Oleh para guru, Pak Harto selalu diwacanakan sebagai pahlawan karena berhasil menggagalkan kudeta politik yang katanya dilakukan PKI untuk selanjutnya memimpin negara ini dengan “senyum manis” dan proyek-proyek pembangunan, seperti intensifikasi dan diversifikasi pertanian, pendidikan, program KB, pengaspalan jalan, pembangunan waduk, pembangunan gedung-gedung bertingkat di kota, dan lain-lain.
Program-program tersebut berhasil membimbing dan mengarahkan masyarakat desa untuk mulai memasuki cara hidup dan cara pikir modern dalam kehidupan sehari-hari. TVRI sebagai televisi rezim juga secara ajeg merepresentasikan peran sentral Pak Harto dalam pembangunan dan kemajuan bangsa ini.
Bagi masyarakat desa pada era 80- an, televisi dengan TVRI sebagai stasiun tunggal sangat membantu untuk melihat dan memaknai aspek-aspek modernitas yang dijanjikan pembangunan.
Bagaimana tidak, dari kotak hitam-putih yang hanya dimiliki oleh beberapa warga-kepala desa/dusun atau orang-orang kaya- masyarakat bisa menonton kemajuan kota yang menjadi penanda utama modernitas Indonesia.
Selain itu, melalui acara berita regional, berita nasional, penyuluhan desa/pertanian, maupun laporan khusus, warga menerima pesan-pesan keberhasilan pembangunan Orba pimpinan Pak Harto.
Waktu itu, saya dan kawan-kawan sebaya serta masyarakat kebanyakan tidak pernah tahu kalau mobilisasi makna-makna terkait menjadi modern dalam arahan Orba merupakan anggitan (construction) untuk mendukung dan memperkuat kuasa rezim.
Melalui tayangan TVRI, rezim berusaha mengarahkan, mengendalikan, dan membatasi pesan pembangunan menuju modernitas sebagai kebutuhan kolektif menuju kemajuan bernegara dan berbangsa. Sebagian besar masyarakat desa tidak merisaukan ideologi kapitalisme yang diadopsi dalam pembangunanisme oleh para ekonom dan teknokrat serta pengaruh- pengaruh buruknya.
Masyarakat diberi informasi-informasi tentang pembangunan di bawah kepemimpinan Soeharto yang akan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Mereka tidak berani mempertanyakan perilaku militeristik rezim yang dibungkus dengan dalil-dalil demokrasi semu.
Apalagi, Soeharto dalam film-film bergenre militer, seperti Janur Kuning, tampil sebagai figur yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Republik ini (Irawanto, 1999). Selain itu, dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI yang pemutaran rutinnya di TVRI berakhir setelah gerakan Reformasi 1998, ia tampil sebagai sosok yang menyelamatkan negara dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara tetap sakti.
Mengikuti pemikiran Foucauldian tentang formasi wacana (Foucault, 2002: 52-58; Hall, 1997a: 44), pembentukan dan penyebarluasan wacana tentang sosok Soeharto dan keberhasilan pembangunan Orba merupakan usaha untuk memperoleh penerimaan dan persetujuan dari masyarakat terhadap kuasa rezim.