Di kala bumi, hanya ada hewan-hewan, tumbuhan-tumbuhan, dan semesta lainnya, makhluk alien meneropong situasi dari galaksi yang dirahasiakan namanya. Tak sengaja galaksi tempat para alien hidup tersedot oleh lorong hitam dan membuat mereka berada di negeri – yang akhirnya diketahui bernama “Bumi”.
Pepohonan rimbun, sebuah rumah, parasit, bambu, dan sungai bersama sampahnya disulap menjadi sebuah pertunjukan seni multimedia yang eksotis. Dan semuanya itu mengajak penonton berjalan-jalan ke suatu dimensi . Musik elektrik muncul di udara. Mengelilingi ruang Tukad Abu yang lampu-lampunya sengaja diredupkan.
Secara bersamaan, antara pepohonan di seberang dan kumpulan bambu yang berdiri lekat di satu pohon, menampilkan Visual Art yang bercerita. Irama etnik Balafon dan seruling perlahan datang di antara dentum elektrik musik, kemudian memasuki pikiran-pikiran penonton untuk merasakan jaman prasejarah ketika manusia menginjakkan kakinya di bumi. Hadir pula, Dua penari, satu bergelantung di akar pohon, satunya lagi duduk bersama pemain musik Balafon di atas wujud panggung yang terbentuk dari bambu. Tokoh utama pertunjukan ini: lighting dan visual art memang diakui mampu memainkan sekaligus memusatkan konsentrasi penonton tidak terbelah. Terlebih lagi, iringan 2 jenis musik berbeda yang disuguhkan sangat apik dan mampu merangsang khidmat suasana hati dan ruang terbuka Tukad Abu.
“Pertunjukan visual art yang berbeda,” “Keren!”, “Terhipnotis!”, “Kita dibawa hanyut oleh mereka,” “Amazing!”, “Gorgeous performance!” merupakan ungkapan-ungkapan yang kerap dijawab oleh penonton (yang tidak hanya berasal dari pribumi, tetapi juga warga asing) saat ditanya tentang penampilan “Human is Alien” yang baru saja disaksikan. Teriakan dan tepuk tangan penonton meriah lepas mengakhiri pertunjukan seni yang menakjubkan ini.
"Saya suka kesal melihat tetangga atau orang lain membuang sampah sembarang, tetapi saya bukan orang yang tipe menegur langsung, makanya saya menegur mereka lewat pertunjukan karya seni," ujar Jonas Sestakresna
Pencemaran lingkungan. Isu yang sering diangkat masyarakat Bali. Seorang konseptor “Human is Alien”, Jonas Sestakresna tidak ketinggalan menjadikan isu ini sebagai tema dari pertunjukan multimedia art-nya . Bali sempat larut dalam permasalahan buang sampah, bahkan sampai saat ini. Hal ini sangat meresahkan bagi jiwa-jiwa yang mencintai lingkungan dan alam, apalagi Bali merupakan tempat wisata populer yang selalu berada di peringkat atas tempat wisata di dunia. Dan Jonas cukup terganggu terhadap hal ini.
Sungai. Salah satu tempat paling sering “dihajar” masyarakat untuk membuang sampah tanpa berpikir panjang. Tak heran, sengaja Jonas memilih lokasi yang ada sungai beserta sampah berceceran. Sampah-sampah itu pun dibiarkan berada di sungai tersebut agar penonton bisa melihat langsung betapa tidak eloknya perbuatan tangan-tangan manusia itu. Supaya pesan mengenai lingkungan hidup tersampaikan secara baik dan elegan, imajinasi Jonas terbang menuju jaman prasejarah – Ia pun tak tahu alasan memilih masa tersebut, selanjutnya, konsep pertunjukan seni datang begitu saja. Tak dipungkiri, pertunjukan seni kerap disepakati para pelaku seni untuk menyampaikan suatu pesan atau tema kepada masyarakat.
Nama “Human is Alien” bagi Jonas terasa sesuai dengan perilaku-perilaku negatif manusia saat ini dan yang suka mengeksploitasi alam lingkungan. Juga suatu nama yang pas untuk kampanye lingkungan hidup. Mungkin, cerita dalam imajinasi Jonas mengkisahkan manusia yang tampak aneh dan asing oleh makhluk hidup lainnya. Manusia pun merasa menjadi makhluk asing yang tidak mengenal bumi beserta isi-isinya. Yang kemudian, memunculkan “Human is Alien” di kepala Jonas sebagai sebuah nama dan masa di jaman prasejarah awal manusia tiba di bumi.
Tentang Human is Alien
Jonas, Pria kelahiran Malang, pernah hidup 4 tahun di Lombok, kemudian bertahun-tahun menetap di Bali, menganggap sebuah rumah berlokasi di Denpasar, Bali, sebagai ruang kreasi seni yang dinamakan Tukad Abu. Menurutnya, parasit dan anggrek yang tumbuh di pohon belakang rumah, sungai, puluhan bambu, kain polos, pepohonan rindang, serta tenaga listrik berdaya 3000 KWH, dapat diajak bekerjasama dalam kampanye “Human is Alien”. Adalah sebuah pertunjukan seni jiwa-jiwa prasejarah lewat multimedia yang mengabungkan seni visual, musik, tari, dekorasi panggung, dan yoga yang terselubung kampanye lingkungan hidup
Beralih pada konsep lokasinya, pinggir sungai atau pantai, kalau di kota di bawah jembatan karena harus ada struktur atau pohon. Rencananya lokasi akan berpindah-pindah. Human is Alien baru kali pertama diadakan pada tanggal 21 Juni 2015, pertunjukan kedua (24 Juli 2015) lokasi dirahasiakan, private performance with private guest, sorry to say, guys. Pertunjukan selanjutnya akan diadakan di hamparan padang padi, 30 Juli 2015, Peliatan, Ubud, Bali dan melibatkan lebih banyak lagi musisi, penari, dan pelaku seni.
Rencananya juga, Human is Alien akan melangsungkan tur kampanye melalui Crowd Funding Online. Dan menurut bisik-bisik yang beredar, Jakarta akan menjadi lokasi pertunjukan selanjutnya.
Dengan kehadiran Human is Alien, semoga jiwa-jiwa kembali berteman dengan alam semesta
The People Behind of Human is Alien:
Project Director : Jonas Sestakresna
Multimedia Director : Bimo Diwipoalam
Sound Director : Marik
Musician : Ringga Wardhana, Farhan Adityasmara, Catur Sang Klana, Neo, Emank
Dancer : Tania (Yoga dance), Julia (Aero dance)
Realisasi Kontruksi : Komunitas Pojok
Cinema 4D : Koesno
Diproduksi oleh : Ruang Asah Tukad Abu dan Prehistoric Soul
Human is Alien Performance on You Tube
Sekilas Video Visual Art Human is Alien
The music of first performance - Human is Alein
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H