Pascakolonialitas merupakan kondisi kultural dalam masyarakat selepas penjajahan yang selalu diwarnai ambivalensi dan kesadaran ganda. Kesadaran untuk mentransformasi yang Barat/yang modern ke dalam yang Timur/yang tradisional sebenarnya bisa menjadi kekuatan bagi masyarakat poskolonial untuk mengganggu kemapanan epistemologis modernitas Barat (Radhakrisnan, 2003:1-2).
Namun, pascakolonialitas bisa menjadi makna dan praktik yang menyulitkan, ketika masyarakat susah untuk melepaskan diri dari bayang-bayang kuasa Barat, sebagaimana yang berlangsung dalam masa kolonial (Gandhi, 1998: 5-7).
Dalam masyarakat desa era 80-an, keretakan lokalitas memang telah berlangsung, tetapi belum bisa sepenuhnya menghancurkan bangunan-bangunan konsensual-komunal yang sudah mengakar dalam tradisi masyarakat lokal.
Yang perlu diperhatikan, perkembangan sosio-kultural masyarakat desa tidaklah mandeg, tetapi terus bergerak dan men- ciptakan narasi-narasi baru yang lebih kompleks pada periode-periode berikutnya dengan modernitas tetaplah berkuasa dalam ruang kultural desa.
Subjektivitas masyarakat desa terus bergerak dan berubah secara dinamis karena selepas era 80-an budaya modern semakin masuk ke dalam pikiran, imajinasi, impian, dan praktik sosio-kultural.
Maka, mendeskripsikan masyarakat desa dan lokalitas mereka dalam perspektif esensialisme dan keadilihungan-normatif merupakan kekonyolan akademis di tengah-tengah bising suara motor dan mobil, khusuknya warga di depan televisi, semakin sedikitnya penonton kesenian tradisional, semakin megahnya rumah- rumah tembok, hilangnya permainan tradisional, migrasi generasi muda ke kota, dan peristiwa-peristiwa lainnya.
Sekuat apapun usaha para birokrat rezim pascareformasi, akademisi, dan budayawan menggali kearifan lokal sebagai jatidiri dan karakter bangsa dalam forum seminar, simposium, konferensi, maupun proyek, kenyataannya, masyarakat desa dan lokalitas telah, tengah, dan akan terus bergerak menuju mondernitas karena sistem ekonomi-politik yang diterapkan sejak Orba memang lebih mengarahkan mereka ke dalam kehidupan modern.
Menurut saya, usaha membaca secara kritis lokalitas yang semakin kompleks di tengah-tengah kuasa modernitas bisa menjadi alternatif pilihan politis-akademis untuk terus membongkar dan mengurai persoalan-persoalan mendasar dalam lokalitas.
Pilihan itu mungkin akan lebih baik dari pada harus terus-menerus menjadi komprador rezim yang kenyataannya tidak pernah bersungguh-sungguh memperjuangkan budaya lokal.
Daftar Bacaan
Alisjahbana, St. Takdir. 1998. “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru.” Dalam Achdiat K. Mihardja (Ed). Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.