang mereka tidak diparkirkan pada tempat yang memiliki gain yang tinggi akan sangat beresiko pada cash flow mereka (contoh perusahaan asuransi).

Selama proses penyembuhan, Amerika terus mengeluarkan surat utang Negara (modal yang digunakan untuk kebijakan Quantitative Easing) untuk terus menstimulasi perekonomian mereka. Dan Negara yang memborong surat utang tersebut adalah China. 

*baca artikel Petani Pahlawan dan Pejuang Dunia Moderen di http://www.katabangdel.com/2015/09/petani-pejuang-pangan-dan-gizi-bangsaku.html

Pintar-nya, China memborong begitu banyak dollar lewat surat utang Amerika dan membanjiri global dengan Yuan. Dampaknya? Yuan terus terdepresiasi dan dollar terapresiasi. Apakah berbahaya untuk China? Tidak! Pertama, penurunan nilai Yuan membuat produk hasil dalam negeri China begitu murah di pasar global, sehingga sangat kompetitif bagi pasar ekspor mereka. Kedua, dengan dollar amerika yang terus “diborong” China membuat nilai dollar Amerika terus meningkat. Alhasil, niat mau memperbaiki ekonomi malah kesulitan menjual produksi karena kelampau mahal akibat apresiasi dollar. Ketiga, China dapat memegang kendali penuh atas Amerika karena memegang Dollar dengan jumlah yang sangat besar. Lalu China Berjaya-lah di muka bumi ini.

Disisi lain, saat Amerika kelebihan likuiditas oleh kebijakan Quantitative Easing, membuat suku bunga pinjaman mereka turun hanya tinggal 0,25%, sehingga pada akhirnya membuat dunia usaha di sana perlahan bangkit. Kebangkitan yang mulai dirasakan sampai saat ini membuat mereka mengeluarkan kebijakan Tapering Off atau penurunan Quantitative Easing. Bahasa sederhana-nya "sudah cukup-lah modalin rakyat, semua sudah pada mandiri, saatnya balikin modal".Alhasil Tapering Off membuat suku bunga naik kembali dan industri keuangan Amerika kembali menarik bagi para investor.

Yang kemudian muncul adalah semua investasi di semua negara pada "pulang kampung" kembali ke Amerika. Untuk pulang kampung, maka pembelanjaan dollar Amerika secara besar-besaran dilakukan disemua negara. Meroket-lah Dollar Amerika kembali kesemula. Apakah Amerika benar-benar sudah pulih ke keadaan semula? belum. Sebenarnya mereka masih terseok-seok, mereka belum mendapat keseimbangan neraca perdagangan yang baru (ekspor-impor). Alasannya adalah kesulitan ekonomi yang dialami negara-negara tujuan ekspor mereka seperti eropa dan china sendiri. Tapi untuk hanya membuat China kembang-kempis bolehlah.

Ada sebuah angin segar didapat Amerika, yaitu saat ditemukan sumber energy Shale Gas di Amerika. Sumber energy ini ¼ lebih murah dari gas bumi yang sekarang dikuasai Rusia. Dan jumlahnya adalah yang terbesar di dunia. Dengan biaya energi yang begitu murah patut-lah Amerika pede-nya bukan main. Peta kekuatan negara-negara pemilik energi di dunia pun berubah total.

Apa yang berubah dari peta energy ini? Amerika tidak lagi menganggap Arab Saudi sebagai sekutu yang layak disegani. Dahulu Amerika begitu hormat pada Arab Saudi (Selaku pemimpin OPEC/Negeri minyak paling berpengaruh). Sekarang setelah mendapat sumber energi baru, istilahnya nggak la yau. Bahkan 12 Tahun boikot Iran mereka hentikan, dan akhirnya Iran bebas merdeka kembali. Padahal Arab Saudi (wahabi) sangat anti dengan Iran (syiah). Bahkan Amerika tidak lagi dempetan dengan Israel dan lebih memilih mendekati Iran.(kapan-kapan saya bercerita perpolitikan negara-negara penghasil energi dunia)

Kebangkitan dan peten-tengan-nya Amerika saat ini membuat China berang. Bahkan ada dugaan Investor Amerika berhasil menggoreng bursa efek China dan melarikan Rp 35.000 triliun dalam beberapa hari lewan mekanisme Margin Trading. Untungnya China cukup kuat untuk menstimulasi kondisi yang goncang itu dengan pembelian saham oleh BUMN mereka. Sehingga indeks mereka kembali normal. Namun akhir-akhir China kembali rontok dan belum membuat kebijakan apa-apa. Pertumbuhan ekonomi China akhirnya terkoreksi TURUN.

Tidak terima “di-gini-in”, China bersiap-siap kembali membuat kejutan, pertama untuk menyelamatkan kemerosotan ekonomi mereka, yang kedua memberi pelajaran pada Amerika.

Kebijakan yang dibuat China adalah men-devaluasi mata uangnya. Dengan demikian produk-produk mereka kembali kompetitif. Sebelumnya mereka merasakan penguatan Yuan akibat peningkatan ekspor yang gila-gila-an. Sekarang saat pasar mulai kembali lesu dan membentuk keseimbangan baru atas pulihnya perekonomian Amerika, Yuan dinilai terlalu tinggi. Setelah di-devaluasi 2% beberapa hari yang lalu, China berharap mereka bisa menang head to head dengan Amerika dengan posisi Amerika tidak sakit lagi.

Saat China dan Amerika sedang perang seperti ini, sudah barang pastilah Negara-negara yang terkait dengan dua Negara ini “sempoyongan”. Alasannya simpel saja, untuk menang dipasar perdagangan rill menandingi China dengan Yuan yang terdevaluasi apa mungkin? Dus, berusaha menang di pasar investasi dan uang saat Amerika yang sedang mengurangi Quantitative Easing (Tapering Off)? apa juga mungkin? Pasti semua investasi pada balik ke Amerika, karena suku bunga mereka kembali meningkat. Pada akhirnya seluruh mata uang global akan terkoreksi jatuh.

"Tidak terima “di-gini-in”, China bersiap-siap kembali membuat kejutan, pertama untuk menyelamatkan kemerosotan ekonomi mereka, yang kedua memberi pelajaran pada Amerika."

Kalau setelah membaca ini masih ada yang bertanya salah siapa Rupiah anjlok? Jawabannya adalah salah pemimpin-nya. Pemimpin yang membiarkan Indonesia tumbuh lewat investasi jangka pendek (hot money). Pemimpin yang tidak pernah memikirkan infrastruktur penopang sektor usara (rill). Pemimpin yang hanya pencitraan angka-angka keuangan padahal hanya “buble” (mudah bocor/kabur) semua. Halah, sudahlah, tahu-nya kalian siapa dia.

Lalu bagaimana ini sekarang? Hemat saya, tidak ada gunanya mengikuti atau meladeni perang mata uang yang sedang berlangsung. Saya belum mengikutkan pengaruh Euro dan Rusia didalam perang diatas. Hal ini pasti membuat semua serba sulit. Semua negara punya hubungan ekonomi yang dapat saling mempengaruhi.

Saya berpandangan mendingan pemerintah berfokus memperkuat dunia usaha dalam negeri, baik industri besar, UKM-A maupun UKM-B. Bangun terus infrastruktur dan perbaiki kualitas anggaran pemerintah. Saya yakin dua tahun ini masyarakat akan merasakan pedih yang teramat dalam, biarlah ini menjadi penebus dosa kita karena membiarkan pemimpin yang haus pencitraan, dan terus membuat kebijakan yang jangka pendek (manis namun beracun). Sekarang peta kekuatan sumber daya energi sudah berubah, peta kekuatan global juga sudah berubah, tinggal Indonesia yang hendak memilih ingin berubah atau tidak.

Kalau anda generasi muda, stop mengeluh! Jangan Cengeng! Lets do anything for your nation even just a little thing!

Kalau anda generaasi tua, stop komplain! Ngaca! You are one of part who destroyed everything in our nation!

*baca artikel Petani Pahlawan dan Pejuang Dunia Moderen di http://www.katabangdel.com/2015/09/petani-pejuang-pangan-dan-gizi-bangsaku.html

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun