Dalam makna sempit, ekstraksi dipahami sebagai praktik industri yang mengekstrasi sumber daya alam tak terbarukan, terutama ekstraksi minyak, gas, dan mineral. Sementara, ekstraktivisme mengacu kepada ideologi, wacana, dan pengetahuan yang mendasari praktik industri ini.Â
Namun, pemaknaan yang lebih baru diberikan dalam wujud neo-ekstrativisme, yakni konstruksi ideologis dan paradigma eksploitasi parah yang merupakan karakteristik kapitalisme kontemporer dan neoliberalisme.Â
Menurut Junka-Aiko & Cortes-Severino (2017: 177) dalam pemaknaan baru tersebut, ekstraksi dan ekstraktivisme tidak lagi harus didefinisikan oleh jenis industri dan aktivitas tertentu, atau terkait dengan masalah tanah dan sumber daya alam sebagai objek tertentu yang tidak berhubungan dengan yang lain.Â
Alih-alih, ekstraktivisme juga dipahami sebagai konsep analitis dan juga politik yang memungkinkan pemeriksaan dan artikulasi logika yang mendasari eksploitasi dan subjektifikasi yang lebih dalam yang merupakan pusat pergerakan globalisasi kapitalis dan neoliberalisme saat ini.Â
Artinya, dalam ranah akademis mulai dikembangkan kajian-kajian kritis untuk membongkar bagaimana industri ekstraktif didesain berdasarkan ideologi yang mengarahkan eksploitasi lintas negara serta berkontribusi terhadap kekuasaan dan gerakan para kapitalis dan penguatan neoliberalisme.
Dalam ranah akademis, kajian ekstraktivisme sejatinya menarik untuk dibawa ke dalam kajian budaya, kajian politik, kajian pascakolonial, dan kajian dekolonial. Di masa lalu, industri ekstraktif merupakan aktivitas yang dilangsungkan di kawasan pinggir, wilayah jajahan, sedangkan kawasan metropolitan merupakan kawasan inti yang sebisa mungkin diamankan.Â
Namun, realitas saat ini menunjukkan adanya ledakan pertambangan yang memecah belah masyarakat di negara-negara maju serta memunculkan banyak perlawanan pribumi seperti yang berlangsung di Skandinavia, Inggris, dan Amerika Serikat. Â
Para pemodal tambang kulit putih harus menghadapi perlawananan di dalam negeri terhadap kebijakan pertambangan yang merupakan bagian dari kolonialisme.Â
Sementara itu, di negara-negara pascakolonial atau negara-negara berkembang, kita sama-sama menyaksikan bagaimana industri ekstraktif dan proyek pembangunan berbasis neoliberal memprovokasi tingkat pemindahan paksa warga lokal, perusakan lingkungan, perpecahan dan disintegrasi sosial, serta perlawanan yang berani dan kompleks dari komunitas pribumi dan petani.
Melihat dinamika tersebut, Junka-Aiko & Cortes-Severino (2017: 178) berpendapat bahwa proyek politik (mengungkap kepentingan kuasa melalui representasi dan artikulasi wacana serta dampaknya bagi masyarakat) dalam kajian budaya memungkinkan kita untuk memikirkan kompleksitas makna dan konsekuensi ekstraktivisme serta untuk mencari dan memikirkan kemungkinan masa depan lainnya terutama dalam kaitannya dengan gerakan politik baru yang bisa diartikulasikan.