Dari sudut pandang kosmopolitan, keterikatan pada tradisi komunitas dalam jagat modern sepertihalnya hidup di Disneyland dan berpikir bahwa lingkungan sekitar seseorang mewujudkan apa-apa yang dibutuhkan budaya untuk eksis.
Masih lebih buruk lagi, hal itu sepertihalnya membutuhkan dana untuk hidup di Disneyland, sementara masih mengatur untuk meyakinkan diri seseorang bahwa apa yang terjadi di dalam Disneyland adalah segalanya yang ada hanyalah untuk hidup yang mandiri.
Dua pemikiran di atas bertemu dalam benang merah yang mengganggap saat ini sangat sulit untuk menemukan akar, identitas, dan makna kultural yang bersifat esensial dalam masyarakat atau komunitas tertentu.
Kekuatan akar kultural yang dulunya melekat pada jatidiri komunitas tertentu dan diaplikasikan melalui ritual dan tradisi, dari hari ke hari semakin banyak yang pudar atau bertransformasi ke dalam hibriditas yang tidak bisa dielakkan.
Esensialisme budaya, kemudian, mendapat kritik tajam dari kalangan konstruktivisme (constructivism) yang memaknai budaya sebagai (1) narasi wacana; (2) proses; dan (3) identitas.
Bader (2001: 256-261) menempatkan budaya sebagai konsep multidimensional yang salah satu dari dimensinya berkaitan erat dengan hubungan antarbudaya, habitus/sikap, dan praktik. Praktik,apa-apa yang dilakukan orang secara nyata, dipengaruhi oleh habitusnya (budaya yang terinkorporasi) dan oleh cara-cara dalam memandang dan melakukannya.
Konsep terakhir dari wacana, tidak hanya berupa bahasa, kerangka kognitif dan normatif atau ‘aturan’, citra, mitos dan simbol dunia, masyarakat dan diri (budaya simbolis); tetapi juga berupa kebiasaan, ritual, cara tradisional untuk bertindak, institusi dan nilai-nilai kebaikan (budaya material).
Sebagai sebuah proses, budaya dimaknai sebagai “membuat budaya”, “kreasi”, “perubahan”, “pertunjukan”, dan “sebuah proses tanpa akhir”.
Sebagai identitas, perlu dipahami bahwa praktik kultural bisa jadi secara relatif sangat stabil, sementara definisi identitas individual dan kolektif mungkin berubah secara cepat, atau sebaliknya. Definisi identitas kolektif etnis dan religius secara realtif bisa jadi stabil, sedangkan praktik kultural dan religius mungkin berubah secara cepat. Praktik kultural bisa menjadi salah satu basis bagi definisi identitas.
Sementara para pemikir realisme kritis memberikan pemikiran yang sekaligus mengkritisi essensialisme dan konstruktivisme dengan menekankan bahwa semua konsep dan teori adalah konstruksi sosial, termasuk pengetahuan saintifik, dan secara historis dan sosial mewujud, tetapi tetap memandang adanya struktur.