Kutengok jam dinding. Pukul 22.00 WIB. Bergeser ke bawah sedikit, tergantung kalender di situ. Tatapanku tertancap pada tanggal 14 Januari 2021. Lalu, kuseruput kopi yang nyaris habis.Â
Ah! Entah kenapa otakku terasa buntu malam ini. Nggak tahu harus nulis apa. Alhasil, aku topang dagu dengan punggung tangan. Diam membisu.Â
Selang sekitar sepuluh menit, tetap saja sama. Masih diam, masih membisu, masih buntu.Â
Kuhela nafas panjang, seraya memandangi pena dan kertas yang sedari tadi di depan mata. Namun, lama kelamaan, kurasakan ada yang tak biasa.Â
Lebih dalam, kutatap pena dan kertas itu. Setelahnya, jadilah aku pendengar budiman dadakan.Â
"Maafkan aku, Duhai Kertas, atas semua goresan dariku yang harus kau tanggung dengan sepenuh kepedihan. Maafkan aku."Â
Sejurus, kulipat kedua tanganku. Badan dan kepala kucondongkan lebih ke depan.Â
"Tidak mengapa, Wahai Pena. Setiap goresan yang kuterima darimu bukanlah luka bagiku. Sebaliknya, aku bahagia. Karena goresan-goresan itu telah mengantarkanku pada makna kenapa aku ada untukmu."Â
Kali ini tatapanku terfokus pada kertas. Sambil geleng-geleng kepala, hatiku berbisik. Mengulangi sepenggal kalimat yang dilontarkan kertas tadi. "Setiap goresan yang kuterima darimu bukanlah luka bagiku."
Betapa, oh, betapa!Â