Penguatan ‘Empat Pilar’ terungkap dalam kesesuaian antara nilai-nilai kesenian reog Ponorogo dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu: a) nilai kepercayaan berkesesuaian dengan nilai ketuhanan, b) nilai kepribadian berkesesuaian dengan nilai kemanusiaan, c) nilai hiburan dan pertunjukan berkesesuaian dengan nilai persatuan, d) nilai sosial (rukun) berkesesuaian dengan nilai kerakyatan, e) nilai kesejarahan dan kelestarian berkesesuaian dengan nilai keadilan.
Tentu saja, tafsir tersebut sah-sah saja, meskipun disesuaikan dengan kepentingan kampanye pendidikan karakter yang sedang dikampanyekan pemerintah. Hal itu sekaligus menegaskan bahwa peneliti yang terhegemoni wacana ideal rezim negara cenderung mentransformasinya ke dalam konsep yang tetap saja terhubung dengan perluasan formasi wacana yang dikehendaki negara.
Lebih jauh lagi, semua dukungan untuk perluasan diskursif “pelestarian budaya” akan menjadikan kepentingan ekonomis dan praktik komodifikasi reyog tampak wajar dan memang seharusnya seperti itu.
Dukungan para akademisi, setidaknya, memperkuat kehendak pemerintah kabupaten Ponorogo untuk memperbesar FNRP dari tahun ke tahun sebagai ajang kompetisi kesenian yang berdimensi pelestarian dan pariwisata.
Dampak positif dalam bidang pelestarian dan aktivitas pariwisata serta kampanye luas yang dilakukan pemerintah kabupaten Ponorogo menjadikan banyak stake holder, baik pemerintah maupun swasta untuk berkontribusi pada penyelenggaraan FNRP.
Tahun 2019, pemerintah kabupaten Ponorogo, selain dari sponsor swasta seperti bank BUMN, juga mendapatkan tambahan dana dari Platform INDONESIANA yang bernaung di bawah Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Sokongan dana tersebut menjadikan panitia bersama FNRP mendesain pagelaran yang semakin meriah. Alun-alun Ponorogo meriah dengan hadirnya ratusan pedakang kaki lima dan ribuan warga yang menonton tampilan demi tampilan dari 36 grup. Di sela-sela festival juga dilaksanakan pameran kerajinan serta diskusi tentang permasalahan dan pengembangan reyog.
Pemkab Ponorogo menyadari potensi besar FNRP untuk kepentingan ekonomi pariwisata. Maka, ketika ada pihak yang ingin menghentikan pergelaran tersebut, pada tahun 2019, Bupati Ipong dengan tegas menolaknya.
Lebih jauh lagi, dalam acara Jagongan Budaya di Rumah Dinas Bupati Ponorogo, 30 Agustus 2019, Bupati Ipong memaparkan bahwa kegiatan pelestarian akan terus diselenggarakan, tetapi dengan fokus spesifik, misalnya workshop khusus untuk tukang kendang, tukang tiup slompret, dan pembarong.
Alasanya sederhana, regenerasi ketiga jenis seniman reyog tersebut bisa dibilang lambat, sehingga tidak cukup banyak seniman yang bisa memainkannya. Keahlian memukul kendang, meniup slompret, dan memainkan dadak merak memang tidak mudah. Itulah yang menjadikan tidak banyak seniman yang menekuninya.
Tidak heran, FNRP digelar, tukang kendang, tukang slompret, dan pembarong menjadi seniman yang paling capek karena bisa terlibat dalam beberapa kelompok. Realitas inilah yang mendorong Ipong ingin membuat workshop yang mengundang para seniman dari dalam maupun luar Ponorogo.