Pada 11 Mei 2024, saya dan istri menemani anak kedua kami berkunjung ke Dulur Rimba Camp (DRC), di tengah kawasan Perusahaan Perkebunan Daerah (PDP) Kahyangan, Desa Suci, Kecamatan Panti, Jember. Destinasi yang belum lama dibuka dan masih disempurnakan fasilitasnya ini terletak di lereng pegunungan Argopuro, di bawah air terjun Tancak.Â
Dari Jember, destinasi ini bisa ditempuh dalam waktu 45 menit - 1 jam dengan kendaraan bermotor roda dua dan roda empat. Pintu masuk berada di PDP Kahyangan Gunung Pasang. Setiap pengunjung dikenakan tarif sebesar Rp. 8.000,-. Dari Gunung Pasang, kita akan melintasi jalan di kawasan perkebunan karet yang sangat indah, segar, dan sejuk.Â
Pohon-pohon karet di lahan dengan kemiringan tertentu merupakan puisi alam yang cukup estetik, menyambut kita dengan penuh makna. Hamparan sejarah panjang perkebunan dari era kolonial hingga pascakolonial seperti mengalir ke dalam imajinasi. Kepenatan di kepala segera mencair, disiram oksigen yang begitu melimpah.Â
Selain melintasi perkebunan karet, kita juga akan melewati destinasi wisata sungai Boma. Di sini, pengunjung bisa memilih singgah atau langsung ke DRC. Selain wahana sederhana untuk permainan anak-anak dan tempat makan, kita bisa menemani anak-anak bermain air di sungai. Dari Boma, kita hanya membutuhkan waktu 5 - 10 menit untuk sampai di DRC, melintasi kawasan perkebunan karet dan perkampungan buruh kebun.Â
Berbeda dengan destinasi wisata sungai lain di Jember, selain menyuguhkan air bening dan bebatuan gunung, DRC juga memanjakan kita dengan indahnya pemandangan kawasan pegunungan dengan kabut tipis. Dipadukan suara ritmis air sungai dan sejuknya hawa, pemandangan pegunungan menjadi romansa sempurna untuk menentramkan batin.Â
Glamping dengan model penginapan berbentuk segitiga dengan harga  relatif terjangkau juga disediakan. Para pengunjung bisa bermalam untuk menikmati dan menghayati suara air sungai, serangga malam, dan angin yang berhembus dari pegunungan. Bagi yang suka kopi, kafe DRC menyediakan aneka kopi, dari Arabica hingga robusta dengan bermacam olahan.Â
Di depan tempat penginapan, disediakan kolam buatan-tetapi-alami yang airnya diambil dari alisan sungai. Kolam ini diperuntukkan buat para anak-anak yang belum bisa berenang atau tidak berani bermain air di sungai. Mereka tetap bisa merasakan pengalaman sensasional bermain air.
Dari pengalaman saya menikmati DRC, terdapat beberapa catatan yang kiranya menarik untuk didiskusikan lebih lanjut terkait keberadaan sungai di lereng gunung untuk destinasi dan aktivitas pariwisata.Â
Partisipasi dan Pemberdayaan Warga Lokal
Di tengah maraknya industri pariwisata berbasis eksotika alam yang mengutamakan pembangunan resort atau destinasi eksklusif yang hanya bisa dinikmati orang-orang berduit, kehadiran wisata alam berbiaya murah seperti DRC merupakan alternatif bagi banyak warga masyarakat Jember ataupun pengunjung dari daerah lain.Â
Ini menegaskan bahwa pariwisata alam sudah sepatutnya mampu menjangkau masyarakat luas. Mereka memiliki hak untuk berbahagia dengan menikmati keindahan pemandangan dan sejuknya udara pegunungan. Konsep "tuan rumah di negeri sendiri" bisa diprioritaskan dalam pengembangan pariwisata di wilayah lokal.Â
Ketika industri pariwisata hanya memberi keleluasaan kepada para pengusaha kaya untuk membangun resort, bungalow, atau hotel bernuansa alam yang mahal, bisa diipastikan praktik pariwisata menghadirkan segregasi sosial berkelanjutan karena warga dengan kemampuan ekonomi terbatas tidak mampu menikmatinya.Â
Padahal kawasan alam yang menjadi tempat resort dan destinasi tersebut dibuat dekat dengan tempat tinggal atau secara administratif berada di wilayah mereka. Ini yang disebut ironi yang sebenarnya, ketika warga lokal tidak bisa menikmati sungai bening dari gunung karena hak kelolah diberikan kepada pengusaha yang memasang tarif mahal.
Saya tidak menolak keberadaan para penguasaha pariwisata. Alih-alih, saya berharap semakin banyak pengusaha pariwisata yang mampu mendesain dan membangun destinasi wisata alam dengan harga terjangkau. Artinya, mereka tetap bisa mendapatkan keuntungan sekaligus memungkinkan warga bisa menikmati aktivitas wisata yang relatif murah.Â
Akan lebih tepat kalau para pengusaha pariwisata bisa menggandeng dan merangkul kaum muda atau warga sekitar yang bisa diajak bersama-sama mengembangkan destinasi. Tentu, ini membutuhkan kesabaran dalam mengarahkan keterlibatan warga sekitar. Bagaimanapun, mereka perlu diajak belajar bagaimana tata cara menyambut dan melayani wisatawan sebaik-baiknya.Â
Tidak hanya untuk disiapkan menjadi para pekerja food and beverage atau pemandu wisatawan, warga lokal bisa diajak serta dalam mendesain atraksi atau destinasi yang berbasis keunikan kawasan. Jadi, para pengelola tidak asal-asalan dalam menyiapkan atraksi ataupun fasilitas buat para wisatawan.Â
Warga Suci yang tinggal di kawasan perkebunan adalah subjek yang sehari-hari menggunakan sungai untuk keperluan sehari-hari. Artinya, mereka paham bagaiamana karakteristik air dari hulu, keunikan bebatuan gunung yang menghampar di sungai, dan kondisi-kondisi ketika harus menjauhi sungai, seperti hujan deras di kawasan pegunungan.Â
Dengan keterlibatan mereka, warga pun akan ikut bertanggung jawab. Apalagi, keberadaan destinasi wisata sungai memberikan keuntungan ekonomi kepada mereka. Inilah merupakan salah satu ciri pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) yang pada beberapa dekade terakhir sedang menjadi perbincangan hangat di tingkat internasional.
Berwisata sekaligus Melakukan Edukasi dan Konservasi
Apa yang masih bisa dikembangkan dalam aktivitas pariwisata di DRC atau wisata sungai lainnya adalah melakukan edukasi kepada anak-anak dan kaum muda tentang pentingnya kecintaan terhadap alam dan konservasi. Di banyak kesempatan saya sampaikan bahwa bahagia ketika bermain air atau mandi di sungai bisa memunculkan empati dalam batin anak-anak atau kaum muda.Â
Setidaknya, cinta kepada alam akan mengisi pikiran dan batin mereka yang bergerak dinamis. Untuk itu, orang tua atau guru yang mendampingi anak-anak berwisata bisa memasukkan obrolan-obrolan santai tentang hubungan antara hutan di pegunungan, pohon di sempadan sungai, air gunung, dan kehidupan manusia. Tentu, dengan bahasa yang mudah dimengerti
Sementara, kaum muda bisa diajak melakukan outbond yang bertujuan membangun keakraban sesama rekan serta menumbuhkan nilai-nilai positif, seperti kerjasama, kompetisi tanpa menyakiti, dan visi ke depan.Â
Di sela-sela istirahat sembari menikmati kopi atau makanan khas, mereka bisa diajak diskusi bahwa semua aktivitas outbond bisa lebih meanrik dan berkesan ketika dilaksanakan di destinasi wisata alam yang masih bagus. Untuk itu, menjaga kelestarian alam menjadi kebutuhan bersama.Â
Aktivitas selanjutnya yang bisa dirintis di DRC atau wisata alam lain adalah mengajak pengunjung menanam tanaman yang penting untuk menyangga kawasan sempadan sungai sekaligus memperbanyak cadangan air di dalam tanah.Â
Untuk itu, tidak semua wilayah sempadan sungai dibangun tempat menginap para pengunjung. Memang, di DRC sudah ada upaya untuk menanam bibit pohon seperti pinus. Namun, volume bibit pohon perlu diperbanyak agar ke depannya bisa mencegah erosi tanah, sekaligus menghadirkan suasana sejuk.
Dengan pengalaman menanam tersebut, mereka akan memiliki ikatan emosional dengan pohon yang mereka tanam. Harapannya, pegunjung mau berkunjung kembali untuk menengok pohon yang mereka tanam. Atau, mereka bisa mengajak kawan dan keluarga, sehingga semakin banyak wisatawan yang berlibur sekaligus menanam pohon.Â
Menyiapkan Sistem Peringatan Dini Kebencanaan
Meskipun muncul kritik terkait kemungkinan terjadinya banjir bandang dan tanah longsor ketika hujan deras mengguyur kawasan hulu, para pengelola tidak harus bingung. Melibatkan masyarakat dalam membangun sistem peringatan dini akan menjadi titik awal yang bagus, selain para pakar kebencanaan.Â
Pengalaman selama tinggal di sekitar kawasan DRC menjadikan warga mengetahui tanda-tanda alam ketika hujan sedang deras di kawasan hulu serta potensi terjadinya banjir bandang dan tanah longsor. Mempertemukan pengalaman warga dan kepakaran para ahli bencana akan memudahkan pembuatan sistem peringatan dini yang bisa dipahami oleh pengunjung.Â
Selain itu, di kawasan tertentu tertentu yang dianggap agak berbahaya bisa diberikan papan peringatan sehingga wisatawan tidak memasuki area tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan selama proses berwisata.Â
Ketika pemahaman-pemahaman terkait pemberdayaan, edukasi, dan konservasi menjadi "ruh" dalam pengembangan DRC dan destinasi wisata alam lain, kita bisa berharap tumbuhnya destinasi-destinasi wisata yang bisa menggabungkan kepentingan ekologis dan kebutuhan ekonomis.Â
Harapannya, pariwisata berbasis komunitas dan lingkungan yang berkelanjutan bisa menjadi pembeda yang berdampak positif bagi warga, pengelola, dan alam yang disiapkan untuk generasi penerus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H