Mohon tunggu...
Ganang Dekartz
Ganang Dekartz Mohon Tunggu... -

Menembus cakrawala demi cakrawala, melewati batas demi batas, kesanalah hati, pikiran, dan kakiku sedang menuju....

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Terorisme (saja) Musuh Bangsa dan Negara? (Bagian 1)

27 April 2011   07:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:20 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejauh ini terorisme terus dan mungkin masih akan beraksi di masa-masa mendatang.  Soal jatuh korban, dengan sendirinya akan terus bertambah, baik pada diri pelaku maupun yang benar-benar menjadi korban (yang tidak disengaja), sejauh terorisme belum bisa dihentikan.  Memang saya awam dalam hal ini, tetapi saya mencoba untuk mengerti mengapa  terorisme itu  ada, beraksi dari waktu ke waktu, bahkan hingga sekarang.  Tapi pertanyaan dasar saya, mengapa terorisme begitu dibenci, begitu dimaki, begitu dikutuk, begitu diburu, bahkan termasuk orang-orang yang terkait, baik anggota jaringannya atau pun mereka yang melindungi?  Sebab apakah kiranya sehingga terorisme "diperlakukan" sedemikian rupa sampai-sampai ada densus untuk menanggulanginya? Sejauh ini kita tahu bahwa aksi teroris yang menggunakan senjata, baik berpeluru maupun berbahan ledak (bom) atau cara-cara yang tak terduga selalu menjatuhkan korban dari luka ringan, luka berat, cacat seumur hidup, bahkan tewas dalam jumlah massal, baik seketika ataupun berjangka.  Agaknya, keputusan terorisme sebagai musuh bangsa dan negara lebih dikaitkan pada aspek 'cara kekerasan' yang berdampak pada kematian dan ancaman akan runtuhnya 'kewibawaan' pemerintah.  (Ingat bagaimana jatuhnya reputasi Amerika saat gedung WTC berhasil dirobohkan dengan cara membajak dan menabrakkan pesawat kepada gedung itu). "Hujan Hujatan" Hanya Layak ditujukan pada para Teroris? Cacat permanen, ketakutan sosial yang ditimbulkan oleh berbagai aksi terorisme, dan kematian, memang terkait erat dengan aksi biadab yang satu ini.  Akan tetapi, teroris ada, teroris diburu dan dibasmi sejauh ini, tetapi kenapa tak kunjung habis?  Bukankah sudah ada densus yang menyebar di berbagai daerah?  Bukankah sudah ada intelijen di negri ini yang tentu amat sangat profesional dan dapat diandalkan?  Akan tetapi, kenapa masih saja tidak terantisipasi?  Ada apa di balik semua itu?  Saya tidak akan membahasnya dalam tulisan ini, karena saya bukan ahlinya.  Saya hanya ingin membangunkan banyak orang dari "tidur panjang" yang begitu melenakan hingga kita lupa memandang bahwa di samping terorisme bangsa dan negara kita juga memiliki "musuh bersama" yang meski 'tidak biadab' tapi juga menohok rasa kemanusiaan kita semua, jika kita tidak mau terlena dengan cara pandang bahwa seolah-olah hanya terorisme yang wajib dibenci, dimaki, dihujat, diburu, dibasmi dari bumi Indonesia yang faktanya mati satu tumbuh se.... Apa gerangan yang mendasari ketakutan kita semua pada aksi terorisme sesungguhnya?  Saya menduga bahwa ketakutan itu berkisar pada hilangnya rasa aman, cacat permanen, dan kematian.  Penderitaan-penderitaan yang mengiringi para korban hidup, boleh jadi menjadi ketakutan tambahan.  Akan tetapi, jika dilihat dari munculnya aksi teror di negeri kita ini, dan jatuhnya korban jiwa, apakah aksi teroris selama ini telah "memimpin" di antara berbagai aksi kekerasan yang pernah dan masih hadir hingga saat ini yang berdampak pada keresahan massa?  Bagaimana dengan "perselisihan" antar etnis di tahun 1990-an, antara suku Dayak dan Madura?  Berapa telah jatuh korban jiwa?  Bagaimana cara kematian itu menimpa korban-korbannya?  Jika kepala dipisahkan dengan sengaja dari badan korban, tidakkah tindakan itu juga dapat dikategorikan amat sadis dan memperlihatkan nafsu kebinatangan dan semangat kebiadaban pada para pelakunya?  Tetapi, bahasa kita tidak menyebut itu teroris. Kerusuhan sosial yang amat laten juga berulang-ulang terjadi: perkelahian antar kampung, perkelahian antar sekolah, antar fakultas atau universitas, perkelahian antar gang, dan bahkan kerusuhan Semanggi antara demonstran dan pihak aparat, dan entah apalagi.  Aksi-aksi mereka juga bisa menjadi aksi yang mengancam jiwa banyak orang lain, cacat fisik seumur hidup, dan bahkan kematian.  Tetapi, mereka memang boleh jadi "tidak terorganisir" dan "tidak didanai" layaknya teroris, meski sebagian di antaranya juga dicurigai didanai oleh pihak tertentu, bahkan disewa pihak tertentu, terutama untuk masalah demonstrasi.  Tapi demonstrasi adalah "anak kandung" demokrasi.  Itu masalahnya.  Artinya, demonstrasi adalah sah, bukan "anak haram" layaknya terorisme yang layak dihujat karena menjatuhkan agama tertentu.   Bagaimana dengan perkelahian-perkelahian atau penyerbuan-penyerbuan yang melibatkan belasan, puluhan  yang cukup sering juga terjadi antara masyarakat sipil dengan masyarakat sipil, kelompok agama tertentu dengan  kelompok aliran yang berbeda dari yang "sah", atau antara masyarakat sipil dengan satpol PP, aparat kepolisian, atau tentara karena memperebutkan lahan, misalnya?  Sermua konflik selalu berpotensi menimbulkan keresahan dan juga tak tertutup korban jiwa di antara kedua belah pihak.  Tetapi, semua itu seakan-akan masih bisa "dimaklumi" karena mungkin semua masalah itu "hanya" dilihat sebagai kesalahpahaman, dan yang pasti karena tidak ada hubungannya dengan negara Amerika, misalnya.  Terorisme kenapa diburu dan "diharamkan" tak dapat dilepaskan dari kepentingan negara dan kaitannya dengan negara lain, terutama Amerika. Serbuan Amerika ke Irak, serbuan pasukan Nato ke Lybia juga tak luput dari jatuhnya korban jiwa di antara masing-masing pelaku yang bersenjata.  Tapi, bukankah rakyat sipil juga tewas?  Bukankah mereka juga menggunakan bom, di antaranya, dan juga tak dapat membersihkan diri dari jatuhnya korban sipil yang tak bersenjata?  Tapi, mereka bukan teroris meskipun efeknya tidak jauh beda dari akibat yang ditimbulkan oleh terorisme.  Lalu masalahnya dimana?  Masalahnya adalah karena mereka memperoleh dukungan kuat dari beberapa negara yang memiliki pengaruh kuat atas banyak negara-negara lainnya.  Masdalahnya adalah karena mereka punya argumen, punya dasar hukum atas serbuannya yang keberlakuannya seakan-akan dapat dibenarkan merski tidak selalu secara universal, bukan sektoral, macam dalil-dalil agama tertentu. Apakah Musuh Bangsa dan Negara Kita Hanya Teroris? Baiklah, pembicaraan tentang kerusuhan massa yang disebabkan oleh berbagai persoalan, pelaku, dan dampaknya kita tinggalkan saja.  Sekarang, kita arahkan perhatian kita kembali pada negeri dan bangsa sendiri, dan marilah bertanya: "Apakah benar kita hanya memiliki musuh bersama yang tak lain dan tak bukan, kecuali terorisme?"  "Apakah sudah tepat benar bagi kita semua, termasuk negara dan jajarannya, untuk hanya membenci aksi-aksi terorisme?  Apakah benar kebencian kita hanya didasarkan pada keresahan sosial yang ditimbulkannya dan keresahan itu karena menjadi keresahan bersama?  Bagaimana jika keresahan itu hanya meliputi kelompok tertentu kelompok Ahmadiyah yang begitu dibenci oleh umumnya ummat Islam, misalnya)?  Apakah lantas boleh kita abaikan?  Jika ya, bagaimana negara dapat mengatakan dan menyatakan bahwa negara telah menjamin keselamatan, kedamaian, dan kebebasan hidup rakyatnya?  Dan bagaimana fakta di lapangan? Perhatian kita, agaknya, selama ini terlalu terpaku pada efek teror yang melanda psikologi kita, yakni: ketakutan kolektif, ancaman kematian, jatuhnya kredibilitas negara di mata internasional.  Keresahan "sesaat" telah berefek ganda sedemikian rupa sehingga penolakan, hujatan, kebencian yang berlanjut pada perburuan dilangsungkan sedemikian rupa.  Siapa pun yang melindungi teroris layak untuk dilibatkan dan diikutkan dosanya sehingga pantas untuk ditangkap(i), diinterogasi, di-nusa-kambang-kan, dihukum tembak-mati, dst, dst.  