Bank merupakan salah satu lembaga keuangan atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Pengertian bank menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyatakan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Risiko bank dapat menjadi risiko sistematis (systematic risk) artinya mempengaruhi secara makro ekonomi suatu negara bahkan beberapa negara lainnya. Risiko adalah ancaman atau peluang untuk suatu kegiatan atau peristiwa yang bertentangan dengan tujuan yang dapat dicapai. Dengan kata lain, risiko adalah kemungkinan menderita kerugian karena kehilangan sebagian atau seluruh modal Anda. Risiko itu sendiri muncul dari ketidakpastian.
Ekonomi syariah merupakan sebuah sistem perekonomian yang diluncurkan agar memberikan uluran tangan dalam memakmurkan kebutuhan manusia, di mana diwujudkan dengan mengelola sumber perekonomian menurut nilai-nilai agama Islam dan prinsip ekonomi syariah lainnya. Pengertian ekonomi Syariah serupa dengan ekonomi Islam. Salah satu produk dimana diciptakan dari perekonomian Syariah adalah Bank Syariah. Bank Syariah memiliki tujuan sebagai sarana penghimpunan dan perputaran dana masyarakat yang dilakukan supaya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Bank Syariah memiliki mekanisme cukup berbeda jika dibandingkan dengan perbankan konvensional. Salah satu contohnya adalah tidak adanya bunga pada sistem tabungan dan kredit disini. Hal ini disebabkan perbankan Syariah mengikuti prinsip ekonomi Syariah dengan tidak memperbolehkan adanya riba pada penyelenggaraan operasionalnya.
Risiko perbankan merupakan risiko ditimbulkan kepada suatu bank dari pengambilan sebuah keputusan berkaitan dengan operasional bank. Perbankan syariah juga tentunya memiliki risiko, di mana akan akan dijelaskan mengenai risiko likuiditas dan risiko operasional pada uraian di bawah.
Istilah likuiditas berarti jumlah modal yang tersedia untuk investasi dan pengeluaran, sedangkan bank berarti kemampuan untuk memenuhi permintaan kredit dan utang yang terkait dengan jatuh tempo (İncekara & Çetinkaya, 2019). Risiko likuiditas terjadi di mana kurangnya likuiditas yang dibutuhkan bank untuk memenuhi kewajiban mereka. Dapat dikatakan bahwa risiko likuiditas adalah pembunuh bank, klaim ini didukung oleh kegagalan beberapa bank di masa lalu.
Likuiditas menjadi unsur penting untuk bank syariah dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, mengatasi kebutuhan mendesak, memuaskan permintaan nasabah terhadap pinjaman, dan memberikan freksibilitas dalam meraih kesempatan investasi menarik dan memungkinkan. Likuiditas yang tersedia harus cukup, tidak boleh terlalu kecil sehingga mengganggu kebutuhan oprasional sehari-hari, tetapi juga tidak boleh terlalu besar karena akan menurunkan efisiensi dan berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas. Jadi jika suatu bank bisa mengelola likuiditas tersebut, maka nasabah-nasabah akan merasa puas yang akan berdampak pada bertambahnya nasabah baru dan memajukan bank syariah tersebut.
Risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank syariah untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank. Ketidakmampuan bank untuk memperoleh sumber pembiayaan arus kas yang akan menimbulkan risiko likuiditas antara lain disebabkan oleh dua hal. Alasan pertama adalah ketidakmampuan menghasilkan arus kas dari aset manufaktur atau penjualan aset, termasuk uang tunai. Alasan lainnya adalah ketidakmampuan untuk menghasilkan arus kas dari penggalangan dana, transaksi antara bank syariah dan pinjaman yang diterima.
Risiko likuiditas juga disebut sebagai risiko yang timbul akibat kurang tersedianya alat-alat likuid bank sehingga tidak mampu memenuhi kewajibannya baik untuk memenuhi penarikan titipan oleh para penyimpan maupun memberikan pinjaman kepada calon debitur. Karena dana likuidnya tidak cukup, biasanya bank terpaksa menjual earning asset dengan harga yang relatif rendah atau bahkan menderita rugi. Risiko likuiditas bank syariah merupakan akibat dari interaksi antara aset dan liabilitas yang dimiliki oleh bank syariah (Dewi and Srihandoko, 2018).
Risiko likuiditas juga dapat diartikan sebagai risiko yang timbul antara lain akibat bank tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Contoh:
Bank memberikan banyak pinjaman jangka panjang kepada para peminjamnya, yang sumber pendanaannya sebagian besar adalah deposito lembaga dengan jangka waktu satu tahun. Karena adanya perbedaan jatuh tempo dalam struktur neraca, terdapat kemungkinan risiko likuiditas bagi bank.
Beberapa faktor yang juga menimbulkan risiko likuiditas bagi bank syariah antara lain:
a. Menurunnya kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan, khususnya perbankan syariah;
b. Ketergantungan pada deposan;
c. Pembatasan instrumen keuangan untuk solusi likuiditas;
d. Ketidaksesuaian antara sumber daya jangka pendek dan jangka panjang;
e. Bagi hasil antar bank kurang menarik karena laporan keuangan harus menunggu perhitungan cash basis bank selesai, yang biasanya terjadi pada akhir bulan.
f. Dengan akad mudharabah, nasabah dapat menarik dananya kapan saja tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Risiko likuiditas sering pula dimaknai sebagai kerugian potensial yang didapat dari ketidakmampuan bank dalam memenuhi kewajiban yang jatuh tempo, baik mendanai aset yang telah dimiliki maupun mendanai pertumbuhan aset bank tanpa mengeluarkan biaya atau mengalami kerugian yang melebihi toleransi bank. Risiko likuiditas merupakan salah satu risiko fundamental dalam industri perbankan. Sebab penyebab utama kebangkrutan bukanlah kerugian mereka, melainkan ketidakmampuan bank-bank tersebut untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
Risiko likuiditas tidak hanya memengaruhi kinerja bank, tetapi juga reputasinya. Bank dapat kehilangan kepercayaan deposan jika dana tidak dibayarkan kepada mereka secara tepat waktu. Dalam situasi ini, reputasi bank bisa dipertaruhkan. Selain itu, situasi likuiditas yang buruk dapat menyebabkan sanksi dari otoritas pengawas. Oleh karena itu, sangat penting bagi bank untuk menjaga pengaturan likuiditas yang sehat. Risiko likuiditas telah menjadi masalah dan tantangan utama bagi bank-bank modern yang menghadapi persaingan ketat untuk simpanan konsumen dan berbagai produk keuangan. Selain itu, perkembangan teknologi telah mengubah struktur manajemen keuangan dan risiko. Sebuah bank dengan kualitas aset yang baik, laba yang kuat, dan modal yang cukup bisa gagal jika tidak memiliki likuiditas yang cukup.
Ketidakmampuan memperoleh sumber dana arus kas sehingga menimbulkan risiko likuiditas dapat disebabkan oleh:
- Ketidakmampuan menghasilkan arus kas, baik yang berasal dari aset produktif maupun yang berasal dari penjualan aset termasuk aset likuid.
- Ketidakmampuan menghasilkan arus kas yang berasal dari penghimpunan dana, transaksi antar bank syariah, dan pinjaman yang diterima.
Risiko likuiditas akan mempersulit untuk meminjam uang dengan tingkat bunga yang wajar atau menjual aset dengan biaya yang wajar. Dalam kedua kasus tersebut, hal ini sangat penting bagi bank syariah karena bank syariah tidak mengizinkan pinjaman berbasis bunga dan karena itu meminjam untuk menyelesaikan masalah likuiditas bukanlah pilihan bagi bank syariah. Selain itu, syariah melarang penjualan utang kecuali dengan nilai nominal, sehingga bank syariah tidak mungkin menjual aset berbasis utang untuk meningkatkan likuiditas.
Berikut ini adalah beberapa teori yang merupakan teori likuiditas yaitu teori pertama adalah “commercial loan theory” atau teori komersial adalah teori manajemen likuiditas yang diturunkan dari kajian Adam Smith (1776) dalam bukunya “The Wealth of Nations”. Teori komersial menyatakan bahwa lembaga bank hanya diperbolehkan memberikan pinjaman dengan surat dagang jangka pendek yang dapat dicairkan dengan sendirinya atau bersifat self liquiditing yang artinya pemberian pinjaman bermakna pembayaran kembali. Teori ini berfokus pada likuiditas melalui pinjaman jangka pendek dan menitikberatkan pada likuiditas untuk hari ini.
Teori likuiditas yang kedua ialah shiftability theory. Teori ini berfokus pada penempatan likuiditas pada aktiva yang dapat dengan mudah dipindahkan. Artinya tingkat likuiditas perbankan dapat dijaga apabila bank melakukan investasi ataupun memiliki aktiva dalam bentuk yang mudah berubah atau dipindahkan. Maksudnya adalah apabila sewaktu-waktu pihak deposan menarik kembali dananya maka pihak bank hanya perlu menjual kembali investasi tersebut dan membayarnya pada deposan.
Menguraikan bahwa bank syariah harus mampu memenuhi kebutuhan likuiditasnya dengan memelihara likuiditas aset atau menciptakan likuiditas dengan cara meminjam dana. Apabila bank menahan aset seperti surat beharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, risiko likuiditas menjadi rendah. Sementara itu, penahanan aset dalam bentuk surat beharga akan membatasi pendapatan karena bank memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dari pembiyaan. Faktor kuncinya adalah bank tidak dapat leluasa memaksimumkan pendapatan karena adanya desakan kebutuhan likuiditas. Karena itu, bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang tepat. Terlalu banyak likuiditas akan mengorbankan tingkat pendapatan dan terlalu sedikit akan berpotensi meminjam dana yang berkaitan meningkatnya biaya dana dan menurunkan profitabilitas. Lebih-lebih bagi bank syariah yang dilarang melakukan pinjaman dana yang berbasis bunga, tentu akan lebih sulit untuk memperoleh dana.
Bank syariah memerlukan pengelolaan likuiditas yang hati-hati agar tidak terkena risiko likuiditas di masa mendatang. Manajemen risiko likuiditas merupakan alat penting dalam keseluruhan kerangka manajemen risiko industri jasa keuangan, khususnya bagi lembaga keuangan. Salah satu kemungkinannya adalah bank syariah dapat menghindari risiko likuiditas dengan berfokus terutama pada metrik tertentu, seperti rasio aset lancar terhadap total aset dan rasio kewajiban lancar terhadap total kewajiban.
Tujuan utama dari penerapan manajemen risiko likuiditas adalah memastikan kecukupan dana secara harian, baik pada saat kondisi normal maupun krisis dalam pemenuhan kewajiban secara tepat waktu dari berbagai sumber dana yang tersedia, termasuk memastikan ketersediaan aset likuid berkualitas tinggi.
Secara lebih spesifik tujuan dari manajemen risiko likuiditas adalah sebagai berikut.
1. Memelihara kecukupan likuiditas bank sehingga setiap waktu mampu memenuhi kewajiban bank yang jatuh tempo.
2. Memelihara kecukupan likuiditas bank untuk mendukung pertumbuhan aset bank yang berkelanjutan.
3. Menjaga likuiditas bank pada tingkat yang optimal.
Dalam menerapkan manajemen risiko, yang terpenting adalah proses dan metode manajemen risiko yang tepat agar usaha bank dapat terus terkendali. Penerapan manajemen risiko dapat berjalan, misalnya perbankan syariah dapat meningkatkan nilai saham, memberikan gambaran kepada manajer bank tentang kemungkinan kerugian bank di masa mendatang, meningkatkan metode dan proses pengambilan keputusan yang sistematis berdasarkan ketersediaan informasi yang berfungsi sebagai dasar untuk pengukuran kinerja bank yang lebih akurat. Menilai risiko yang terkait dengan instrumen atau operasi bisnis bank yang relatif kompleks dan membangun infrastruktur manajemen risiko yang solid untuk meningkatkan daya saing bank syariah.
