Para pejabat dan elit pemerintahan yang katanya terhormat berceloteh tentang hujan, El Nino, musim tanam dan panen padi yang mundur, bulan ramadhan harga bahan pangan pasti naik. Dan, akhirnya, impor beras menjadi pilihan yang paling mudah.Â
Artinya, logika cuaca dan meningkatnya harga menjadi pembenar bagi kebijakan impor untuk mengatasi masih tingginya harga beras dan bahan pangan lainnya. Ini sama dengan logika banjir di Kalimantan disebabkan curah hujan yang tinggi tanpa melihat faktor pengrusakan hutan untuk tambang, industri kayu, food estate, dan perkebunan sawit.
Okelah. Katakan perubahan iklim menjadi faktor dominan, maka sudah seharusnya pemerintah memikirkan langkah strategis dan teknis untuk "memastikan" petani mampu bersiasat agar hasil pertanian mereka tetap baik dan bisa berkontribusi terhadap kecukupan pangan nasional.Â
Ironisnya, fakta perubahan iklim itu hanya menjadi wacana untuk mewajarkan tingginya harga bahan pangan dan kebijakan impor. Tragisnya, para petani, baik yang berlahan luas maupun sempit, termasuk buruh tani seolah dibiarkan menghadapi kompleksitas masalah sendirian, tanpa kehadiran negara.Â
Bagaimana pula dengan semakin menyusutnya lahan-lahan persawahan produktif di kawasan pinggiran kota untuk keperluan perumahan, pergudangan, industri, destinasi pariwisata, dan proyek strategis? Realitas itu berlangsung di seluruh wilayah perkotaan Indonesia dan ikut berkonstribusi terhadap penurunan produksi padi.Â
Bahkan, di banyak wilayah kecamatan dan perdesaan, semakin banyak lahan pertanian yang digunakan untuk peruntukan lain. Padahal setiap wilayah katanya sudah memiliki kebijakan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang termasuk mengatur kawasan pertanian. Kalau RTRW diterapkan dengan baik, tentu penyusutan yang terjadi secara massif bisa dikurangi atau dicegah.
Ada pula yang lebih konyol, "di bulan ramadhan harga pangan yang sedikit tinggi akan menguntungkan petani karena mereka tidak pernah dapat THR." Omongan seperti ini sungguh tidak pantas keluar dari mulut pejabat yang bertanggung jawab terhadap masalah pertanian.Â
Apa iya harga padi dan beras yang tinggi benar-benar mensejahterakan petani? Apa ia tidak tahu bagaimana mahalnya pupuk, pestisida, bibit, dan kebutuhan lainnya seperti tenaga kerja untuk proses bertani? Buat apa negara membayar mahal gaji dan semua tunjangan pejabat terkait kalau hanya bisa menebar wacana penuh kekonyolan tersebut?
Semua omongan mereka menegaskan betapa para pejabat terhormat itu tidak "enthos" alias "tidak punya kapasitas dan tidak mampu" untuk mengelola kebijakan pertanian dan ketahanan pangan. Buktinya, janji swasembada pangan hanya menjadi "lip service" yang semakin kehilangan makna/petanda.Â
Saya kadang berpikir, apa pejabat yang katanya tehormat itu tidak malu--atau mungkin sudah tidak punya malu?--ketika janji swasembada berakhir secara tragis dan benar-benar memalukan melalui kebijakan impor? Ataukah, memang janji itu sekedar janji politik yang selalu bisa dikhianati dengan sejuta alasan manis?