Mohon tunggu...
Adelia Karmila
Adelia Karmila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Serendipity

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kajian Ekonomi Kontemporer dalam Al-Qur'an dan Alkitab Tinjauan Teori Tindakan Sosial Max Weber

13 Oktober 2023   20:21 Diperbarui: 13 Oktober 2023   20:23 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penelitian Mohammad Soleh dan Irfan Kuncoro, menjelaskan bahwa dinamika sosial dan keagamaan di era modern telah mengalami perubahan yang cukup signifikan, terutama pada Generasi Z (Gen-Z), yaitu kelompok masyarakat yang lahir pada pertengahan tahun 1990-an hingga awal tahun 2010-an. Kritik sosial dari bidang sosiologi dan antropologi harus diperhatikan agar dapat memahami secara utuh praktik keagamaan Generasi Z. Populasi Generasi Z lahir dan besar di era digital. Kemungkinan interaksi meningkat melalui media sosial dan jaringan online. Implikasinya, Generasi Z lebih terbuka dalam mempelajari agama dan memiliki akses terhadap sudut pandang yang lebih luas. Pemahaman dan pengamalan seseorang terhadap agamanya sendiri bisa saja berubah akibat mempelajari ideologi dan agama lain. Secara umum, Generasi Z tumbuh dalam lingkungan ini karena masyarakat menjadi lebih beragam dan religius. Seseorang lebih toleran terhadap ideologi dan keyakinan orang lain. Hal ini dapat mengakibatkan kecenderungan untuk mencampurkan unsur-unsur dari berbagai agama atau mencari spiritualitas yang lebih tidak biasa.

Kemudian pada penelitian M. Fadhil Nurdin, menjelaskan bahwa sosiolog Andrew Abbott, John Goldthorpe, dan Bruno Latour dari Amerika Serikat dan Eropa berpendapat bahwa pergeseran deskriptif dalam kapitalisme modern mempertanyakan pandangan tradisional mengenai penekanan sosiologi pada pembentukan kausalitas dan pengembangan metode deskriptif. Penegasan ini didukung oleh sejumlah penelitian sosiologi terkini. Mereka tampaknya mempunyai perspektif yang berbeda mengenai sosiologi deskriptif dan menyadari perlunya menempatkannya dalam bidang sosiologi yang lebih luas, khususnya mengingat perspektif historisnya dan kontribusi humaniora dan sains. Mereka menyebutkan perkembangan sosiologi deskriptif yang mengemukakan hal tersebut.

Berikutnya yaitu penelitian oleh Moch. Rifai berpendapat bahwa Herbert Mead memperkenalkan konsep "interaksionisme simbolik" dengan membuat tiga klaim terkenal yang telah meresap ke dalam wacana sosiologi modern sejak saat itu.

Hal-hal ini berdampak pada bagaimana orang bereaksi terhadap dunia luar tergantung pada bagaimana mereka menafsirkannya.

Makna-makna ini berkembang melalui interaksi sosial.

Interaksi antarpribadi seseorang sebelumnya dalam kerja tim berdampak pada perilaku sosialnya.

Berdasarkan tiga pernyataan di atas, Menurut perspektif interaksionis simbolik, agama mempunyai dampak yang signifikan terhadap masyarakat manusia karena mempengaruhi individu dan interaksi yang terjadi antar komunitas agama pada tingkat sosial. Identitas sosial seseorang paling dipengaruhi oleh agamanya.. Interaksi sosial dan perilaku manusia akan maju dengan pemahaman agama yang lebih baik. Ini menjelaskan bagaimana agama berfungsi sebagai seperangkat ajaran etika.

Pada penelitian Suci Fajarni, menjealskan bahwa poloma lebih banyak menyebutkan paradigma secara tidak langsung daripada langsung dalam penelitian sosiologisnya. Paradigma sentral wacana sosial, yang disebut paradigma dalam artikel ini, diidentifikasi oleh Poloma dalam bukunya Sosiologi Modern tahun 2007. Dengan kata lain, pembagian paradigma sosiologi Poloma didasarkan pada teori tentang bagaimana manusia dan masyarakat berfungsi. Kerangka teori Poloma dapat menjadi landasan bagi tiga subkategori paradigma sosiologi: naturalistik, humanistik/interpretatif, dan evaluatif.

Teori ini menjadi landasan positivisme yang disebut juga sosiologi naturalistik. Argumen ini berfokus pada bagaimana model dari ilmu alam dapat digunakan untuk mengembangkan hipotesis dan mengevaluasi validitas penelitian ilmu sosial. Menurut paradigma naturalistik, fenomena sosial diatur oleh hukum alam deterministik yang memperlihatkan pola. Konsep ini disebut sebagai fakta sosial dalam tulisan Durkheim; ia kemudian menjadi dasar teori naturalistik dan memiliki realitas empiris yang tidak dapat dipahami.

Masyarakat sering mengabaikan aspek perilaku manusia berdasarkan penafsirannya dan terlalu mengagumi pemahaman deterministik, gagasan inti paradigma naturalistik sebanding dengan paradigma sosiologi humanistik/interpretatif.

Salah satu contoh terbaik bentuk kritis yang bertujuan menawarkan alternatif teoretis terhadap dua paradigma sebelumnya, yaitu naturalisme dan humanisme, adalah paradigma sosiologi evaluatif yang dikemukakan oleh Poloma. Menurut paradigma evaluatif, semua teori dianggap bebas dari kesalahan meskipun faktanya semua teori tersebut mempunyai praanggapan yang dapat diperdebatkan. Kelebihan masing-masing teori ini tampaknya lebih besar daripada kekurangannya. Menurut paradigma evaluatif, penelitian tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan moral, etika, dan nilai-nilai umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun