Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Resistensi Naratif terhadap Kuasa Budaya dan Negara: Tatapan Pascakolonial

14 Mei 2023   00:08 Diperbarui: 14 Mei 2023   00:05 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Garuda Di Dadaku. Sumber: mizanstore.com

Dalam sebuah percakapan dengan ibunya, Aannisa (semasa kecil), dengan lantang mengatakan sebagai berikut.

“Yang aneh apanya, Bu. Pak Guru bilang kewajiban seorang perempuan itu banyak sekali, ada mencuci, memasak, menyetrika, mengepel, menyapu, menyusui, memandikan, dan banyak lagi. Tidak seperti  laki-laki, Bu, kewajibannya Cuma satu pergi ke kantor. Mudah dihafalkan. 

Mengapa aku dulu tidak jadi laki-laki saja,  Bu? Aku ingin pergi ke kantor Aku juga tidak suka memasak di dapur, bau minyak, bau bawang, bau terasi dan asap mengepul. Aku ingin belajar naik kuda seperti Rizal. Boleh kan, Bu?" (El Khalieqy, 2009: 14)

Ucapan Annisa merupakan resistansi seorang anak perempuan terhadap oposisi biner antar subjek laki-laki dan subjek perempuan-sebagai penopang utama keberlangsungan kuasa patriarkal-melalui dua cara. Pertama, keluh kesah terhadap banyaknya pekerjaan perempuan dibandingkan laki-laki yang sudah dianggap sebagai kebenaran umum sekaligus bentuk kuasa patriarkal. 

Kedua, pembalikan yang menegaskan keinginannya untuk melakukan aktivitas yang sama dengan laki-laki, “belajar naik kuda.” Pembacaan sederhana tersebut menunjukkan bahwa sebagai moda wacana, narasi sastra menghadiirkan praktikm diskursif yang bertujuan untuk membentuk subjek-subjek sehingga akan menormalisasi kepentingan kuasa yang menyertainya. 

Cover Novel Perempuan Berkalung Surban. Sumber:https://www.iflegma.com
Cover Novel Perempuan Berkalung Surban. Sumber:https://www.iflegma.com

Wacana resistensi tersebut menjadi anggitan utama yang diperjuangkan Annisa sampai ia menginjak dewasa, meskipun ia harus kalah oleh pernikahan dengan lelaki yang kejam, Samsudin.

Perpindahan ke dalam “ruang” dan “tempat” yang berbeda, ke perguruan tinggi di kota Yogyakarta dari pondok pesantren salafi, setelah perceraiannya dengan Samsudin, telah mengantarkan sebuah dunia modern yang penuh tawaran pencerahan ke dalam benaknya sebagai seorang perempuan. 

Berikut curahan perasaan senang Annisa ketika ia menjalani kuliah dengan segala aktivitasnya.

Dengan kuliah, aku menaiki jenjang pendidikan setapak demi setapak bersama ilmu yang memasuki otak. Membentuk pola pikir dan kepribadianku. Dengan organisasi, aku mempelajari cara berdebat, berpidato dan manajemen kata untuk menguasai massa, juga lobby dengan banyak orang yang lebih lama kuliahnya. 

Dengan menulis, aku belajar menata seluruh gagasan yang kudapat baik dari kuliah maupun organisasi, ditambah pengalaman dan perenunganku sehari-hari dalam kehidupan nyata. Karena pada dasarnya mobilitasku tinggi, semua aktivitas itu masih terasa kurang. Akupun mengikuti kursus bahasa di salah satu college yang memiliki  reputasi internasional. (El Khalieqy 2009: 203)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun