Mohon tunggu...
Dede Kurniawan
Dede Kurniawan Mohon Tunggu... profesional -

Penggemar Arsenal dan teman orang-orang baik. @dekurisme on Twitter :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Brebes Has Fallen: Catatan Kecil Pemudik untuk Presiden Joko Widodo

12 Juli 2016   12:27 Diperbarui: 14 Juli 2016   09:53 14707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu hari menjelang hari raya, saya dan istri yang sedang mengandung memutuskan untuk mudik ke Tegal. Kami memulai ini dengan suka cita, berharap jalanan akan seperti tahun-tahun sebelumnya. Kalau pun macet, bayangan kami masih bisa dijalani dengan santai. Apalagi kami percaya pada ucapan Presiden Joko Widodo dalam halaman resmi Facebooknya bahwa perjalanan menuju kampung halaman bisa lebih cepat.

Pejalanan dari Kota Tangerang sampai ke Cikampek serasa tak ada hambatan, jalanan memang ramai tapi tampak lancar. Sampai pada akhirnya saya mendapat telepon dari seorang teman yang kebetulan mudik lebih awal dari kami. Teman menyarankan agar saya tidak melewati jalur tol Cipali, karena ia melewatinya selama hampir 20 jam. Ia mengeluh bahan bakar yang habis, dan harus membelinya dengan harga selangit.

Mendengar cerita dari teman tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk melewati jalur Pantura. Benar, kata teman, ternyata Pantura lowong untuk kendaraan roda empat ke atas. Hanya kendaraan roda dua yang tampak ramai. Kami pun bersyukur perjalanan Cikampek-Cirebon bisa dilewati dengan waktu tempuh hanya 4 jam saja. Jalur Pantura rasa-rasanya bukan seperti jalur mudik lebaran, tepatnya seperti hari biasa.

Brebes Has Fallen

Betapa terkejutnya kami, ketika baru masuk Brebes, aplikasi Waze mengabarkan akan ada kemacetan. Pasalnya, selama perjalanan kami belum mendapat kendala yang berarti. Tepat di daerah Tanjung, Waze meminta kami untuk berbelok ke kanan, sebuah tawaran jalanan alternatif. Melawati jalur perkampungan, sampai pada sebuah jembatan, kami terkaget-kaget melihat dibawah kami, jalur tol seperti ladang parkir mobil masal. Saya katakan pada istri saya “Pantas 20 jam lebih, tuh liat macetnya parah banget”.

Sesudah melewati jembatan tersebut, akhirnya kami mulai merasakan macet. Pukul 4.20 kami terkena macet di jalanan kecil yang entah jalan apa namanya, yang jelas dekat dengan daerah Pejagan-Brebes. Kendaraan mulai menumpuk di jalur sempit itu, kami pun mulai merasakan kendaraan kami seperti parkir. Kendaraan berhenti bergerak, pergerakannya bukan lagi km/jam tapi sudah cm/jam. Berjam-jam kami terjebak di jalanan Brebes, hampir semua kendaraan sudah mematikan mesinnya. Kekhawatiran akan habisnya bahan bakar menjalar menghantui seluruh pemudik. Jalanan Brebes kala itu penuh dengan caci maki pemudik pada Pemerintah.

Saya sendiri merasakan hal sama, negara praktis tidak hadir saat itu, rakyat dibiarkan penuh sesak tanpa kepastian. Sangat disayangkan, kepolisian pun tak tahu di mana, kemacetan semakin rumit dan tak terurai. Sudah banyak terdengar suara tangis anak kecil yang kepanasan, sudah banyak terdengar sumpah serapah, sudah banyak terdengar jeritan para supir bus yang sudah hampir kehabisan bahan bakar. Situasi saat itu sungguh mencekam.

Setelah hampir 10 jam kami terjebak macet di jalanan Brebes, betapa terkejutnya, ketika terdengar kabar ada pemudik yang menghembuskan nafas terakhirnya di dalam sebuah bus. Nyawa seorang pemudik tidak tertolong. Pasalnya, bus yang digunakan adalah bus AC yang seharusnya pendinginnya menyala tapi harus dimatikan karena takut bus tersebut mogok karena kehabisan bahan bakar. Sumpek sekali bus tersebut, oksigen menjadi langka, dan harus mengorbakan nyawa manusia.