Kemudian, untuk menerapkan fungsi manajemen risiko likuiditas, bank syariah harus menggunakan fungsi ALMA (Asset Liability Management). Tujuan pengelolaan risiko likuiditas adalah untuk menjaga kecukupan likuiditas bank syariah agar dapat selalu memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, menjaga kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan dan menjaga likuiditas bank untuk mendukung kesinambungan aset bank.
RISIKO OPERASIONAL
Dalam pemberian berbagai jasa layanan perbankan, bank-bank umumnya mengadapi berbagai risiko yang dikenal dengan risiko perbankan dimana salah satu dari berbagai risiko tersebut adalah Operational Risk.
Risiko operasional merupakan risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem dan/atau kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bisnis bank. Dengan kata lain, risiko operasional mengacu pada risiko bahwa bank tidak dapat menjalankan operasi bisnisnya secara normal karena bencana alam, kebakaran atau sebab lain, seperti penyusup (hacker) yang berhasil masuk ke pusat data bank dan mengganggu data.
Risiko operasional juga disebut sebagai risiko yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor manusia, proses, prosedur, sistem dan kejadian eksternal. Baik buruknya manajemen para manajer atau supervisor perusahaan tidak hanya mempengaruhi individu tertentu, tetapi juga mempengaruhi risiko operasional (Hayati, 2017).
Secara garis besar, ada tiga faktor yang menyebabkan risiko operasional, seperti:
1. Infrastruktur, seperti teknologi, kebijakan, lingkungan, pengamanan, perselisihan, dan sebagainya.
2. Proses
3. Sumber daya
Risiko operasional ini mencakup lima hal, yaitu:
- Resiko reputasi (reputation risk), adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan bank atau adanya persepsi negatif terhadap bank.
- Resiko kepatuhan (compliance risk), adalah risiko yang disebabkan oleh tidak dipatuhinya ketentuan-ketentuan yang ada, baik ketentuan internal maupun eksternal.
- Risiko transaksi (transaction risk), adalah risiko yang disebabkan oleh permasalahan dalam pelayanan atau produk-produk yang disediakan.
- Risiko strategis (strategic risk) bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan perubahan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.
- Risiko hukum (legal risk), adalah risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis, seperti: adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan (perjanjian) seperti tidak terpenuhinya syarat keabsahan suatu kontrak yang tidak sempurna (Syafii dan Siregar, 2020)
Beberapa aspek khusus dari perbankan syariah yang dapat meningkatkan risiko operasional dari bank syariah di antaranya : Risiko pembatalan dalam murabahah tidak terkait (kemitraan) dan perjanjian istisnah (manufaktur), kegagalan system pengendalian internal untuk mendeteksi dan mengelola potensi permasalahan dalam proses operasional dan fungsi back-office, potensi kesulitan dalam menegakkan perjanjian Islam dalam lingkungan hukum yang lebih luas, seringkali perlu untuk memelihara dan mengelola persediaan komoditas dalam pasar yang tidak likuid, kegagalan untuk mematuhi persyaratan syariat, potensi biaya dan risiko dalam memantau perjanjian berjenis ekuitas dan risiko hukum terkait.