Sejauh ini kalau pun telah menimbulkan kesusasahan, maka kesusahan itu masih dalam lingkup "lokal", terbatas pada pihak korban, dan kalau pun regional maka dalam batas waktu tertentu, yang akan kembali pulih dalam jangka waktu tertentu.  Yang saya maksudkan dengan dampak regional adalah terkait dengan pelarangan mengunjungi Bali, misalnya, setelah adanya ledakan 'Bom Bali.'  Kalimat-kalaimat saya di depan bukan saya maksudkan untuk "mengecilkan" dampak buruk teroris tetapi, saya ingin mengajak pembaca untuk membandingkan dengan dampak berikut ini. Bagi bangsa kita, masalah bersama yang bukan hanya laten tapi terus-menerus adalah kemiskinan, kebodohan, di antaranya.  Banyak sekali kasus-kasus kehilangan kesempatan untuk mampu bersaing secara sehat, penderitaan hidup dalam berbagai bentuknya, bahkan kasus bunuh diri, disebabkan oleh kemelaratan.  Kebodohan juga menyebabkan sumber daya kita yang sedemikian berlimbah menjadi bernilai rendah secara ekonomis, kalah mutu, hingga berakibat kalah bersaing untuk memperoleh peluang untuk memperbaiki nasib sendiri.  Terhadap semua itu, bagaimana peran negara?  Apakah negara telah mengentaskan kemiskinan yang mendarah-daging, "beranak-pinak", selalu "diwariskan" dari waktu ke waktu, dari satu keluarga ke keluarga berikutnya, dari satu generasi ke generasi berikutnya? Sejauh ini Pemerintah kita memang terbukti cukup berhasil memerangi terorisme sebagai musuh nyata kita, tapi bagaimana terhadap kemiskinan/kemelaratan dan kebodohan?  Padahal, lahirnya terorisme sedikit-banyak juga terkait erat dengan persoalan keterbelakangan ekonomi yang akan berdampak pada keterbelakangan berpikir sebagian rakyatnya.  "Penyelesaian" yang telah dilakukan barulah "penyelesaian secara fisik", yakni menangkapi para teroris, para anak-anak kandungnya sendiri, secara hidup atau mati.  Kekerasan dibalas dengan kekerasan, akankah efektif untuk menumpas hingga 'akar masalahnya'?  Saya tidak yakin.  Untuk menumpasnya, saya pikir, bukan hanya "menebang pohonnya" tapi juga benar-benar membersihkan taha dari "akar-akar" yang tertinggal/tersisa.  'Akar' yang saya maksudkan adalah pengaruh ideologi tertentu yang dipahami secara dangkal alias tidak kritis.  Tetapi untuk dapat kritis anak-anak Indonesia juga perlu sekolah yang baik, sementara sekolah yang baik juga butuh guru-guru yang baik, fasilitas-fasilitas yang (cukup) baik, gaji-gaji guru yang baik, tetapi bukankah baru belakangan APBN sebesar 20 % dialokasikan kepada bidang pendidikan?  Bukankah pendidikan perlu waktu untuk memajukan cara pikir, mengakumulasikan pengetahuan dan mampu menggunakannya secara benar?  Dapatkah dengan kebodohan seseorang dituntut untuk berpikir kritis?   Ini pertanyaan retoris. Pembasmian yang "Heroik" itu.... Masalah lain terkait dengan maraknya terorisme, saya yakin, banyak.  Yang saya ungkap dalam tulisan ini baru dari segi kemelaratan dan keterbelakangan berpikir saja sebagai akibat minimnya dana pendidikan.  Penyelesaian terhadap masalah teroris mustilah dengan memahami apa yang menyebabkan para teroris dengan "suka rela" mengubah predikat dirinya menjadi seorang teroris dan bangga dengan predikat barunya.  Sayangnya, pembasmian terhadap terorisme telah dilakukan secara "heroik" yakni dengan secara langsung memerangi, memberondong para teroris, menghabisinya seketika, seakan-akan bahwa dengan terbunuhnya (orangyang diduga) teroris dengan sendirinya aksi-aksi terorisme akan berakhir begitu saja.  Padahal, fakta memperlihatkan bahwa penanganan secara "kekerasan yang sah"  terhadap terorisme justru selalu melahirkan kekerasan-kekerasan berikutnya.  Lantas, setelah kebodohan dan kemiskinan adalah "Ibu-ibu" yang melahirkan para teroris, apakah  "gadis-gadis muda" kelak akan juga melahirkan teroris-teroris generasi baru oleh sebab berbagai kondisi sosial yang semakin runyam? (Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun