Di desaku setiap malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan puasa ramadan selalu mengadakan buka bersama di mushola. Orang-orang kerap menyebutnya "maleman". Acara maleman adalah salah satu momen yang aku tunggu-tunggu sejak lama, di mana silaturahmi antar tetangga semakin erat. Setiap kepala keluarga mendapat jatah untuk membawa makanan ke mushola sesuai dengan giliran di malam ke berapa. Warga sangat antusias menimati buka bersama ini. Perempuan berada di serambi mushola, sementara laki-laki berada di bawah serambi menggelar tikar. Kalau aku perhatikan, di area bapak-bapak cenderung senyap dibandingkan area perempuan.
Di Malam ke-27 Ramadan, suasana ceria dan hangat terasa begitu kental di mushola. Namun, di tengah keceriaan itu, aku merasakan ketidaknyamanan ketika ada yang mengkritik hidangan yang disajikan. Rasanya sangat tidak pantas melontarkan kritik di tengah suasana silaturahmi yang sedang begitu erat.
Aku bisa merasakan kekecewaan seseorang yang bersusah payah menyajikan hidangan itu. Mereka pasti telah berusaha sebaik mungkin untuk mempersiapkan hidangan tersebut. Mendengar kritik di depan banyak orang tentu saja membuat mereka merasa tidak dihargai.
Kritik memang perlu, tetapi tempat dan cara menyampaikannya juga harus dipertimbangkan. Tidaklah pantas jika kritik tersebut diutarakan di tengah-tengah acara yang seharusnya menjadi momen untuk mempererat tali persaudaraan. Mungkin lebih baik jika kritik itu disampaikan secara pribadi dan dengan cara yang lebih bijaksana.
Momen maleman seharusnya menjadi waktu yang penuh dengan toleransi, saling pengertian, dan kebersamaan. Kritik yang tidak pantas hanya akan merusak keharmonisan dan semangat kebersamaan yang telah terjalin dengan baik di antara tetangga-tetangga desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H