Sang Hibrid vs Esensialisme (Identitas) Budaya
Pemahaman terhadap hibriditas budaya yang menghasilkan campuraduk kultural dengan kepentingan dan potensi strategis yang menyertainya, menghadirkan kritik tajam terhadap pemikiran esensialisme kultural.
Secara sederhana, esensialisme kultural merupakan pandangan yang memposisikan teks, praktik, dan identitas kultural sebuah komunitas atau masyarakat selalu bersifat stabil, inherent, dan tidak akan banyak berubah.
Dougan (2003: 33) mengungkapkan beberapa karakteristik dari esensialisme kultural. Pertama, menganggap adanya sebuah inti dari unsur-unsur sebuah budaya yang penting bagi eksistensi bdaya tersebut. Kedua, bersifat ahistoris dan tak berkesudahan.
Ketiga, berusaha menstabilkan identitas kultural yang sebenarnya tidak stabil dan menyederhanakan asal-usul yang menyatu dari pengalaman hidup.
Keempat, menyediakan batasan-batasan yang permanen, jelas, dan mendalam bagi pembedaan sosial, di mana batasan-batasan itu akan menjadi alat untuk menghormati dan menyalahkan, distribusi nilai harga dan keuntungan, regulasi masyarakat, dan mobilisasi pelaku bagi aksi kolektif.
Akibatnya, esensialisme dan batasan mendalam mampu menjadi instrumen bagi dua gerakan besar dalam kolonialisme, yakni penaklukan dan perjuangan melawan penaklukan.
Artinya, penjajah menggunakan esensialisme kultural dari calon terjajah, seperti bodoh, tidak beradab, tidak berpendidikan, mitis, takhayul, dan lain-lain untuk melegalisasi praktik kolonialime atas nama pencerahan. Sementara kaum terjajah menggunakan esensialisme kultural yang melekat pada masyarakatnya untuk bisa membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah.
Esensialisme kultural juga seringkali digunakan kelompok etnis, agama, ataupun ras tertentu untuk melakukan politik identitas (identity politics) yang terkadang tidak digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap budaya yang ada, tetapi lebih sering digunakan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi maupun politik tertentu.
Gimenez (2006: 431-432) menegaskan bahwa politik identitas, sebagai ideologi dan praktik, kalau tidak hati-hati mengaburkan persoalan kelas sosial sebagai sumber pengalaman dan permasahan bersama, membuka dan menutup kesempatan-kesempatan edukasional, sosial, dan ekonomi.