“Usulan sarpras kami belum goal,” ujar Muslih, “jalanan yang melewati perkebunan sawit tidak pernah diperbaiki. Rusak berat.”
Saat webinar, Muslih langsung memohon kepada Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Aceh Utara, Ditjenbun, dan BPDPKS, agar jalanan diperbaiki untuk menjembatani seluruh petani di Aceh Utara. “Mobil sering tergelincir. Silakan disurvei, Pak.” Menurut mereka lebih baik diberikan 1 unit alat kendaraan untuk perbaikan jalan daripada diberikan dana, dan ini lebih efektif.
Ia pun spontan memohon untuk dinaikkan bantuan dana 25 juta per hektar tersebut. Sebab sekarang, harga-harga melonjak tinggi.
Usai Muslih berbicara, seorang pendamping petani dari Sucofindo menceritakan lambannya proses bantuan ini. Saat petani diaudit internal saja sampai 3 bulan. Ditambah adanya perubahan aplikasi yang perlu penyesuaian selama 3 bulan. Tahap ini berarti sudah memakan waktu 6 bulan, sementara itu rekening petani diblokir, bagaimana mau mengejar program?
Masih di Aceh Utara, Dwijo, petani sawit dari kelompok lain, mencurahkan kerisauannya. Sejak Mei 2020, mereka sudah mengusulkan bantuan, tapi belum mendapatkan respon. Ketika ditanyakan kepada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten, selalu jawabannya belum mendapatkan SK dari Ditjen atau BPDPKS. Menurut Dwijo, bisa jadi karena desa mereka sulit dijangkau dan mungkin dianggap “desa tertinggal”, sehingga terabaikan. Padahal desa tertinggal masuk menjadi salah satu prioritas pemerintah.
Tidak itu saja, mereka harus open camera saat diwawancara, padahal ini adalah hal yang sulit dilakukan bagi petani di sana. Belum lagi harus tanda tangan noktah, dan banyak lainnya, yang bertele-tele. Untuk pengusulan bantuan saja, membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
“Kami ini petani Indonesia, mudahkanlah dan terbukalah kepada kami. Bantu kami,” ucap Dwijo