Sejalan dengan pemikiran tersebut, Faruk (2007: 14-15) mengelaborasi beberapa perspektif teoretis yang bisa digunakan untuk membaca masyarakat pascakolonial.
Pertama, teori pascakolonial merupakan sekumpulan strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan (kesusastraan, politik, sejarah, dan lain-lain) dari koloni-koloni negera-negara Eropa dan hubungan negara-negara itu dengan belahan dunia sisannya.
Asumsinya: (1) mempertanyakan efek negatif dari apa yang justru dianggap bermanfaat oleh kekuasaan imperial, semisal pernyataan mengenai hadiah peradaban, warisa sastra Inggris, dan sebagainya; (2) mengangkat isu-isu seperti rasisme dan eksploitasi; dan, (3) mempersoalkan posisi subjek kolonial dan pascakolonial.
Kedua, teori pascakolonial berusaha untuk melihat efek penjajahan yang masih berlangsung hingga saat ini serta kemungkinan transformasinya ke dalam bentuk-bentuk neokolonialisme (internal maupun global) dan juga respons resistensi atau wacana tandingan dari masyarakat terjajah terhadap kuasa penjajahan dengan tetap memperhatikan adanya ambivalensi atau ambiguitas.
Pemahaman teoretis tersebut mengisyaratkan adanya kata kunci dari penjajahan dan segala tindakannya, mengikuti pemikiran Foucauldian, yakni efek kuasa dari wacana dan pengetahuan penjajah ke dalam kebudayaan bangsa terjajah atau pernah terjajah: di masa lalu dan masa kini.
Bagi bangsa yang terjajah dan pernah terjajah, kondisi itu memunculkan kecenderungan untuk menjadi subjek pascakolonial yang melakoni bentuk, wacana, dan pengetahuan terkait dengan kebudayaan penjajah atau memungkinkan juga mereka bersifat resisten dalam bentuk ambivalensi peniruan.
Hibridisasi kultural jelas-jelas terjadi dalam konteks masyarakat pascakolonial. Mereka yang baru saja bangkit untuk mengisi kemerdekaan tentu memerlukan model-model ideal dalam membangun kebangsaan yang akan menopang keberlanjutan kehidupan bernegara.
Maka, model-model ideal dalam hal pemerintah, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya yang pernah dipraktikkan bangsa penjajah di tanah jajahan ataupun praktik-praktik lanjut di negara mereka.
Memang, slogan-slogan bombastis seperti "budaya nasional" bisa menjadi usaha untuk menjelaskan, menjustifikasi, dan memunculkan kesadaran bagi masyarakat pascakolonial untuk mengembangkan eksistensinya.
Bagi Fanon (1995: 153-157) budaya nasional memang bisa memancing dan memperkuat munculnya kesadaran nasional, tetapi juga bisa menghadirkan kembali proses retrogresi, kembalinya konservatisme tradisional, ketika kekuatan-kekuatan politik yang ada di negara pascakolonial kembali pada konsep kesukuan dalam membangun kesadaran politik dan budaya bangsanya.