Mohon tunggu...
DK Putra
DK Putra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Katalis

mahakecil aku || setengah buih, separuh debu || buanglah sampah pada tempatnya!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Imajiner

14 Januari 2021   23:59 Diperbarui: 15 Januari 2021   00:11 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutengok jam dinding. Pukul 22.00 WIB. Bergeser ke bawah sedikit, tergantung kalender di situ. Tatapanku tertancap pada tanggal 14 Januari 2021. Lalu, kuseruput kopi yang nyaris habis. 

Ah! Entah kenapa otakku terasa buntu malam ini. Nggak tahu harus nulis apa. Alhasil, aku topang dagu dengan punggung tangan. Diam membisu. 

Selang sekitar sepuluh menit, tetap saja sama. Masih diam, masih membisu, masih buntu. 

Kuhela nafas panjang, seraya memandangi pena dan kertas yang sedari tadi di depan mata. Namun, lama kelamaan, kurasakan ada yang tak biasa. 

Lebih dalam, kutatap pena dan kertas itu. Setelahnya, jadilah aku pendengar budiman dadakan. 

"Maafkan aku, Duhai Kertas, atas semua goresan dariku yang harus kau tanggung dengan sepenuh kepedihan. Maafkan aku." 

Sejurus, kulipat kedua tanganku. Badan dan kepala kucondongkan lebih ke depan. 

"Tidak mengapa, Wahai Pena. Setiap goresan yang kuterima darimu bukanlah luka bagiku. Sebaliknya, aku bahagia. Karena goresan-goresan itu telah mengantarkanku pada makna kenapa aku ada untukmu." 

Kali ini tatapanku terfokus pada kertas. Sambil geleng-geleng kepala, hatiku berbisik. Mengulangi sepenggal kalimat yang dilontarkan kertas tadi. "Setiap goresan yang kuterima darimu bukanlah luka bagiku."

Betapa, oh, betapa! 

Belum selesai. Obrolan di antara keduanya pun berlanjut. 

"Tetapi, Duhai Kertas, bagaimana pula dengan tinta yang sering aku muntahkan kepadamu? Sedangkan kau diciptakan putih dan bersih." 

Sebatang rokok kretek kusulut. Kopi yang tadi nyaris habis, kuseruput lagi sampai nyenggol ampasnya. Kira-kira, jawaban apa lagi yang akan diberikan oleh kertas kepada pena. 

Aku lanjut menyimak. 

"Tidak mengapa, Wahai Pena. Bagiku, tinta yang membasahiku bukanlah noda. Hitam, merah, maupun biru, tak lain warna segala rasa yang mengisi kekosonganku. Sungguh, aku suka menampung warna-warni perasaan manusia yang mengalir melalui kamu." 

Aku terhanyut. 

Bahkan hasrat ingin pipis kutahan sekuat mungkin. Urusan ke kamar mandi, nanti saja lah. Aku tak mau melewatkan setiap bagian dari obrolan ini. 

Dan benar saja. 

"Ketahuilah, Wahai Pena. Seruncing apa pun engkau. Sepekat apa pun tintamu. Janganlah pernah merasa menyakiti ataupun menodaiku." 

"Kenapa begitu, Duhai Kertas?" 

"Sederhana, Wahai Pena. Kecintaanku padamu tak mengenal luka dan noda." 

Duh, Gusti. 

Setelah bagian itu, pena dan kertas sama-sama membisu seperti aku. 

Sementara di luar, hujan mulai turun. Aku beranjak dari tempat duduk. Mengantisipasi aliran air jangan sampai masuk ke dalam rumah. 

***

14 Januari 2021

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun