Seperti pembaca tahu, negeri kita tercinta, Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Dan, seperti masyarakat luas tahu, pertumbuhan Indonesia di berbagai sektor masih kalah dibanding negara-negara tetangga atau negara dunia yang berkembang. Pertumbuhan negara yang lamban mencakup wilayah atau daerah perbatasan dan daerah tertinggal yang lama tak digubris oleh Pemerintah, barangkali termasuk masyarakat luas yang cuek. Atau mungkin kita dan Pemerintah sadar tapi tak mampu berbuat apa-apa karena keterbatasan pengetahuan, modal, infrastruktur, telekomunikasi, dan banyak lagi hal lainnya.
Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi http://www.kemendesa.go.id/ pada tanggal 3 November 2015, Gedung Birawa, Bidakara, Jakarta mengadakan “Border Investment Summit”. Pertemuan acara yang merujuk sebagai “Kompor” yang dilakukan Kemendesa kepada Kementerian lain, pihak swasta, dan masyarakat luas untuk bersama-sama membangun Indonesia. Sebenarnya, tubuh Indonesia sangatlah seksi, sayang tidak dipoles “make up”, baju yang tidak “up to date”, tak memajang batu-batu mutiara nan indah di lehernya, rambut hitam lebat dan pekat yang tak diurus hingga rontok dan lebih banyak diam di rumah. Dan metafora-metafora lain yang bertebaran pada wujud perkembangan Indonesia yang seutuhnya.
Kemendesa merasa gemas, kuasa pun sebatas membuat kebijakan dan program, sebab inilah Bapak Marwan Ja’far, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, menggelar Border Investment Summit. Perasaaan gemas, gelisah, dan peduli ini, ternyata tidak hanya dirasakan oleh Kemendesa, tapi peserta lain yang hadir di acara ini: Gubernur Sulut, Kalimantan Utara, NTT, Riau, perwakilan daerah perbatasan dan daerah tertinggal, Jababeka, dan 400 peserta undangan termasuk Dosen dan Mahasiswa UGM.
Bapak Marwan Ja’far mengutarakan tujuan acara ini, yaitu untuk mendorong minat dan mendorong keterlibatan. Kegiatan acara yang sebetulnya sudah dipersiapkan 6 bulan lalu. Yang sekaligus meluncurkan Buku Profil Indonesia, berisi: potensi investasi daerah perbatasan, deskripsi wilayah, komoditas unggul, dan infratruktur.
Infrastruktur, adalah 1 kata yang jutaan kali diucapkan oleh orang-orang. Banyak tempat di Indonesia yang memiliki kekayaan potensi sulit dikunjungi karena infrastruktur yang tidak memadai atau mendukung. Sama halnya yang terjadi di daerah terbatasan. Contohnya masyarakat di perbatasan Kalimantan,untuk mendapatkan makanan, kebutuhan pokok, dan pelayanan kesehatan, mereka harus menuju ke negara tertangga, yaitu Malaysia. Transportasi menjadi hambatan bagi orang dari luar dari wilayah tersebut untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat di sana. Hal ini cukup mengkhawatirkan, masyarakat perbatasan bisa saja “pindah” kewarganegaraan.
Contoh lainnya Kepulauan Natuna – terletak di antara Sumatera dan Kalimantan – Kepulauan Riau, Azzami Rasyid, Ketua BEM Fakulitas Geografi UGM, bercerita, di sana banyak nelayan dari Cina yang mudah mengambil ikan-ikan dari perairan Indonesia. Kapal yang mereka pakai kapal canggih, tidak seperti nelayan Indonesia yang kapalnya kecil-kecil. Malah Cina sempat mengklaim Kepulauan Natuna sebagai wilayah geografis mereka. Menurut Azzami, tidak hanya itu, antara Sumatera dan Kalimantan banyak jebakan minyak dan gas, kalau tidak diamankan, bisa otomatis lepas ke negara lain. Kepulauan Natuna pun memiliki keindahan alam yang sangat indah. Itu baru cerita dari pengalaman teman-teman Azzami mengenai Kepulauan Natuna yang kaya potensi. Belum tentang Papua, beberapa daerah Jawa yang tertinggal (Jawa masih tertinggal?!) dan daerah perbatasan serta daerah tertinggal lainnya di Indonesia.
Atas kaitan itu, dalam sambutannya, Bapak Marwan Ja’far menekankan banyak alasan dan tujuan “kompor” Kemendesa kali ini.
“Pemerintah Daerah, Pusat, pihak swasta, dan masyarakat harus terlibat dan aktif. Percepatan pertumbuhan daerah perbatasan mutlak dilakukan. Kementerian telah berkomitmen dalam percepatan pengembangan daerah. Supaya upaya pengembangan dan budidaya menjadi bukan hanya sebagai pos berbatasan negara, tapi juga sebagai pintu perdagangan internasional, transportasi dan kedaulatan Indonesia.”
“Pertumbuhan dan kondisi daerah perbatasan masih kurang minat orang untuk berinvestasi. Karena infrastruktur yang kurang memadai. Sistem peraturan daerah pun suka menghambat. Ada potensi 14 juta hektar tanah tidur yang belum dikembangkan. Pemerintah memberikan insentif bagi pihak swasta yang membantu investasi dalam bentuk perijinan dan kemudahan investasi. Perbatasan perlu regulasi khusus yang menarik investor. Semoga langkah baru ini dapat menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, meningkatkan ekonomi daerah perbatasan, dan juga kedaulatan,” lanjutnya.
187 kecamatan dari 41 kabupaten/kota di 13 propinsi menjadi area fokus pengelolaan kawasan perbatasan negara. Yang mengarah pada program pengembangan PKSN (Pusat Kegiatan Strategis Nasional), di antaranya: fungsi pusat perkotaan sebagai lintas batas negara, pintu sebagai gerbang internasional, perdagangan, dan ekspor-impor, simpul utama transportasi, menghubungkan antar wilayah, dan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan. Termasuk regulasi khusus untuk kesiapan Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan memudahkan dunia usaha berinvestasi di daerah perbatasan.
Dan investasi di daerah perbatasan mencapai nilai sebesar Rp. 130 trilyun dalam kurun waktu 2015 – 2019. Angka tersebut menjadi masukan untuk pengambilan kebijakan Pemerintah dalam upaya peningkatan investasi daerah perbatasan. Hal ini perlu langkah integrasi dan sinergi dari berbagai pihak.
Selain tujuan tersebut, Pemerintah juga ingin membatasi kepemilikan asing dan membatasi peternakan babi. Membatasi peternakan babi? Entah dengan alasan apa. Pemerintah juga ingin fokus pada daerah paling tertinggal. Seperti Papua yang diharapkan dapat tumbuh 2 kali lipat. Sekarang ini ada sekitar 29 Kabupaten - 23 daerah tertinggal dan 6 daerah terentas – daerah yang perlu diangkat. Relaksasi akan dilakukan untuk wilayah tertentu hingga 60 sampai 70%.
Menurut Bapak Suprayoga Hadi, daerah perbatasan, terlupakan, maupun terkecil meski termasuk wilayah strategis nasional, namun pandangan mengenai kosakata tersebut harus diubah. Daerah-daerah tersebut harus dibangun dengan terobosan baru. Mengubah keterbelakang menjadi ke depan. Sebelumnya kita hanya melihat dari segi keamanan. Sekarang harus berpikir ke luar, tidak hanya ke dalam saja. Sekali lagi untuk tujuan pemerataan dan kedaulatan. Terhadap masyarakat asli atau penduduk lokal pun tidak dilupakan agar mereka tetap merasakan kepemilikan serta meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Penduduk lokal harus menjadi Shareholder. Jangan sampai menjadi masyarakat yang termarginalkan dan kehilangan hak mereka,” ucap Bapak Dr.Ir. Suprayoga Hadi, MSP, Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT).
Misalkan dalam bentuk tanah. Penduduk yang mengolahnya dan bekerja, agar tidak kehilangan hak. Tanah dan olahannya itu merupakan investasi buat mereka sendiri dan juga negara.
“Pertemuan ini sebagai pengedor. Kick off kepada lainnya,” lanjutnya lagi.
Indonesia yang seksi, tapi hampir keriput dimakan oleh waktu yang tidak memedulikannya. Mungkin peduli, namun waktu tidak mampu bertindak. Indonesia yang seksi tapi terbengkalai, berdiri lusuh hampir tenggelam oleh negeri-negeri kecil yang menjadi raksasa. Untuk menghidupkan seksinya Indonesia, perlu suntikan infus di mata, telinga, hidung, bibir, tangan, kaki, hati dan jiwanya.
Tubuh yang bisa saja jadi keropos bakal tinggal kenangan. Padahal di tubuhnya terdapat kuliner-kuliner khas yang sedap di lidah, kesenian yang mendarah dalam gerak tangan dan kakinya, suara-suara nyanyian alam dan hewan yang berdenting indah di telinganya, udara dan pemandangan alam cantik yang berhembus alami di hidungnya, bangunan-bangunan bersejarah dan budaya yang membinarkan mata. Kesadaran, kepedulian, dan rasa memiliki adalah hati dan jiwanya yang terus memanggil-manggil anak-cucunya.
Indonesia bakal semakin seksi bila pertumbuhannya cepat dan didukung oleh jiwa-jiwa sumber daya manusianya yang mencerdaskan diri dan menjaga semestanya, serta alat pendukung yang tidak murahan kecuali hemat energi dan memiliki jangka panjang puluhan tahun. Apalagi membeli peralatan yang berkualitas nomor 2 atau nomor 3 sebagai mesin pendukungnya. Ini kritik saya jika Pemerintah jadi membeli alat pendukung dalam bidang apa pun dengan harga lebih murah dari pihak asing, tapi tidak memikirkan jangka panjang. Sebuah investasi buruk! Maka saya pun berharap bila ada investasi asing yang masuk, janganlah merampas dan mengambil kesempatan, serta menawarkan produk-produk kualitas nomor 2.
Saya pun berharap dalam tulisan ini yang semoga menjadi lucutan bagi pihak swasta dan masyarakat untuk melibatkan diri dalam membangkitkan keseksian Indonesia.
Karena Indonesia seksi dan kaya raya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H