Mohon tunggu...
Endah Triastuti
Endah Triastuti Mohon Tunggu... -

Saya ibu satu anak yang sekarang sedang belajar lagi di Australia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ibuisme, Dipelihara Atau Dibuang Ya?

29 Juli 2010   09:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:29 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lalu pada tahun 1978 Soeharto memperkenalkan sebuah terobosan untuk perempuan Indonesia, dengan menghadirkan departemen baru: Departemen Kementerian Peranan Wanita. Bukannya menjadi institusi yang mampu meningkatkan kesadaran perempuan dalam hak-hak perempuan, departemen ini malah mendorong perempuan untuk "kembali ke kandang emas" dalam rumah tangga: menjadi istri dan ibu yang baik.

Buat saya, Soeharto membangun sistemnya sendiri untuk mengontrol perempuan Indonesia, menjaga mereka di dalam rumah. Kedua Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi adalah organisasi perempuan Indonesia di bawah kendalinya. Di bawah rezim militer, Soeharto mempertahankan organisasi perempuan sebagai agen bawahan untuk mendukung karir suami. Keanggotaan Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi memberikan penghormatan kepada para istri, untuk bergabung dengan karir suami mereka - yang bagi saya hanya merupakan agenda sistematis manipulatif untuk memberlakukan budaya ikut suami (Suryakusuma, 1991).

Di bawah rezim Soeharto, perempuan digiring kembali dalam praktik perempuan sebagai manajer rumah yang tidak memiliki hak istimewa ataupun kekuatan: "Kehormatan mereka adalah pencapaian menjadi seorang Ibu yang baik. Kekuasan dan kehormatan tetap merupakan hak istimewa laki-laki" (Nieuwenhuis, 1987, hal 43).

Organisasi perempuan yang baru tidak memperjuangkan hak-hak perempuan seperti apa yang diperjuangkan oleh Gerwani dulu. Selama masa pemerintahannya, Soeharto menciptakan emansipasi wanita yang palsu: mendukung karir laki-laki di tempat kerja dan menjalankan lima peran utama sebagai perempuan (Pimpinan Daerah Pertiwi, 1974 p. 4 dikutip di Sullivan 1991):
1. Sebagai penyokong setia dan pendukung keluarganya
2. sebagai pengurus rumah tangga
3. sebagai penghasil generasi masa depan
4. sebagai agen sosialisasi utama keluarga
5. sebagai warga negara Indonesia

Oleh karena itu dalam banyak kasus, agar tetap mampu memenuhi gambaran ideal wanita Indonesia yang tepat, banyak perempuan Indonesia menyerahkan hak mereka sebagai manusia tanpa sadar, menyerah prioritas kepada suami mereka atau anak-anak: "Saya sudah menikah vey muda dan tidak diperkenankan untuk menyelesaikan sekolah menengah. Aku selalu sangat aktif, tetapi karena suami saya adalah orang penting aku tidak bisa menerima pekerjaan rendah status "(Ibu Sumarli, nama samaran seperti dikutip dalam Wieringa,. 2001 hal 24).

Blackburn berargumen bahwa salah satu alasan mengapa perempuan Indonesia ingin berpendidikan adalah karena mereka percaya bahwa pendidikan dapat mendukung menjadi ibu yang lebih baik. Selain itu, pada beberapa perempuan pendidikan dilihat sebagai alat untuk memberikan kekuasaan otonomi untuk memilih suami.

Ini adalah ideologi Ibuisme, yang mencuci otak seluruh bangsa. Hegemoni juga dipertegas dengan disahkannya UU perkawinan tahun 1974 yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan kepala rumah tangga sedangkan perempuan sebagai manajer rumah dan pengasuh utama anak-anak. Sebagai kesimpulan, Soeharto membangun penjara sistematis untuk mengontrol perempuan Indonesia, mendorong mereka untuk percaya nasib mereka yang terbaik adalah di wilayah domestik. Menurut saya ya, sampai tingkat tertentu, ideologi ini mendorong perempuan Indonesia untuk menjadi "wanita ideal" dan menciutkan nyali mereka untuk memasuki tingkat pendidikan tinggi "ah, untuk apa sekolah tinggi-tinggi, tujuan mulia saya adalah sebagai istri dan ibu" - dan mereka (menjadi) percaya bahwa pendidikan yang baik akan menuntun mereka menjadi istri dan ibu yang baik. Kontribusi mereka yang terbaik bagi negara adalah untuk mendukung suami mereka di rumah dan membesarkan anak-anak dengan baik.
Menurut saya, ideologi ibuisme inilah yang jadi salah satu sebab mengapa perempuan enggan bersekolah tinggi, mengapa perempuan Indonesia enggan menjabat posisi yang tinggi dalam pekerjaan, mengapa tidak banyak perempuan Indonesia memberikan kontribusi dalam pembangunan infrastruktur internet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun