Sementara manusia dan peradaban Barat direpresentasikan sebagai kekuatan superior yang unggul dalam segala aspek kehidupan karena mereka lebih rasional, logis, berpendidikan, dan beradab.
Sementara, dalam Culture and Imperialism, Said berusaha membongkar beroperasinya kuasa dalam memosisikan manusia dan kebudayaan di luar mainstream Eropa melalui kerja-kerja kultural, termasuk di dalamnya karya sastra, dalam konteks imperialisme.
Di samping membedah karya-karya metropolitan yang dihasilkan oleh sastrawan-sastrawan besar Eropa, Said juga mulai melihat karya-karya non-Eropa sebagai bahan kajiannya, seperti novel Afrika maupun Karibia, sehingga pemikiran-pemikirannya lebih beragam bila dibandingkan dengan Orientalism.
Dalam Culture and Imperialism, Said juga membuat penekanan terhadap resistensi yang bisa dimunculkan oleh para pengarang pascakolonial.
Baginya apa yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah moda kritik kultural yang merefleksikan, atau bahkan mengadopsi, hibriditas yang berasal dari sejarah yang saling terkait dari dunia modern dan yang menghindari konsepsi identitas berdasarkan kategori ontologis kaku, baik dalam ras, etnisitas, ataupun identitas nasional.
Pergeseran pemikiran tersebut mengimplikasikan beberapa hal. Pertama, bahwa memang benar proses hegemoni melalui representasi-representasi kultural yang menekankan superioritas Barat ketimbang Timur, mampu mempengaruhi pola dan praktik kultural bagi bangsa-bangsa terjajah.
Kedua, dalam proses hegemoni tersebut selalu muncul ketidakstabilan hegemoni, di mana bangsa terjajah bisa menyerang balik atau meresistensi melalui penguatan budaya nasional mereka. Keempat, bahwa dalam konstruksi budaya nasional bangsa Timur sangat mungkin terjadi hibridisasi kultural dan hibriditas budaya yang mewarnai kehidupan mereka di masa kolonial maupun pascakolonial.
Kemampuan subjek terjajah dan pascakolonial untuk melawan ataupun meniru sebagian teks dan praktik kultural penjajah dan bekas penjajah menjadi perhatian utama dari Hommi K. Bhabha dalam bukunya The Location of Culture (1994). Dengan mengadopsi pemikiran pascastrukturalis, Bhabha mencoba untuk memberikan penekanan berbeda tentang masyarakat kolonial dan pascakolonial.
Samahalnya dengan Said, dalil-dalil yang dilontarkan oleh Bhabha juga ikut mewarnai keragaman teoretis dan analisis dalam kajian pascakolonial berikutnya. Beberapa pemikiran yang memperkuat posisi akademisnya dalam kajian pascakolonial antara lain: ruang antara atau ruang ketiga, peniruan (mimicry), pengejekan (mockery), dan hibriditas.
Dalam ruang antara, ruang yang mempertemukan kuasa dan budaya kolonial dan tradisi-lokal, manusia terjajah dan pascakolonial bisa melakukan praktik mimikri, pengejekan, dan hibriditas yang menjadi strategis politik dan kedirian mereka di tengah-tengah budaya asing (Bhabha, 1994: 86).