Tuduhan semacam itu adalah bentuk kepanikan moral penulis dan sebagian pihak dalam menghadapi dinamika pertunjukan reyog obyok yang merupakan kritik terhadap pembakuan pakem ala festival.Â
Dengan hanya menyampaikan realitas keburukan selama pertunjukan berlangsung, ia menegasikan realitas lain seperti kegigihan untuk terus mempertahankan reyog sebagai budaya yang dicintai rakyat, perjuangan untuk regenerasi yang melibatkan anak-anak, kaum remaja, dan kaum muda, serta dampak ekonomi yang dirasakan oleh para seniman.Â
Mengikuti perspektif Hall (1997), usaha untuk mengungkap semata-mata aspek keburukan pertunjukan obyok merupakan stereotipisasi yang bertujuan memarjinalkan reyog model ini dari kehidupan kultural dan sosial masyarakat. Yang mengerikan adalah ada usaha untuk menunjukkan ke publik bahwa pertunjukan obyokan tidak lebih dari pembiaran terhadap hal-hal buruk yang bisa menghancurkan citra reyog itu sendiri. Â
Stereotipisasi reyog obyok sebagai model pertunjukan berwarna negatif memiliki dimensi kuasa yang membenarkan satu standar saja dan menjadikan standar lain sebagai kesalahan dan kekeliruan yang berdampak pada penyelewengan dan pengkhianatan terhadap kebenaran yang selama ini disepakati bersama.Â
Konstruksi wacana tersebut tentu saja berkelindan dengan keinginan pemerintah kabupaten Ponorogo untuk menetapkan pakem festival sebagai standar baku. Meskipun demikian, reyog obyok tetap menjadi pertunjukan populer di tengah-tengah masyarakat Ponorogo.Â
Stereotipisasi yang memosisikan para jathil sebagai subjek erotis nyatanya tidak menyurutkan minat warga untuk nanggap dan menonton pertunjukan obyokan. FNRP hanya dilaksanakan sekali dalam setahun, sementara pertunjukan obyokan bisa dilaksanakan berkali-kali.Â
Repsons Pemerintah: Inkorporasi ObyokanÂ
Menanggapi ketenaran reyog obyok, pemerintah rupanya tidak tinggal diam. Mereka juga tidak ingin membiarkan gairah budaya yang meningkat di tengah-tengah masyarakat menjadi gerakan liar. Di masa pemerintahan Bupati Ipong, Pemkab Ponorogo memiliki pemikiran untuk menginkorporasi mereka dalam sebuah event yang diikuti oleh para seniman reyog obyok.Â
Setelah berdiskusi dengan para seniman senior, baik dari Yayasan Reyog Ponorogo maupun Dewan Kesenian Ponorogo, Bupati Ipong membuat sebuah kebijakan untuk menggelar pertunjukan obyokan di setiap desa setiap bulan.Â
Semua pemerintah desa wajib menyediakan anggaran biaya untuk menggelar pertunjukan agar para seniman memiliki ruang ekspresi dan regenerasi reyog bisa berlangsung secara ajeg, khususnya yang ditujukan kepada anak-anak, kaum remaja, dan kaum muda.Â
Pada awalnya, masih ada beberapa desa yang tidak bisa menggelar pertunjukan dengan bermacam alasan, seperti kurangnya dana dan tabu kultural yang melarang reyog di desa-desa tertentu. Bupati Ipong memanggil para kepala desa yang desanya belum menggelar pertunjukan. Ia memberikan penjelasan dan arahan tentang pentingnya acara tersebut untuk penguatan identitas budaya Ponorogo.Â