"Kelapa sawit membantu jutaan petani kecil keluar dari kemiskinan."
                                                                                                      - Presiden Joko Widodo -
Sekitar sembilan puluh persen (90%) petani sawit di Aceh Utara, awalnya tidak percaya akan mendapatkan bantuan dari BPDPKS (Badan Pengelolaan Dana Petani Kelapa Sawit). Ditambah usulan untuk Sarpras (sarana prasarana) belum mendapatkan respon dari Dinas Perkebunan maupun BPDPKS. Meski begitu, ada cerita menyenangkan dari para petani di Aceh Utara.
Saat webinar “Dampak Positif Sarpras, PSR, pendanaan BPDPKS bagi Petani Sawit, 24 Mei 2022, Menara 165, Jakarta, Muslih, Ketua Kelompok Tani Aman Jaya, Aceh Utara, berkisah bahwa kelompok merekalah yang pertama kali mendapatkan bantuan PSR dari BPDPKS di Aceh Utara. Usia kelapa sawit mereka sudah 30 tahun lebih dan perlu di-replanting. Awalnya mereka mengajukan permohonan bantuan untuk lahan 93 hektar, kemudian 120 hektar, termasuk mesin pembuat tepung tapioka, serta bibit bersertifikat dan berkualitas, dan semua itu berhasil memperoleh bantuan BPDPKS. Muslih menyarankan agar petani sawit di daerah lain datang ke perkebunan para petani yang bergabung di Kelompok Tani Aman Jaya, untuk melihat faktanya, bukan mitos atau di-PHP-in pemerintah.
Untuk menunggu sawit mereka panen kembali, mereka melakukan tumpang sari dengan berbagai tanaman, seperti ubi kayu, kacang, jagung, dan pisang, dan lain sebagainya, di sela-sela pohon sawit mereka. Harga jual ubi kayu sebesar Rp2500,00/kilo, petani bisa menghasilkan berton-ton dari 1 hektar saja. Tumpang sari tersebutlah yang dilakukan para petani di Aceh Utara untuk memperoleh pendapatan seraya menanti sawit panen.
Tanaman sawit pada usia ketiga, walau masih brondolan sudah bisa dijual dengan harga Rp1800,00/kwintal, sedangkan yang mereka hasilkan sekitar 7 kwintal—tidak semua di lahan 2 hektar dapat dijual.
Itu cerita dari dampak positif BPDPKS.
Kegusaran petani sawit di Aceh Utara.