Risiko operasional dapat menimbulkan pengaruh negatif yang luas, seperti kerugian keuangan secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan rendahnya potensi memperoleh keuntungan. Aktivitas fungsional bank seperti kegiatan perkreditan (penyediaan dana), perbendaharaan (treasury) dan investasi, operasional dan jasa, teknologi sistem informasi, proses administrasi dan pengelolaan sumber daya manusia tidak terlepas dari risiko operasional. Indikator yang digunakan untuk mengukur risiko operasional adalah Beban Operasi terhadap Pendapatan Operasional (BOPO). BOPO sangat berpengaruh dalam mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam menjalanan kegiatan operasionalnya. Dalam hal ini jumlah biaya operasional dan jumlah pendapatan operasional yang diperoleh harus dilakukan perbandingan oleh bank. Jika nilai BOPO semakin tinggi maka profitabilitas bank yang bersangkutan semakin rendah. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Larasati et al. (2019) dan Rohmiati et al. (2019) yang menyimpulkan bahwa BOPO berpengaruh negatif dan siginifikan terhadap profitabilitas.
Risiko operasional pada perbankan syariah paling utama untuk dilakukannya manajemen risiko oleh pihak manajer dibandingkan dengan risiko-risiko lain yang dihadapi. Pentingnya risiko operasional bagi manajer dikarenakan risiko operasional akan menimbulkan risiko turunan lainnya, seperti adanya kelalaian pegawai perbankan (operasional) terhadap kelalaian dalam mengikat jaminan secara sempurna hal tersebut akan menimbulkan risiko hukum (Zuhri, 2018).
Risiko turunan yang disebabkan oleh risiko operasional secara tidak langsung akan merugikan perbankan syariah baik dari biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi perbankan syariah dalam suatu aktivitas operasionalnya harus berdasarkan hukum syariah yang sangat kompleks, apabila mengalami kesalahan atau kelalaian yang disebabkan operasional pegawai dalam menjalankan tugasnya maka akan mengakibatkan risiko hukum syariah, berbeda dengan perbankan konvesional yang tidak terpacu terhadap hukum syariah yang berlaku. Upaya melakukan manajemen risiko operasional pada perbankan syariah untuk mendapatkan solusi dari permasalahan yang secara tidak langsung akan menurunkan angka kerugian akibat risiko operasional dan meminimalisir pengeluaran biaya kerugian risiko perbankan syariah.
Solusi yang dapat dilakukan untuk manajemen risiko operasional dalam meminimalisir terjadinya risiko operasional di perbankan syariah adalah dengan mengetahui faktor risiko apa saja yang dapat menyebabkan timbulnya risiko operasional dan risiko turunan apa saja yang telah ditimbulkan risiko operasional. yang tidak kalah penting bahwa pada perbankan syariah terdapat kontrak akad yang sangat mengikat penuh kehati-hatian dalam menerpakan kepatuhan syariah dengan demikian perlunya untuk melakukan identifikasi risiko operasional pada setiap akad operasionalnya.
Kemudian, tercatat dalam media massa beberapa peristiwa yang merupakan kasus dari risiko operasional pada perbankan syariah, seperti pembobolan terminal ATM (bahkan terakhir sampai dengan pengambilan box tempat penyimpanan uangnya), pembayaran ganda terhadap suatu kiriman uang (termasuk dengan model email address yang menyerupai), bankdraft/travellers cheque yang diambil oleh orang yang tidak berhak, deposit on call/letter of credit/bank garansi asli tapi palsu, kesalahan teller/staff memasukkan data, kegagalan sistem dan komunikasi ataupun kesalahan programming. Kasus-kasus itu menyimpulkan cakupan risiko operasional begitu luas, sehingga pengetahuan mengenai risiko operasional mempunyai manfaat yang tinggi, meskipun sulit untuk dilaksanakan dalam aktivitas perbankan syariah sehari-hari.
Pentingnya manajemen risiko operasional untuk mengelola terkait risiko operasional pada perbankan syariah dikarenakan aktivitas operasional pada perbankan syariah yang lebih kompleks dan memiliki potensi kesulitan dalam menegakkan konvensi Islam dalam konteks hukum syariah yang lebih luas jika mengalami kegagalan atau kesalahan sesuai perjanjian syariah mengakibatkan timbul banyaknya risiko operasional yang dialami oleh perbankan syariah. Risiko operasional pada bank syariah menjadi lebih rumit dibandingkan dengan perbankan konvensional karena fitur kontrak yang unik dan lingkungan hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H