Jenazahnya dibawa ke tanah lapang di sekitaran kemacetan kami, menunggu ambulan datang. Hampir 3 jam lebih terlantar tanpa ada kepastian. Saya tak tega mengambil gambar, meskipun saya tahu jika gambar tersebut bisa menjadi gambar ekslusif untuk pemberitaan di media-media. Tapi saya memilih untuk tidak mengabadikan, karena tak tega. Bayangkan baru seumur hidup, saya menemukan orang meninggal karena kemacetan. Ini adalah kemacetan mudik terparah dan terjahat yang pernah saya alami.

Tak beberapa lama, terdengar lagi seorang perempuan meninggal dunia di sebuah mobil elf. Penyebabnya sama, kemacetan panjang, pengemudi takut kehabisan bahan bakar, kendaraan dibiarkan tanpa pendingin, akhirnya meninggal karena pengap dan sesak. Ini terjadi di daerah Larangan-Brebes.

Brebes kala itu lumpuh, sudah memakan korban. Layaknya film London Has Fallen, kini Brebes bernasib seperti itu. Brebes dibajak oleh kemacetan. Penyebabnya jelas, bukan semata-semata infrasturktur seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo di media-media tapi masalah penanganan. Ya, penanganan akan menumpuknya pengendara di SPBU-SPBU tanpa ada upaya ekstra dari petugas. Krisis bahan bakar menjalar ke mana-mana, saat itu harga bahan bakar di Brebes menjadi yang termahal di dunia yaitu menembus angka Rp. 50000 per liter.

Wajar jika media-media asing ikut menyorot kemacetan ini dan mengatakan ini merupakan kemacetan terparah sejagat raya. Saya setuju dengan argumen yang dibangun disalah satu pemberitaan media asing yaitu Daily Mail bahwa “Suhu udara yang meningkat menyebabkan para penumpang dehidrasi, selain itu, serangan jantung juga menjadi penyebab tewasnya penumpang yang terkena macet di wilayah Brebes, Jawa Tengah”.

Di mana Presiden Joko Widodo kala itu?  Banyak pemudik menggerutu, termasuk saya. Sayang sekali Presiden sibuk dengan acara shalat Ied-nya di Padang. Presiden seakan tak peduli rintihan para pemudik, asik sendiri mempersiapkan acara di daerah yang notabene bukan kantong suaranya kala itu. Bahkan terdengar gosip jika itu dilakukan oleh Presiden untuk meraih simpati warga padang demi ambisi politiknya di tahun 2019 nanti. Saya tak peduli gosip itu, dan tulisan ini bukanlah alat untuk menyiyir tapi untuk mengingatkan bahwa pemerintah harus berbenah. Bahkan saya berharap tulisan ini adalah tulisan terakhir yang mengingatkan Presiden Joko Widodo agar lebih sigap dalam menangani kemacetan pemudik. Ini karena rasa trauma yang begitu dalam yang dialami pemudik, termasuk saya.

Jangan sampai kegagalan pemerintah dalam menangani mudik ini seperti kegagalan dalam mengendalikan harga-harga pangan khususnya daging. Presiden Joko Widodo yang terlalu terburu-buru percaya diri mengumumkan bahwa harga daging dipasaran bisa didapatkan dengan harga di bawah Rp. 80000/Kg, tapi nyatanya di pasaran justru di atas Rp. 120000/Kg. Poinnya, masyarakat tidak butuh gembar-gembor belaka tapi hasil nyata yang dirasakan.

Saya malah mengapresiasi kinerja Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang turun langsung ke lapangan pada saat mudik. Ganjar mampu menganalisa bahwa penyebab kemacetan adalah penumpukan kendaraan di SPBU-SPBU. Berbeda sekali dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan ini akibat pembangunan yang belum selesai. Ganjar lebih tahu di lapangan karena turun langsung, sedangkan Presiden mungkin mendapatkan info saja. Ganjar pun tak malu untuk meminta maaf karena gagal memberikan pelayanan yang maksimal pada musim mudik ini dan siap mengavaluasi sebagai bahan koreksi untuk musim mudik selanjutnya.

Saya kira Presiden Joko Widodo harus memetik pelajaran pada musim mudik ini. Penanganan harus diutamakan. Presiden harus lebih tanggap, seperti Presiden tanggap pada kasus kecelakaan yang menimpa Pesawat Air Asia beberapa waktu lalu. Jangan sampai abai kembali, karena rakyat akan menilai. Kemacetan Brebes bukan lagi dikatakan sebagai kemacetan biasa, tapi sudah menjadi bencana kemanusiaan. Tercatat 18 orang nyawa tak berdosa harus meninggal akibat kemacetan ini, sebuah pesan untuk Presiden untuk memperbaiki ini semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun