Mau marah? Oh, tentu tidak. Pemandangan itu justru mengantarkanku pada masa lampau. Membayangkan, begitulah aku semasa kecil. Pipis tak kenal kompromi dan basa-basi. Kalau sudah terujung, tembakkan saja.
Sempat pula, aku dan abang merayu Abah supaya mau dipakaikan pamper. Eh, Abah malah geli. Katanya, nanti jadi kayak bayi kolot. Risih dan nggak biasa. Alhasil, jadilah kamar mandi pribadi buat Abah.
Namun, setelah kejadian nahas itu, tak ada cerita selain merombak total.Â
Sebagai gantinya, tepat di depan kamar Abah, ada gudang kecil yang akhirnya disulap menjadi kamar mandi mini. Nah, kalau sudah kebelet, tinggal mengayunkan kaki satu dua langkah saja. Apalagi Abah terbilang bisa bolak-balik pipis dalam hitungan satu jam.Â
Secara tata letak, kamar mandi ini terpantau dari kamarku. Dan poin yang tak kalah penting ialah, aku meminta Abah supaya tidak mengunci pintu kamar mandi saat berada di dalamnya. Cukup ditutup dengan menyisakan sejengkal celah yang dibiarkan terbuka.
Untungnya, Abah setuju atas permintaanku. Dengan begitu, seluruh penghuni rumah -- para anak, menantu, cucu, hingga cicit -- bisa mengetahui segala kemungkinan yang terjadi tiap kali Abah menggunakan kamar mandi.
Sebenarnya, ada satu cara paling afdol yang bisa menepis rasa ketar-ketir. Yakni, langsung menemani Abah di kamar mandi. Begitulah maunya kami anak-anaknya ini. Akan tetapi, entah kenapa, sudah sepuh begitupun selalu ingin menunjukkan kesan kalau dirinya masih kuat, masih mampu, dan nggak usah dibantu. Duh, Abah.
Dari apa yang terjadi, aku petik satu pelajaran. Niat dan tujuan yang awalnya untuk mempermudah, siapa sangka justru mendatangkan musibah yang jelas-jelas tidak diinginkan.
Pemikiran sang anak dengan gambaran yang serba mudah itu, nyatanya bisa keliru saat harus dilakoni oleh orangtua. Konon lagi yang usianya sudah sepuh.