Pertama, terma hibriditas berawal dalam pastoralisme, pertanian, dan hortikultura. Hibridisasi merujuk pada pengembangan kombinasi baru dengan menyilangkan satu tanaman atau buah dengan yang lain.
Kedua, hibridisasi dalam hal genetika. Ketika keyakinan dalam 'ras' memainkan bagian dominan, percampuran genetis dan 'percampuran ras' menjadi dalil yang begitu terkenal.
Ketiga, hibriditas merujuk pada kombinasi dari binatang-binatang yang berbeda, dan juga merujuk pada cyborg (cybernetics organism) kombinasi dari manusia atau binatang dengan teknologi (hewan piaraan diberi chip untuk identifikasi, sebuah rekayasa biogenetik). Keempat, hibriditas kemudian memasuki ranah pengetahuan sosial via antropologi religi, melalui tema sinkretisme.
Kelima, bahasa-bahasa kreol dan kreolisasi dalam linguistik merupakan bidang lanjutan yang menjadikan titik perhatian pengetahuan sosial. Keenam, yang berkembang sekarang adalah hibridisasi kultural. Ketujuh, perkembangan yang lain juga terkait dengan hibridisasi institusional, termasuk pemerintahan.
Kedelapan, hibridisasi organisasional dan pengaruh-pengaruh kultural yang beragam dalam hal teknik manajemen. Kesembilan, interdisiplineritas dalam ilmu pengetahuan menjadi bentuk hibrid baru semisal ekonomi ekologi. Kesembilan, menu menjadi semacam monumen bagi hibriditas kultural.
Kesepuluh, yang paling umum dalam hibriditas adalah identitas, perilaku konsumen, gaya hidup, dan lain-lain. Membicarakan hibridisasi dengan segala potensi kritis, strategis, maupun politis yang menyertainya tentu tidak bisa dilepaskan dari jejak-jejak historis yang menyertainya, meskipun titik-tekannya tetap pada kondisi dan praktik yang terjadi pada masa kini.
Dengan pemahaman-pemahaman tersebut, hibridisasi kultural bisa didefinisikan sebagai sebuah proses kultural yang ditandai dengan usaha-usaha untuk memadukan dua budaya atau lebih ke dalam sebuah bentuk budaya yang tetap bersandar pada budaya lokal tetapi tidak sepenuhnya, mengambil yang asing tetapi juga tidak sepenuhnya.
Sementara, hibriditas kultural merupakan sebuah realitas dari produksi budaya yang mengambil beberapa unsur dari dua atau lebih budaya yang bisa menciptakan bentuk baru atau memperbarui budaya yang sudah ada. Akibatnya, budaya hibrid yang dihasilkan bisa jadi kehilangan sebagian unsur keasliannya dan ditambah unsur baru.
Namun, apa yang lebih penting adalah bahwa menjadi sang hibrid adalah bukan sekedar percampuran, tetapi sebuah perjuangan untuk terus menegosiasikan gagasan dan praktik kultural dengan mengartikulasikan lokalitas dan globalitas dalam ruang ketiga demi kepentingan politis budaya lokal.
Dengan memahami hibridisasi kultural melalui produk-produk hibrid yang dihasilkannya, realitas dan pertarungan kultural dalam masyarakat kontemporer lebih bisa dimaknai kembali, dikaji ulang, dan diceritakan ulang, sehingga kajian sosial dan humaniora tidak terus terjebak pada pemikiran esesnsialisme budaya.