Sementara Nava (2002) berargumen bahwa kosmopolitanisme dalam konteks masyarakat Dunia Ketiga melekat pada modernitas yang menyatu dalam aktivitas komersial masyarakat urban (seperti mall atau plaza) dan produksi industri budaya bernuansa Barat.
Akibatnya, kosmopolitanisme sekaligus menjadi sebuah formasi dialogis yang cenderung melawan konservatisme dan identifikasi nasional yang sempit dari budaya warisan generasi terdahulu.
Masyarakat pascakolonial yang masih saja melakukan pembayangan-pembayangan ideal terhadap negara Barat, semakin dimanjakan oleh representasi kultural dan pemikiran dari media, film, televisi, dan produk-produk industri budaya lainnya yang semakin deras masuk di tengah-tengah era globalisasi.
Memang beberapa tesis tentang globalisasi lebih memfokuskan pada proses homogenisasi kultural bagi masyarakat negara-negara di Dunia Ketiga atau masyarakat pascakolonial karena logika kekuatan modal dan kekuatan produksi industri budaya yang digerakkan dari negara-negara maju dengan Amerika Serikat sebagai pusatnya.
Dampaknya, neoimperalisme atau neokolonialisasi kultural kembali berlangsung di negara-negara pascakolonial (Kien, 2004; Gills, 2002; Banerjee, 2002; dan, Sparks, 2007).
Sementara, beberapa tesis lain menyatakan bahwa globalisasi merupakan proses dinamis dimana masyarakat lokal mampu menegosiasikan keragaman kultural sembari mengartikulasikan budaya Barat/global dalam konteks lokalitas masing-masing yang kemudian menghadirkan glokalisasi dan lokalisasi dengan produk budaya glokalnya (Appandurai, 2001; Schuerkens, 2003; Giulianotti and Robertson, 2007; Edwars, 2002; dan, Holton, 2002).
Dalam konteks globalisasi, sebagaimana dijelaskan Giulianotti dan Robertson (2007), masyarakat lokal di negara-negara poskolonial sebenarnya mempunyai kemampuan kreatif untuk melakukan negosiasi dan artikulasi terhadap masuknya budaya global bernuansa Barat untuk kepentingan lokalitas masing-masing.
Proses inilah yang kemudian dinamakan glokalisasi. Menurut mereka, terdapat empat proyek dalam glokalisasi. Pertama, "relativisasi" yang menandakan kemampuan masyarakat lokal dalam mempertahankan institusi, praktik, dan makna kultural di dalam sebuah lingkungan baru, sehingga menunjukkan komitmen untuk berbeda dengan budaya induk, dalam hal ini budaya Barat.
Kedua, "akomodasi" di mana masyarakat lokal secara pragmatis menyerap praktik, institusi, dan makna kultural dari masyarakat lain, demi tetap melestarikan elemen-elemen kunci dari budaya lokal yang ada.
Ketiga, "hibridisasi" yang menunjukkan kemampuan masyarakat lokal untuk mensitesakan budaya lokal dan budaya lain untuk menghasilkan praktik, institusi, dan makna kultural hibrid yang berbeda.
Keempat, "transformasi" yang menggambarkan keputusan masyarakat lokal untuk lebih memilih untuk menjalani praktik, institusi, dan makna kultural yang berasal dari budaya lain, sehingga menghasilkan budaya yang sama sekali baru yang sekaligus sebagai bentuk penolakan terhadap budaya lokal.