Impor bahan pangan selalu dan selalu menjadi primadona untuk mengatasi masalah jangka pendek bidang pangan. Saya katakan jangka pendek karena bertujuan mengatasi harga yang tinggi agar tidak menimbulkan gejolak di tengah-tengah rakyat.Â
Tentu, bagi para pemimpin "populis" gejolak protes rakyat akan sangat merugikan bangunan citra pemerintahan yang selama ini direpresentasikan merakyat.
Ditambah lagi, kepentingan untuk mengamankan rezim pemerintahan berikutnya (yang tak kalah populisnya) agar tidak terdampak terlalu serius oleh kenaikan harga bahan pangan.Â
Apalagi kemenangan mereka juga melibatkan bansos pahan pangan yang melimpah dan, bahkan, terbesar. Kalau sampai pelantikan mereka harga beras dan bahan pangan lainnya masih tinggi, tentu akan merusak citra kemenangan mereka yang didukung rakyat.
Kebijakan impor menegaskan bahwa kepemimpinan populis memang tidak akan berpikir secara strategis bagaimana mengatasi masalah rakyat secara komprehensif. Alih-alih, mereka lebih memilih jalan pintas untuk mencegah kemarahan rakyat.Â
Sampai saat ini, kita belum melihat secara gamblang bagaimana cetak biru pertanian menuju swasembada. Ironisnya, "food estate" justru menimbulkan masalah baru di tengah-tengah kampanye positifnya oleh rezim negara.
Wajar kiranya kalau para anggota DPR mulai membandingkan kondisi pangan kita dengan Thailand, Vietnam, Malaysia dan, bahkan, Singapura. Kalau negara tetangga di Asia Tenggara bisa mengatasi masalah pangan, mengapa Indonesia tidak? Para pembela pemimpin yang katanya terhormat mungkin akan beralasan jumlah penduduk Indonesia lebih banyak daripada negara-negara itu.
Alasan seperti itu sudah sangat usang dan hanya menunjukkan kemalasan dan ketidakmampuan para pemimpin dan pejabat terkait untuk mendesain kebijakan strategis yang benar-benar menjadikan Indonesia berswasembada. Lihatlah India dan China, jumlah penduduk mereka lebih besar daripada Indonesia, tapi kedua negara itu mampu mengimpor beras ke Indonesia.
Masalahnya, kebijakan impor tidak akan menyelesaikan masalah pertanian dan pangan nasional. Sebaliknya, akan menyebabkan bermacam masalah akut terkait petani, ketahanan pangan, dan harga diri bangsa.Â
Sudah seharusnya pemerintah merangkul para pakar dan praktisi pertanian untuk rembugan bersama guna mendesain cetak biru berbasis existing problems dan kepentingan bersama. Ajaklah petani (bukan organisasi yang mengatasnamakan petani) bicara tentang masalah dan harapan mereka sebagai petani.