Belum selesai. Obrolan di antara keduanya pun berlanjut.Â
"Tetapi, Duhai Kertas, bagaimana pula dengan tinta yang sering aku muntahkan kepadamu? Sedangkan kau diciptakan putih dan bersih."Â
Sebatang rokok kretek kusulut. Kopi yang tadi nyaris habis, kuseruput lagi sampai nyenggol ampasnya. Kira-kira, jawaban apa lagi yang akan diberikan oleh kertas kepada pena.Â
Aku lanjut menyimak.Â
"Tidak mengapa, Wahai Pena. Bagiku, tinta yang membasahiku bukanlah noda. Hitam, merah, maupun biru, tak lain warna segala rasa yang mengisi kekosonganku. Sungguh, aku suka menampung warna-warni perasaan manusia yang mengalir melalui kamu."Â
Aku terhanyut.Â
Bahkan hasrat ingin pipis kutahan sekuat mungkin. Urusan ke kamar mandi, nanti saja lah. Aku tak mau melewatkan setiap bagian dari obrolan ini.Â
Dan benar saja.Â
"Ketahuilah, Wahai Pena. Seruncing apa pun engkau. Sepekat apa pun tintamu. Janganlah pernah merasa menyakiti ataupun menodaiku."Â
"Kenapa begitu, Duhai Kertas?"Â
"Sederhana, Wahai Pena. Kecintaanku padamu tak mengenal luka dan noda."Â