Dilansir dari buku Mungkinkah Dunia Tanpa Sawit, dari tahun 1980--2016, konsumsi Eropa terhadap minyak sawit meningkat dari 8% sampai 30%. Sedangkan pertumbuhan rapeseed (Eropa penghasil utama) naik dari 20 ke 44%, dan minyak kedelai turun drastis dari 55% menjadi 9%.Â
Peningkatan konsumsi tersebut membuat petani rapeseed di Eropa ketar-ketir. Ditambah harga minyak sawit yang lebih murah dibandingkan minyak nabati Eropa.
Produksi biodiesel pun di dunia meningkat dan bahan dasar yang banyak digunakan adalah minyak sawit sebesar 35%.
Black campaign yang dilakukan Uni Eropa serta NGO bukan lagi mengenai Green Protectionism dan tidak berdasarkan ilmiah. Melainkan untuk melindungi produknya. Dilihat tingkat konsumsi Uni Eropa terhadap minyak sawit, kampanye hitam yang dilakukan menjadi membingungkan. Jika mereka mengubah pola untuk tidak menggunakan minyak sawit, dan mandiri menggunakan nabati mereka, itu sah-sah saja, tapi tidak bisa memenuhi permintaan dunia untuk biodiesel dan lainnya.
Greenpeace dan WWF yang menentang minyak sawit Indonesia, sebetulnya paham betul bahwa memboikot minyak sawit maupun mengubah alih fungsi perkebunan sawit menjadi kedelai ataupun bunga matahari akan menimbulkan dampak negatif lebih luas dan bertentangan dengan prinsip keberlanjutan. Pun Eropa menyadari bahwa minyak sawit dapat mengurangi gas emisi rumah kaca.
BukuM ungkinkah Dunia Tanpa Sawit?
Saya pun meminta pembaca untuk mencari data-data yang benar perihal sawit Indonesia agar masyarakat dapat saling mengisi, mentransfer wawasan yang benar, dan membagikan solusi. Sehingga pertanyaan Mungkinkah Dunia Tanpa Sawit bisa dijawab oleh masyarakat Indonesia secara bijak, demi masa depan kita dan anak-cucu.
Untuk menambah referensi soal sawit, silahkan membaca buku ini melalui linkhttps://docs.google.com/forms/d/e/1FAIpQLSfAIjad2_tBPeEqCpM9esvt6Qv23g4mqdygdeu_BjbtaAtMJw/viewform