Tuak, Sopi, Ciu, Cap Tikus, dan sebutan minuman tradisional lainnya sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Ciu sendiri munculpada abad ke-17 di Jawa Tengah, kala itu kerajaan sedang mengembangkan budidaya gula tebu dan beras. Selanjutnya menjadi minuman tradisi yang selalu disajikan di acara pesta panen dan penyambutan tamu.
Cap Tikus, minuman berasal Minahasa, malah diminum oleh petani untuk meningkatkan semangat kerja. Arak di Bali digunakan untuk upacara adat. Sopi, minuman dari Maluku, bahkan bisa menghasilkan pendapatan dari penjualan minuman tradisional ini. Sama halnya dengan Moke atau Sopi dari Nusa Tenggara Timur. Uniknya minuman tradisional ini punya sebutan berbeda pada beberapa kabupaten. Di Ngada dan Maumere disebut Moke. Ende dikenal dengan Detu Wollo dan di Pulau Sumba disebut Peci.
Minuman-minuman tersebut hasil penyulingan buah dan bungan pohon lontar ataupun pohon Enau. Di Flores, Moke disuling dari Pohon Enau. Kualitas rasa yang didapat langsung dari tetesan alat hasil penyulingan (bambu) memiliki aroma yang khas dan rasa terbaik. Masyarakat Flores lebih menyukai Moke original daripada yang dicampur bahan lain. Jika dicampur pun, hanya ginseng, akar-akaran, dan paria.
Karena Moke mudah ditemukan, masyarakat sering meminumnya kapan saja dan di mana saja. Biasa mereka mengunakan jerigen untuk mengisi Moke bahkan saat menjamu tamu. Moke yang berkhasiat menjaga kebugaran dan kesehatan tubuh, disuguhkan saat upacara adat, pesta pernikahan, acara syukuran, panen padi, mendirikan rumah, dan lainnya. Pernah saya melihat makan malam bersama sebelum acara kesenian dimulai, Moke satu-satunya minuman yang tersedia. Tidak ada air putih ataupun teh, kopi, dan minuman lain.
Uniknya lagi, saat mengunjungi megalith, Kampung Wogo, 16 km dari Kota Bajawa. Meski megalitikum ini banyak yang tertutup oleh rumput-rumput panjang dan tak terurus, masih terlihat megalith berbentuk meja makan. Lebih tepatnya diyakini masyarakat setempat sebagai meja makan yang digunakan oleh leluhur mereka. Sebelum saya dan teman-teman pulang ke kota masing-masing, kami diundang untuk makan bersama.
Sementara bergiliran minum Moke, beberapa di antara mereka memainkan suling dari bambu, bernyanyi dan menari. Bernyanyi dan menari adalah tradisi yang sangat digemari masyarakat Flores – di setiap acara mereka selalu melakukannya. Tentu, tanpa melupakan kehadiran Moke. Ketika ditanya mengapa Moke kerap ada pada setiap acara? Mereka jawab secara spontan,”Itu minuman nenek moyang yang diwarisi turun-menurun. Minuman yang bisa mengakrabkan kita kepada siapa pun, selain untuk acara adat maupun lainnya.”
Selama di sana, memang saya dan teman-teman tidak pernah melihat masyarakat minum Moke dalam keadaan mabuk berat. Apalagi bertengkar. Malah, mereka senang bila kami bertanya tentang apa pun terkait tanah mereka dan bercerita panjang. Entah itu anak muda maupun opa-oma, mereka semakin bersemangat bercerita. Percaya atau tidak, saat itu kita semua sudah seperti keluarga, sampai sekarang pun saya masih ingat wajah mereka satu per satu.
Minuman Moke merupakan kuliner Flores yang mengandung etanol dan melalui proses fermentasi dan destilasi. Moke, Arak, Sopi, Ciu, dan sejenis lainnya digunakan untuk menjamu tamu, upacara adat ataupun keagamaan, pengobatan, ritual, sumber penghasilan, perayaan, dan pendamping hidangan. Semua itu menjadi budaya dan identitas yang tidak bisa begitu saja dicomot, terlebih dimusnahkan. Budaya itu landasan manusia menjalani kehidupannya dalam berbagai aspek.
Kematian, perkelahian, bunuh diri, pemerkosaan, kecelakaan, dan lainnya, disebut-sebut sebagai sumber penyebabnya. Entah apakah pernah menilik dari segi psikologis atau ekonomi. Bagi saya, alkohol hanyalah objek yang dimanfaatkan sebagai fasilitas mencurahkan segala permasalahan. Persis dengan narkoba. Bukan narkoba yang harus disalahkan namun temukan sumber permasalahan mengapa pengguna narkoba sampai mengonsumsinya. Tidak jauh berbeda dengan alkohol, bukan?
RUU Minol dipicu pula kemunculan minuman alkohol oplosan yang peredarannya merajalela. Minuman yang dicampur bahan kimia yang membahayakan manusia memang perlu didukung pemusnahannya. Namun, selayaknya Pemerintah maupun pejabat terkait mengkaji kembali pasal-pasal minuman alkohol tradisional. Minuman yang berasal dari pohon - bagian alam semesta yang diciptakan Tuhan. Dan Tuhan menciptakan sesuatu tidak mungkin untuk menyesatkan tapi bermanfaat. Manusialah yang seharusnya dipertanyakan tentang hal ini.
Terlebih lagi bila menyangkut budaya yang berupa warisan dan telah melekat selama berabad-abad pada masyarakat Indonesia. Mungkin orang-orang yang mengisi bangku Pemerintahan maupun orang-orang yang menentang warisan kuliner ini adalah warga negara yang belum sepenuhnya memahami arti budaya. Tidak heran kondisi politik kian ‘bergairah dalam senggama yang tidak pernah mencapai tingkat orgasme,” era digital yang dampak negatifnya hiruk-pikuk, program pendidikan sekolah yang selalu berubah, hutang luar negeri yang semakin membuat kaya, dan... (silahkan Anda sebut sendiri).
Jika bicara soal budaya, maka tak terlepas dari Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kalimat saya ini rasanya tak lagi perlu diperjelas. Dan budaya yang buruk bakal terkikis sendiri oleh alam semesta. Soal agama, agama memang melarang minuman keras/alkohol, dan meminum atau mengunakan sesuatu yang memabukkan. Di sini kita bicara keyakinan, apa pun keyakinan seseorang, sebaiknya dihargai dan saling menghargai. Namun, bila sampai perusakan atau kerugian, perlu menyelusuri apa penyebab utamanya.
Peredaran minuman alkohol memang perlu dibatasi, usia di atas 21 tahun dianggap telah memiliki kesadaran dan tanggungjawab. Minuman alkohol oplosan memang perlu diberantas. Sebaiknya, masyarakat memelajari terlebih dahulu bahan-bahan yang aman untuk dicampur alkohol.
Tapi melarang peredaran minuman tradisional Indonesia yang mengandung etanol, rasanya perlu ditelaah kembali.
Beberapa isi RUU Minol:
BAB 1, Pasal 1:
Berisi uraian detil pengertian minuman beralkohol, yakni minuman yang mengandung etanol (C2H5OH) hasil pertanian. Etanol hasil pertanian mengandung karbohidrat yang diperoleh dengan cara fermentasi dan destilasi.
BAB 2, Pasal 4:
Klarisifikasi jenis minuman beralkohol yang dilarang. “Golongan A yang merupakan minuman beralkohol dengan kadar etanol lebih dari 1% hingga 5%. Golongan B kadar yang lebih dari 5-20%. Golongan C kadar yang melebihi 20 – 55%, minuman beralkohol tradisional dengan berbagai jenis nama, serta minuman alkohol racikan.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H