Sepanjang hidupnya, ibu tiada henti berpuisi. Dengan bahasa kasih sayang, dalam bentuk gerak dan perbuatan. Ia telah menunjukkan kepadaku, bahwa puisi cinta tidak sekadar kata-kata.Â
Tak jarang pula, saat batinku menggigil dijalari dinginnya dunia, selalu ada kehangatan ibu menjadi unggun untuk aku berdiang. Pada lain waktu, keteduhannya ialah rumah bagiku untuk bernaung tanpa merasa dihantui keterasingan.Â
Adakalanya, ingin kuselami sanubari ibu, untuk mencari jawaban bagaimana ketabahannya meredam segala kegetiran dan kepedihan, demi kehidupan anak-anaknya.Â
Sampai tibalah suatu pagi. Aku tak ingin, namun tuhan berkehendak lain. Nama ibu, terukir pada sebaris epitaf. Ia berpulang bersama luruhnya bulir-bulir embun dari daun. Dan kini, kerinduan ini, hanya bisa kuselipkan ke dalam untaian doa. Semoga mampu menjangkau keberadaannya di sana.Â
Lantas, tiap kali aku memandangi foto ibu seraya membayangkannya, lama-lama aku pun mengerti. Dengan menatap wajah ibu, kudapati bagaimana rupa cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H