Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Festival dan Obyokan: Model Pertunjukan Reyog Ponorogo

27 Agustus 2023   10:38 Diperbarui: 27 Agustus 2023   10:42 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penari jathil dalam FNRP. Sumber: Aula Online

Kuasa rezim untuk mengkampanyekan pakem reyog festival kepada publik menjadikan banyak seniman yang akhirnya menerimanya, meskipun dengan keterpaksaan. 

Maka, ungkapan bahwa “akomodasi reyog obyokan dikhawatirkan akan merusak pakem dan filosofi cerita reyog” merupakan usaha untuk memperkuat kebenaran pakem ala pemerintah dan menjadikan struktur pertunjukan ala seniman rakyat sebagai liyan atau yang layak dimarjinalisasikan. 

Sementara, sorotan yang lebih keras diberikan kepada realitas sensualitas dan erotisisme yang melibatkan jathil dalam pertunjukan obyokan. Sebenarnya, aspek erotisisme bukanlah hal baru dalam pertunjukan kesenian rakyat di Jawa dan Nusantara. 

Namun, bagi orang-orang yang mengedepankan paradigma moralitas dan ketertiban sosial, adegan erotis jathil diposisikan sebagai realitas estetik yang merusak pakem dan keluhuran reyog. Deffi Annas, salah satu penulis blog, mengatakan bahwa sekarang reyog telah kehilangan pakemnya. 

Reyog obyok menyatu dengan penonton. Sumber: Nanang Diyanto/Kompasiana
Reyog obyok menyatu dengan penonton. Sumber: Nanang Diyanto/Kompasiana

Ia menganggap sekelompok seniman telah mengubah kesenian yang memiliki nilai rohani yang tinggi menjadi kesenian yang hanya untuk bersenang-senang saja. Reyog kini menjadi ajang mabuk-mabukan dan unjuk kemolekan para jathilnya. Jathil yang seharusnya memakai kostum pakem dan menggunakan eblek kini berubah memakai kebaya yang ketat dan transparan dan tidak mengenakan eblek

Gerakannya pun sudah berbeda yang seharusnya energik karena menggambarkan seekor kuda yang berperang melawan singo barong kini gerakannya lemah gemulai dan berlenggak lenggok di depan pembarong. Tak jarang, para jathil menari dengan penonton untuk mendapatkan saweran. 

Bahkan yang paling parah akhir-akhir ini muncul jathil cilik yang masih berusia diwabah 6 tahun yang berlenggak-lenggok di depan pembarong sama seperti halnya jathil dewasa. Selain itu sering kali terjadi adu fisik antar penonton maupun pemain untuk mendapatkan tarian dari jathil.

Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Annas merupakan kritik tajam karena berusaha menelanjangi aspek-aspek yang dianggap cukup buruk dari pertunjukan obyokan. Mengulangi persoalan pakem, tuduhan bahwa reyog obyokan sudah kehilangan pakem merupakan kampanye negatif yang sekaligus membenarkan pakem yang dibuat pemerintah dalam rangka festival reyog. 

Sekali lagi, kritik tajam ini merupakan bentuk penegasan bahwa berbicara pakem reyog yang paling benar adalah standar estetik koreografis dan pertunjukan yang dibuat oleh segelintir pakar berdasarkan pesanan pemerintah di era Orde Baru. 

Maka, apa-apa yang dilakukan para seniman obyokan dengan menggelar pertunjunkan non-pakem diposisikan sebagai tindakan negatif karena “mengubah” kesenian yang “memiliki nilai rohani tinggi”menjadi kesenian untuk “bersenang-senang”, “mabuk-mabukan”, dan “unjuk kemolekan tubuh jathil.” 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun