Struktur, baik secara natural maupun sosial, bisa berubah karena proses interaksi dan relasi antarmanusia, termasuk budaya yang juga mempunyai struktur. Struktur tidak perlu digambarkan sebagai esensi. Masyarakat tidak perlu didefinisikan secara ontologis sebelum mereka dideskripsikan ketika mengerjakan sesuatu, untuk kemudian menganalisis bagaimana budaya menstrukturasikan praktik.
Penolakan terhadap kapasitas kausal budaya (atau bahasa) untuk menstrukturkan praktik kultural (atau tindak tutur) merupakan reaksi berlebihan terhadap determinisme kultural atau linguistik, sehingga kita tetap butuh struktur dan kompetensi bagi aktivitas transformasional (Bader, 2001: 254-256).
Baik pemikiran konstruktivisme dan realisme kritis sebenarnya menekankan adanya sebuah proses kultural yang tidak bisa lagi diterjemahkan sebagai sebuah kekakuan, tetapi sebuah proses yang sangat cair.
Identitas kultural adalah sebuah situs pertarungan di mana representasi-representasi yang dipengaruhi oleh bermacam wacana dominan dalam masyarakat dimunculkan oleh subjek-subjek sosial, sesuai dengan tempat, ruang, dan waktu partikular. Memang identitas kultural bawaan sangat mungkin tetap eksis dalam praktik sehari-hari masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya.
Namun, negosiasi citra, praktik, nilai, dan bentuk budaya lain bisa merekonstruksi kedirian dan identitas warga dalam masyarakat melalui bermacam adaptasi, peniruan, pemilihan, dan penerapan ragam budaya lain yang mereka lakukan (Hall dikutip Slack, 1997: 115).
Inilah yang menjadikan formasi wacana tentang hibriditas budaya berkembang pesat dalam masyarakat kontemporer karena terma tersebut mampu menjangkau dan menggambarkan serta lebih menjanjikan dalam membicarakan realitas identitas kultural dan budaya terkini.
Hibriditas Budaya di Tengah Globalisasi dan Pascakolonialitas
Sebagaimana dijelaskan oleh Bhabha, bahwa pada masa kolonial yang seringkali dipenuhi dengan praktik dan formasi diskursif dengan penekanan superioritas penjajah, subjek terjajah, nyatanya, mampu melakukan pembacaan dan taktik strategis untuk mengatasi problem kedirian dengan melakukan mimikri, pengejekan, dan hibriditas di ruang ketiga.
Kondisi tersebut, sampai dengan masa pascakolonial juga tetap berlangsung, baik pada awal-awal pascakemerdekaan maupun pada masa perkembangan lanjut dari sebuah bangsa dan negara.
Pada masa poskolonial, ketika kuasa administratif dan definitif dari penjajah sudah tidak berlangsung lagi di tanah bekas jajajan mereka, bermacam situs pertarungan kultural, ideologis, yuridis, ekonomi, sosial, maupun politik masih saja berlangsung dan seringkali bisa dilihat adanya pengaruh diskursif dari bangsa asing/bekas penjajah.