Namun, kebijakan budaya di era pasar juga membawa kepentingan bisnis (Wise, 2002; Banks, 2018; Throsby, 2010; Frey, 2000; Bille, et al, 2016; Hesmondhalgh & Pratt, 2005; Haans & van Witteloostuijn, 2018). Mekanisme pasar dengan dukungan regulasi negara sebagai karakteristik utama sistem ekonomi neoliberalisme diposisikan sebagai aturan tertinggi yang akan menentukan popularitas atraksi dan destinasi wisata di sebuah negara atau daerah.Â
Dalam kerangka demikian, pemerintah daerah menerapkan prinsip kelenturan untuk menginkorporasi dan mengkomodifikasi kekayaan budaya ke dalam industri pariwisata yang tidak hanya bisa menarik wisatawan, tetapi juga investor. Eksotika budaya etnis dieksploitasi dan pada saat bersamaan dikampanyekan sebagai bentuk pelestarian.
Kerangka teoretis di atas saya gunakan untuk menganalisis data hasil observasi dalam aktivitas wisata budaya di Banyuwangi dari tahun 2012-2019. Pertama-tama, kami akan menganalisis bagaimana praktik formula neo-ekostisisme dalam beragam event spektakuler dalam B-Fest.Â
Kedua, analisis saya arahkan kepada pengaruh B-Fest kepada pemberdayaan budaya lokal di tingkat desa yang difasilitasi Pemkab Banyuwangi. Ketiga, kami akan menelaah dampak neo-ekotisisme terhadap kepentingan ekonomi-politik rezim penguasa dan pemodal. Dengan model analisis demikian, kritik terhadap kebijakan merupakan warna dominan yang kami hadirkan dalam tulisan ini.
Neo-Eksotisisme dan Keglamoran Budaya Lokal
B-Fest merupakan progam tahunan yang memayungi bermacam even wisata budaya, wisata keindahan alam, dan wisata olah raga di Banyuwangi. Ajang ini dirintis sejak tahun 2011 dan diformalkan sejak tahun 2012. Tahun 2012 terdapat 10 event. Jumlah itu meningkat menjadi 15 event pada 2013, 23 event pada 2014, 36 event pada 2015, 53 event pada 2016, 56 event pada 2017, 77 event pada 2018, dan 121 event pada 2019. Tahun 2020 beberapa even dari 123 even sempat berjalan, sebelum akhirnya dihentikan karena pandemi Covid-19.
Sebagian besar even dalam B-Fest adalah wisata budaya yang menjual eksotika lokal dalam prinsip kelenturan. Karakteristiknya adalah komodifikasi secara transformatif dengan cara memegahkan dan mengglamorkan tampilan visual budaya lokal melalui beragam festival dan karnaval. Prinsip komodifikasi transformatif menggusur substansi budaya lokal, tetapi menguntungkan industri pariwisata.
Karnavalisasi Budaya LokalÂ
Dimulai tahun 2011, Bupati Anas dengan menggandeng Jember Fashion Carnival (JFC) menggelar Banyuwangi Ethno Carnival (selanjutnya disingkat BEC), event karnaval fashion pertama di Banyuwangi dengan tema keragaman dan kekayaan etnis serta keindahan alam.Â
Sampai tahun 2019, BEC masih diselenggarakan dengan tema yang selalu berganti setiap tahunnya. Budaya lokal, seperti kesenian dan ritual, mengalami proses reduksi karena hanya dijadikan peragaan busana di jalanan. Gandrung, misalnya, kehilangan estetika pertunjukan yang biasa disajikan dari selepas Isya' sampai menjelang Subuh serta makna-makna kultural yang membentuk identitas Using.Â