Kesetiaan Seorang Kakek Tua Penjual Jagung di Pinggir Jalan
Oleh Nadya Angelina Putri
Setiap pagi, dengan tubuh yang mulai rapuh, demi menyambung hidup kakek ini harus menopang dagangan jagungnya di atas seutas bambu. Bahu yang renta itu sudah terbiasa menanggung beban, mungkin sudah puluhan tahun, namun langkahnya tetap tenang, meski perlahan.
Di sebuah belokan yang tak terlalu ramai di dalam komplek, seorang kakek tua, Pak Samin, masih setia menjajakan jagung manisnya. "Jagung manisnya masih angat neng," kata Pak Samin sambil menyerahkan bungkusan jagung kepada seorang pelanggan. Suaranya sedikit parau, tapi terdengar ramah. Tangannya yang keriput cekatan membuka daun jagung, mengeluarkan aroma harum jagung rebus yang menguar.
Setiap pagi, Pak Samin berjalan dari rumahnya di ujung gang dekat pasar. Bopongannya selalu penuh jagung segar yang ia persiapkan sendiri. Jalan yang ia tempuh tak selalu mudah.
Meski usianya sudah lebih dari 75 tahun, ia masih mengandalkan kedua kakinya untuk menapaki aspal yang mulai memanas oleh matahari siang. Di bawah pohon teduh, ia berhenti, meletakkan bopongannya di tanah, dan menunggu pembeli datang.
"Saya udah jualan jagung dari dulu, pas masih muda," ujarnya. "Dulu, sama istri, yang nanam sendiri jagung di ladang. Sekarang mah beli, ngambil dari pasar."
Istrinya sudah tiada beberapa tahun lalu. Namun, bagi Pak Samin, menjual jagung bukan hanya sekadar cara untuk mencari nafkah. Ini adalah caranya mengenang masa-masa ketika ia dan istrinya bekerja bersama. "Jagung ini, punya cerita panjang," katanya dengan senyum kecil.Â
"Dulu istri yang ngeladeni pembeli, sekarang saya sendiri."
Tak jarang, ia memberikan jagung lebih dari yang dibeli, terutama kepada anak-anak. "Saya senang ngelihat mereka senyum," katanya singkat, sambil mengusap keringat di dahinya. Meski hidup tak lagi mudah bagi Pak Samin, ia tak pernah mengeluh. Hari-harinya dihabiskan menjajakan jagung di jalanan, menawarkan rasa manis yang ia persiapkan dengan hati-hati.Â
"Selama badan ini masih kuat, saya jalan terus," ujarnya dengan tekad yang tak mudah goyah.
Di mata banyak orang, mungkin Pak Samin hanya seorang kakek tua yang menjual jagung di pinggir jalan. Namun, bagi mereka yang mengenalnya, ia adalah bagian dari ritme kota kecil ini, simbol kesederhanaan dan ketekunan yang terus hidup, meski waktu tak lagi berpihak padanya.