Masyarakat Using adalah entitas yang terus berkembang secara dinamis di tengah-tengah pengaruh modernitas dan kapitalisme pasar. Usaha-usaha untuk mengkonstruksi dan identitas kultural memang berlangsung, baik yang dilakukan atas prakarsa masyarakat maupun rezim negara.
Namun, proses tersebut tidak bisa menghilangkan realitas bahwa sejak zaman kerajaan, kolonial, hingga saat ini, masyarakat dan budaya Using mengalami dialog dan komunikasi kultural dengan masyarakat dan budaya lain yang datang silih berganti.
Dengan prinsip keterbukaan dan adaptasi kultural, masyarakat Using mampu terus memperbarui budaya mereka dengan nilai dan praktik modernitas sebagai akibat kapitalisme pertanian. Meskipun demikian, ada beberapa catatan yang kami munculkan terkait proses hibriditas kultural dalam masyarakat dan budaya Using.
Masyarakat Using adalah masyarakat yang dengan sadar menyeleksi dan memasukkan unsur-unsur budaya modern ke dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka bukanlah masyarakat yang anti-budaya modern.
Dalam kondisi demikian, hibriditas kultural yang berlangsung memang dilakukan dengan sengaja karena masyarakat membutuhkan nilai dan praktik baru yang mendekatkan mereka dengan perubahan zaman menuju modernitas.
Maka dari itu, melihat budaya Using harus dilakukan secara jeli dan kritis dengan menimbang faktor-faktor ekonomi politik, berupa kapitalisme pasar yang membawa aspek-aspek modernitas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sekali lagi, masyarakat Using bukanlah masyarakat tradisional, seperti halnya masyarakat Tengger dan masyarakat-masyarakat lokal lainnya.
Di tengah-tengah keberantaraan dan hibriditas kultural, masyarakat Using secara komunal masih berusaha menjalankan secara ajeg sebagian tradisi, semisal slametan, yang mereka warisi dari para leluhur.
Meskipun kesadaran makna-makna kultural-simbolik dari slametan tersebut semakin kurang dipahami, utamanya oleh generasi muda, tetapi dengan menggelar slametan mereka bisa mempererat perasaan komunal sehingga tradisi gotong royong dalam ritual juga masih kuat. Meskipun demikian, tradisi gotong royong dalam kerja pertanian sudah berganti dengan tradisi kerja berupah.
Hukuman kultural, seperti tidak dibantu ketika pindahan rumah, selalu menanti bagi warga yang tidak mau ikut gotong royong dalam ritual. Selain itu, institusi pernikahan menjadi sarana untuk memperkuat tradisi Using kepada generasi muda, karena begitu menikah mereka akan mengikuti kembali aturan-aturan komunal.
Realitas hibriditas kultural menghasilkan cara pandang untuk mengesensialisasi sebagian budaya lokal yang masih ada. Dengan cara demikian, mereka berusaha terus mengkonstruksi identitas di tengah-tengah modernitas. Ritual-ritual tetap dijalankan di beberapa, meskipun sudah kehilangan sebagian makna dan praktiknya yang asli.
Esensialisasi terhadap budaya lokal, nyatanya, mengundang masuk rezim pemodal untuk ikut berkontribusi sekaligus menginkorporasi keunikan kultural yang ada sebagai cara strategis memperluas pasar produk-produk industrial.
Hal ini merupakan permasalahan mendasar dalam hibriditas kultural yang dilakukan di tengah-tengah menguatkan kapitalisme pasar. Kalau tidak hati-hati, selebrasi ritual hanya menjadi rutinitas di mana makna kulturalnya mulai berubah karena lebih didominasi kepentingan pasar.
Salah satu ritual komunal Using yang mengundang keramaian massa adalah Gredoan. Ritual yang merupakan produk hibrid sebagai akibat pertemuan budaya Using dan tradisi Islam, berupa peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW ini. sudah mengalami transformasi sebagai akibat menguatnya pengaruh pikiran dan praktik modern di tengah-tengah masyarakat.
Anwar Hudijono dan Aryo Wisanggeni (Kompas, 20 Pebruari 2011) secara apik menjabarkan tradisi Gredoan di Desa Macanputih, Kecamatan Kabat, sebagai instrumen mempertemukan yang lelaki dan perempuan sebagai proses menuju perjodohan secara bermartabat.
Dalam tradisi Gredoan, seorang gadis akan berada di dapur membantu memasak sambil menanti di-gredo (tepatnya ditaksir) para pemuda. Para pemuda mengintip dirinya lebih dulu dari celah dinding gedhek (anyaman bambu). Lalu, para pemuda secara bergantian masuk melalui dapur dan berkenalan.
Kalau salah seorang pemuda merasa cocok dengan dirinya, esok harinya pemuda itu datang ke rumahnya. Gredoan itu dilakukan dengan pihak lelaki mengintip melalui celah gedek (dinding bambu) kemudian memasukkan lidi. Si perempuan memotong ujung lidi pertanda setuju di-gredo.
Lantas, terjadi percakapan yang dibatasi dinding dengan cara basanan (berpantun dalam bahasa Using). Jika setuju, esoknya si selaki datang melanjutkan hubungan.
Namun, tradisi ini sudah berubah. Seorang lelaki menggredo perempuan di sekitar panggung musik dangdut. Tidak ada bedanya dengan gaya gaul anak-anak muda pada umumnya di tempat lain.
Dalam gredoan format awal abad ke-21, ketika ceweknya mau ya, biasnaya saling bertukar nomor handphoneGredoan berasal dari bahasa Using "gredo", atau bahasa Jawa kuno, "gridu", yang berarti "menggoda".
Dalam perkembangan mutakhir, Gredoan bergerak berbalik arah. Kini menjadi media atau fasilitas bertautnya lelaki-perempuan secara lebih bebas sehingga banyak warga yang mulai gerah.
Untuk diikhlaskan mati seperti tradisi bathokan karena hanya memperburuk citra masyarakat Using, tampaknya tidak mudah karena 'Gredoan modern' mendapat penyangga baru, yaitu kekuatan modal dan komersil. Juga pemerintah setempat yang menjadikan proyek pariwisata.
Tradisi Gredoan memang berasal dari kearifan lokal masyarakat Using, khususnya di beberapa desa di Kecamatan Kabat, yakni Gomboroling, Macanputih, dan Tambong, dan satu desa di Kecamatan Rogojampi, Desa Cangkring. Tradisi ini berawal ketika mereka menyambut Maulud Nabi Muhammad SAW (Muludan).
Setiap tradisi Muludan, anak atau keponakan perempuan yang masih single akan membantu memasak di dapur. Dari dinding yang terbuat dari bambu para pemuda akan mengintip. Sebagai salam perkenalan, si pemuda memasukkan lidi. Kalau si gadis menarik lidi itu, berarti ia berkenan untuk berkenalan dengan si pemuda. Dari situlah awal hubungan dekat terbina dan mengarah ke pernikahan.
Namun, zaman sudah berubah; lain dulu, lain sekarang. Rumah berdinding bambu sudah semakin jarang, sehingga tidak bisa lagi mengintip anak gadis. Lucunya, meskipun proses Gredoan tradisional sudah tidak ada lagi, tradisi mencari jodoh dalam peryaan Muludan itu masih saja dinamai Gredoan.
Masyarakat Banyuputih dan desa-desa lainnya yang masih menjalankan tradisi itu, memiliki pola pikir esensialis dalam memandang sebuah ritual. Mereka membayangkan adanya peristiwa masa lampau yang tetap berlangsung di masa kini---sebuah budaya lokal.
Padahal adegan "memasukkan lidi ke dalam dinding bambu" sudah tidak ada lagi, diganti adegan berkenalan dengan cewek di depan panggung musik dangdut sembari bertukar nomor ponsel. Acara musik dangdut sebenarnya lebih "menjadi inti" dari tradisi Gredoan karena bisa mengundang banyak penonton.
Namun, esensialisme tersebut sah-sah saja karena mereka dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi punya kepentingan untuk menjadikannya kalender pariwisata yang diharapkan bisa menarik wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Bagi masyarakat Banyuputih, menggunakan nama Gredoan tentu "lebih layak jual".
Mereka bisa mengajukan proposal ke sponsor untuk memberikan dana, sehingga iuran warga tidak terlalu banyak. Untuk kepentingan itulah, mereka terus-menerus melaksanakan tradisi Gredoan, meskipun mereka sendiri sudah semakin jarang membangun rumah berdinding bambu dan semakin jarang pula anak gadis yang mau bertukar nomor ponsel karena "cowok-cowok suka kasar."
Sekali lagi, pertunjukan dangdut dengan suguhan lagu-lagu Banyuwangian dan penyanyi-penyanyi cantik-lah yang mengundang datangnya penonton, bukan lagi makna tradisi muludan ataupun perjodohan seperti berlangsung di masa lampau.
Dari pelaksanaan tradisi Gredoan, paling tidak, saya melihat adanya keinginan untuk melanggengkan ingatan kultural sebagai bentuk negosiasi identitas kultural di tengah-tengah modernitas yang dijalani masyarakat. Kepentingan untuk mengundang sponsor (kelompok pemodal) menjadikan proses pelanggengan tersebut berlangsung.
Pemodal berkepentingan untuk memperluas pasar produk-produk yang mereka hasilkan. Dengan kata lain, usaha untuk mengesensialisasi tradisi di tengah-tengah keberantaraan kultural masyarakat Using, nyatanya, memang dengan cepat diinkorporasi oleh pemodal yang memang sengaja diundang oleh masyarakat pelaku tradisi yang membutuhkan biaya.
Masyarakat tentu ingin ritual yang mereka gelar semakin meriah karena akan mendatangkan banyak orang, sehingga desa mereka akan mendapatkan kebanggaan sosial. Selain itu, warga yang memiliki aktivitas ekonomi seperti pedagang makanan dan minuman, mainan, serta rokok akan mendapatkan limpahan rezeki dari ritual tersebut.
Di sinilah bertemunya kepentingan kultural tradisional dengan hasrat ekonomi modern. Dalam kehidupan yang digerakkan oleh hasrat material sejak rezim Orde Baru dan tumbuh semakin pesat di masa pascareformasi, pertemuan dua kutub tersebut tidaklah mengherankan.
Bagaimanapun juga, masyarakat juga berhak mendapatkan rezeki ekonomi dari perhelatan yang mereka selenggarakan, meskipun hal itu berarti menjadikan ajang ritual sebagai perayaan penanda yang menyisakan sedikit petanda, berupa pemahaman terhadap makna ritual itu sendiri bagi kehidupan masyarakat.
Menariknya, Gredoan juga sangat tergantung pada kondisi ekonomi warga. Pada Februari 2011, hanya satu desa, yakni Macanputih, yang melaksanakan Gredoan, karena ketiga desa lainnya mengalami gagal panen. Artinya, ada pikiran ekonomis yang mengalahkan kekuatan Gredoan sebagai tradisi, meskipun untuk ritual Muludan tetap dilaksanakan karena tidak membutuhkan biaya terlalu banyak.
Lagi-lagi, dualisme orientasi antara "yang ekonomis" dan "yang kultural" bertemu dalam pikiran masyarakat Using di ketiga desa tersebut. Plihan tersebut tentu sangat masuk akal, karena Gredoan pada dasarnya hanya pengembangan dari upacara Muludan dan tidak berakibat apa-apa ketika tidak dilaksanakan.
Sebagai selebrasi identitas Using di keempat desa tersebut, Gredoan bukanlah sebuah keharusan ketika kondisi ekonomi tidak memungkinkan. Mereka lebih memilih menggunakan tabungan untuk melanjutkan hidup sehari-hari dan membuat slametan Muludan.
Kuatnya logika ekonomi dalam benak masyarakat Using-lah yang mengakibatkan ditiadakannya tradisi Gredoan di beberapa desa yang pada masa lampau melakukannya.
Hampir sama dengan perkembangan Seblang dan Gredoan, ritual Kebo-keboan di Alas Malang juga tidak luput dari masuknya pemodal dan rezim negara. Ritual ini dimaksudkan sebagai bentuk "penghormatan" kepada Dewi Sri, Dewi Kesuburan, dengan menampilkan rombongan manusia yang berdandan seperti kerbau sembari mengharap petani akan mendapatkan limpahan berkah dan keselamatan.
Makanya, para 'manusia kerbau' itu membajak sawah. Setelah itu, masyarakat berebut benih padi yang diyakini bisa menjadikan panen padi mereka melimpah. Sebagai sebuah kearifan dalam bentuk ritual, Kebo-keboan memang sangat ideal karena memadukan kerja-kerja pertanian dengan kekuatan kosmologis dan ekologis.
Pekerjaan mereka sebagai petani, baik pemilik sawah, penggarap, maupun buruh tani, menjadikan ritual tersebut memang sangat diperlukan kehadirannya.
Tidak penting sejak kapan mereka melakukan ritual tersebut, karena tradisi bertani pada masa lampau yang belum mengenal agama formal memang mendorong mereka untuk "berkomunikasi dengan kekuatan adikodrati" di luar nalar dan realitas yang mereka lakoni dalam bentuk ritual dan permohonan.
Ritual yang diawali dengan slametan bersama di jalan utama desa, ider bumi dengan visualisasi Dewi Sri, dan membajak sawah serta berebut benih padi ini, di masa kontemporer semakin meriah karena hadirnya pertunjukan seni seperti janger, gandrung, dangdut, maupun wayang kulit. Lagi-lagi, kehadiran sponsor sangat dibutuhkan.
Akibatnya, umbul-umbul sponsor dan umbul-umbul dinas semakin meramaikan ritual tradisi tersebut. Bahkan, baliho-baliho besar buatan sponsor ikut meramaikan jalan-jalan utama di Banyuwangi dengan tujuan agar masyarakat dari luar wilayah Alas Malang ikut hadir; bukan sekedar menikmati Kebo-keboan, tetapi juga menikmati 'parade sponsor' dan produk-produknya.
Untuk kepentingan daya tarik, tampilan esensial seperti manusia kerbau dan visualisasi Dewi Sri yang sangat cantik perlu dipertahankan, meskipun acara lainnya bersifat hiburan.
Usaha ini memang tampak mempertahankan kemurnian ritual, tetapi apa yang harus diingat adalah tetap saja baliho dan umbul-umbul sponsor ikut berkibar; memenuhi atmosfer Alas Malang, menumpang secara sah dalam kemurnian niat para manusia kerbau.
Selain itu, motivasi ekonomi pariwisata yang bersemayam dalam benak warga yang berkesesuaian dengan keinginan rezim negara menjadi bukti bahwa investasi makna modern tidak bisa dielakkan dalam praktik ritual, sesakral apapun keberadaannya di tengah-tengah masyarakat.
Berdasarkan paparan di atas, masuknya rezim pemodal ke dalam ritual masyarakat lokal memang menjadikan ritual semakin meriah. Apa yang paling kentara dari kemeriahan itu adalah tambahan atraksi seperti pagelaran musik dangdut yang, tentu saja, mampu mengundang banyak penonton, utamanya kaum muda.
Di satu sisi, melalui kemeriahan tersebut kita bisa melihat adanya transformasi kultural masyarakat lokal ke dalam atmosfer modern agar ritual mereka tetap hidup.
Di sisi lain, kemeriahan tersebut bisa menyebabkan disorientasi, di mana penonton, utamanya yang berasal dari luar desa tempat penyelenggaraan ritual, datang bukan didorong oleh niatan untuk meyakini makna-makna yang ada di dalam ritual, tetapi untuk menikmati atraksi tambahan yang gegap-gempita.
Meskipun banyak ritual yang sudah ditambahi atraksi hiburan, di Banyuwangi juga terdapat ritual-ritual sakral yang tidak ditambahi embel-embel hiburan. Apa yang menarik dicermati adalah bahwa kesadaran menjadikan ritual tradisi sebagai atraksi wisata, mulai berkembang dalam masyarakat dikarenakan oleh program pemkab Banyuwangi sejak era Orde Baru.
Ritual besar seperti Seblang di Bakungan dan Olehsari telah menjadi agenda wisata ritual pemkab. Bahkan, tradisi yang semula berorientasi kecil di Kemiren, oleh pemuka adat dan perangkat desa 'dibesarkan' dengan label Tumpeng Sewu.
Pertemuan antara kepentingan sakral untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan dalam ritual dengan pasar pariwisata menjadi penanda khusus betapa hibriditas dalam cara pikir telah memberi peluang untuk memeriahkan dan membesarkan ritual agar enak ditonton.
Meskipun demikian, dalam setiap kesempatan, pemuka adat dan masyarakat tetap meyakini ritual sebagai medium sakral yang mempertemukan doa manusia kepada kuasa Tuhan. Tidak mengherankan, meskipun sudah menikmati pesona modernitas, pesona ketradisionalan tidak bisa dihilangkan sepenuhnya dalam kehidupan masyarakat Using.
Sebagai buktinya, dalam ritual Seblang Bakungan 2011, misalnya, masyarakat dengan penuh semangat mendukung acara tahunan tersebut. Rizky Apriliyanti, seorang perempuan muda yang pernah kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Banyuwangi yang tinggal di Bakungan dengan lancar menceritakan asal-muasal dan pelaksanaan Seblang sebagai berikut.
Pembabatan Desa Bakungan yang dulunya merupakan hutan dengan banyak ditumbuhi bunga bakung di pelopori oleh salah satu orang dari Bali yang merantau ke daerah ini. Di saat orang-orang mulai membabat hutan yang akan dijadikan sebagai sebuah desa, salah satu dari orang yang membabat ini mengalami kesurupan dengan banyak berbicara sendiri tentang impian sebuah desa itu dan mulai mengeluarkan gending-gending.
Dari kejadian itu orang-orang menamakan Seblang yang diyakini sebagai sebuah wahyu untuk menjaga Bakungan dan dijadikan sebagai ritual di setiap tahunnya.
Seblang sendiri berasal dari kata "sebele ilang" yang artinya Seblang sebagai ritual yang dilakukan oleh masyarakat Bakungan untuk menghilangkan hal-hal yang membuat desa ini mendapat bencana dan dipercaya untuk menjaga pertanian agar tidak terganggu dari hama atau hal yang merugikan petani.
Seseorang akan yang menjadi Seblang haruslah dilihat dari garis keturunan penari Seblang yang pertama, apabila tidak dari garis keturunan, maka tidak dapat dikatakan sebagai Seblang. Sampai sekarang Seblang Bakungan sudah sampai generasi ke-11. Dan hal yang terpenting, untuk menjadi Seblang haruslah perempuan yang suci.
Kategori suci di Bakungan adalah ketika orang itu sudah lewat dari masa menstruasinya dan bersedia menjadi Seblang dengan hati yang bersih. Di dalam ritual Seblang ini terdapat dua belas gending yang dalam satu gendingnya terdapat permintaan agar desa Bakungan terhindar dari bahaya dan pertanian menjadi subur.
Isi setiap gending tersebut berbeda-beda. Salah satunya adalah gending Sukmo Ilang yang dapat membuat penari menghilang, peristiwa ini terjadi saat mbah Dewi menjadi Seblang. Ritual Seblang Bakungan ini juga megandung nilai keislamian, karena sebelum melakukan proses ritual berlangsung perlu dilakukan semacam sholat hajat, mengucapkan takbir dengan mengelilingi desa dan acara slametan.
Di Bakungan ritual Seblang harus diadakan di setiap tahunnya pada saat tanggal 15 purnama bulan haji. Tradisi ritual Seblang ini diyakini oleh masyarakat Bakungan sebagai penolak bencana dan untuk menyelamatkan desa, terutama di sektor pertaniannya.
Salah satu yang dipercaya yaitu janur (daun kelapa yang muda) yang digunakan Seblang disaat prosesi ritualnya diyakini oleh para petani sebagai penolak hama yang akan menghancurkan pertaniannya, dan janur ini seringkali diperebutkan oleh masyarakat dari dalam maupun luar bakungan. Begitu pula benda-benda lainnya yang dipercaya oleh warga bakungan sebagai pembawa berkah."
Ketika pelaksanaan Seblang, aroma gurih dari asap pemanggangan ayam tercium dari setiap rumah masyarakat adat Bakungan Kecamatan Glagah. Aktivitas di pagi menandakan akan di gelarnya ritual bersih desa kami.
Seperti ritual-ritual sebelumnya, para ibu sibuk mempersiapkan makanan, sedangkan ada beberapa bapak berkumpul di Sanggar Seni Bunga Bakung, yang juga sibuk mempersiapkan hiasan-hiasan dari janur dan hasil bumi sebagai salah satu pelengkap ritual. Terlihat kesibukan yang tidak seperti biasanya. Para bapak mempersiapkan gapura dari bambu.
Setelah persiapan di sanggar seni selesai, para sesepuh adat dan penari Seblang di iringi tabuhan gamelan berjalan beriringan menuju ke makam leluhur untuk memohon restu agar lancar dan tiada hambatan pada saat ritual di gelar. Dengan di siapkan tumpeng serta pecel ayam ritual memohon izin di makam leluhur di mulai.
Selanjutnya perjalanan rombongan sesepuh dan penari menuju ke sumber mata air suci penawar, di sana sudah menunggu beberapa sesepuh untuk melakukan ritual mohon berkah, keselamatan, dan kelancaran ritual. Setelah semua ubo rampe di siapkan, maka sang penari Seblang melakukan ritual mencuci wajah dan rambutnya, di ikuti sesepuh adat.
Selesai menyucikan diri di air sumber banyak warga yang tinggal di sekitar sumber berebut untuk mandi dan mengambil air suci yang di percaya berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit serta dimudahkan dalam segala hal termasuk jodoh dan rejeki.
Tepat pukul 18.00 WIB seusai sholat maghrib beberapa anak kecil memegang obor untuk mengelilingi desa di iringi sesepuh adat, dan sesampainya di sanggar seni, iring-iringan ini beserta masyarakat adat dan tamu dari birokrasi, mahasisiwa, dan budayawan Banyuwangi melakukan slametan dengan hidangan tumpeng pecel ayam.
Seiring waktu yang terus beranjak malam, penari Seblang sudah kerasukan dan siap untuk melakukan ritual tarian yang di yakini sebagai tarian tolak bala (atau pengusir sial dan bencana), di antar oleh aparat desa penari Seblang berjalan memutari altar sebanyak tiga kali.
Seblang Bakungan, samahalnya dengan Seblang Olehsari sangat meriah. Sebagian besar masyarakat desa hadir untuk ikut mendapatkan berkah dan keselamatan dari ritual tersebut. Begitupula para pengunjung dari desa lain. Ada pula pengunjung dari luar kota yang ingin mengabadikan momen ritual tersebut.
Para wartawan juga banyak yang datang. Mereka membaur dengan warga desa. Kesetiaan warga Bakungan dan juga warga Olehsari untuk terus menggelar ritual Seblang, selain untuk kepentingan pariwisata, juga menegaskan komitmen mereka terhadap nilai traidisional yang mengikat mereka secara komunal.
Bagi mereka, pelaksanaan ritual Seblang merupakan usaha untuk terus-menerus menegosiasikan identitas ke-Using-an mereka ketika nilai-nilai modernitas semakin biasa dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun, pemertahanan identitas kultural tersebut pada akhirnya mengundang kehadiran negara dengan program pariwisatanya dan pemodal dengan umbul-umbul sponsornya.
Keyakinan terhadap asal-usul dan kekuatan ritual, terus diwariskan dari generasi ke generasi, dari masa ke masa. Tuturan secara ajeg tentang ritual kepada generasi muda oleh orang tua atau pemuka adat, menjadikan mereka tetap memiliki kesadaran kolektif tentang pentingnya ritual.
Bahkan, kaum muda yang sudah mengenyam pendidikan modern, tetap meyakini ritual sebagai praktik kultural yang patut dipertahankan.
Penjelasan tersebut menegaskan bahwa meskipun kaum mengenyam pendidikan yang mengedepankan rasionalitas dan menikmati gaya hidup berbasis teknologi, seperti mahasiswa kebanyakan, dalam hal keyakinan tradisi, banyak dari mereka yang tetap berpegang teguh kepada tuturan yang diwariskan oleh orang tua dan para leluhur.
Warga dan kaum muda meyakini bahwa dalam ritual Seblang terdapat hal-hal mistis dan gaib yang jauh dari nalar akademis, seperti kesurupan dan keyakinan untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
Namun, karena hidup di Bakungan dan terlibat secara ajeg dalam ritual Seblang, April menganggap ritual tersebut sebagai sebuah kebenaran tradisi. Keberantaraan dan hibriditas kultural yang ia jalani, merupakan proses yang juga dijalani oleh banyak kaum muda Using.
Apa yang tidak bisa dielakkan ketika rezim negara menginkorporasi Seblang sebagai agenda pariwisata adalah masuknya elemen-elemen tambahan yang dianggap akan semakin memeriahkan ritual. Di Olehsari, misalnya, pemkab membangun sebuah panggung besar sebagai altar yang akan digunakan oleh penari ketika kesurupan.
Panggung itu terbuat dari bahan batu bata, semen, dan pasir. Namun, penari ternyata tidak mau kesurupan ketika berada di atas panggung tersebut. Jadinya, adegan Seblang tetap dilaksanakan di altar beralas tanah. Selain itu, di sekitar tempat pelaksanaan Seblang, pemerintah juga membangun tempat bilyard.
Meskipun tidak setiap hari Seblang dilaksanakan, tetapi kehadiran tempat bilyard tentu menghadirkan pemandangan lain yang sangat profan, berdampingan dengan altar yang dianggap sakral. Karena sudah kehendak negara, para pemuka adat dan masyarakat tidak kuasa menolaknya. Dan, banyak pula pemuda Olehsari yang memanfaatkan tempat bilyard tersebut.
Pengaruh lain dari kehadiran negara adalah intervensi mereka terhadap pelaksanaan ritual. Pada ritual Seblang Bakungan 2011, aparatus negara dari Kantor Dinas Budaya dan Pariwisata, melarang adegan sabung ayam sungguhan karena tidak sesuai dengan norma agama.
Menurut Surti, salah satu tokoh perempuan adat, mereka meminta penyelenggara untuk mengganti sabung ayam dengan sabung ayam-ayaman yang diperankan manusia. Setelah tarian pertama di bawakan, di adakan ritual sabung ayam akan tetapi sabung ayam yang seharusnya menggunakan ayam.
Dikarenakan banyak pihak yang ingin mendapatkan nama baik di hadapan Bupati, beberapa pihak mengganti ayam sesungguhnya dengan ayam buatan yang biasa di gunakan dalam pertunjukan seni tari, kekecewaan terlihat di raut muka para sesepuh.
"Bupati iku mong limang tahun tapi adat iku selawase" (Bupati itu hanya 5 tahun, tapi adat itu selamanya), ujar salah satu tokoh adat yang kecewa pada malam itu, emosi jelas terlihat dari semua masyarakat adat karena kearifan lokal di masyarakat adat sudah di intervensi negara.
Hingga acara usai kekecewaan masih bergelayut di raut muka para sesepuh adat. Mereka berkumpul untuk mendiskusikannya walau kondisi badan mulai kelelahan hanya karena tragedi pencitraan itu sudah tidak di rasakan lagi. "Hilang sakralnya" menjadi wacana yang berkembang di masyarakat ketika adu ayam diganti ayam yang diperankan manusia.
Para tokoh adat pun berharap agar ke depan intervensi terhadap ritual tidak lagi terjadi karena bisa berdampak terhadap perubahan makna dan bergeseranya kesakralan.
Sebuah ritual apabila terdapat campur tangan pihak lain yang mengakibatkan ritual itu melenceng dari semestinya diyakini akan menimbulakan hal yang buruk terutama untuk daerah yang bersangkutan karna sudah merusak keaslian dari ritual yang diyakini itu.
Hal ini juga terjadi pada Seblang Bakungan pada tahun 2011, karena ketakutan panitia penyelenggara pada pemerintah daerah di mana kepala pemerintahannya sangat kental dengan nilai keislaman sehingga mengganti beberapa bentuk dalam ritual tersebut.
Perintah aparat dari Dinas untuk mengganti adegan sabung ayam sungguhan adalah usaha untuk mencari muka, sekedar pencitraan, agar mendapatkan perhatian dan simpati dari Bupati Abdullah Azwar Anas. Pemuka adat dan penyelenggara jelas tidak berani menolak perintah tersebut, karena mereka rakyat biasa.
Intervensi untuk mengubah ayam sungguhan menjadi ayam-ayaman memang menunjukkan adanya kekurangpahaman birokrat terhadap makna sakral dari sebuah ritual.
Tampak jelas, mereka hanya menginginkan kesan baik dari bupati dan menyukseskan agenda pariwisata yang tidak bertentangan dengan agama. Ya, para pelaku tradisi memang seringkali berada dalam posisi tidak berdaya dan hanya bisa melampiaskan ketidakberdayaan tersebut dengan keluh-kesah yang menggugat si penguasa.
Celakanya, akibat pengubahan adegan sabung ayam tersebut, terdapat beberapa musibah yang diyakini oleh masyarakat Bakungan terjadi akibat pengubahan.
Menurut salah salah satu informasn, masyarakat bakungan mengalami kedukaan karna kematian yang berturut-turut pada warganya. Ketua panitia Seblang 2011 mendapat musibah kecelakaan dan mengalami luka parah. Ketua adat Bakungan mendapat musibah sakit yang tak kunjung sembuh.
Bendahara panitia dalam acara tersebut meninggal karena kecelakaan. Orang yang menjadi pemeran ayam di prosesi adu ayam meninggal karena kecelakaan. Demikian pula, penari Seblang-nya pun tiba-tiba meninggal.
Kejadian tersebut, kalau dikaitkan dengan pikiran modern, jelas tidak masuk akal. Namun, masyarakat pun tidak salah mengaitkan peristiwa-peristiwa tragis tersebut dengan berubahnya adegan adu ayam. Itu nalar kosmologis mereka di mana satu peristiwa tidak bisa dilepaskan dari peristiwa lain.
Dari sini seharusnya menjadi instropeksi yang dilakukan dari warga maupun pihak pemerintah, di mana yang namanya ritual janganlah dirubah keasliannya hanya untuk tuntutan beberapa pihak.
Terlepas dari apakah benar sakit dan meninggalnya beberapa pihak yang terlibat dalam Seblang 2011 dikarenakan pengubahan adegan sabung ayam, keyakinan masyarakat Bakungan, sekali lagi, menunjukkan masih kuatnya tradisi lisan dan nalar ghaib dalam masyarakat desa.
Mungkin mereka tidak pernah mengalami duka mendalam akibat tragedi beruntun seperti itu, sehingga asumsi publik segera dilarikan kepada bentuk hukuman oleh kekuatan ghaib kepada mereka yang terlibat. Yang pasti, tradisi memang memiliki nalar dan mekanismenya sendiri dan seringkali nalar modern Barat tidak mampu menjangkaunya.
Jadi, wajar kalau kalau kaum muda berpendidikan tinggi pun meyakini kalau sakit dan kematian yang berlangsung secara beruntun berasal dari intervensi rezim negara yang mengubah salah satu adegan dalam ritual yang diyakini kesakralannya itu.
Apa yang perlu dikritisi dari pelaksanaan ritual di Banyuwangi adalah bahwa memang benar masyarakat masih meyakini kebenaran tradisi, tetapi hal itu hanya bersifat temporer, pada waktu-waktu tertentu. Sementara, dalam kehidupan sehari-hari mereka sudah terbiasa dengan ilmu dan teknologi modern.
Hibriditas dalam konteks tersebut memang bisa menjadi "penjaga" agar mereka tetap terhubung dengan tradisi, tanpa harus menolak modernitas secara frontal. Memang benar ritual bisa menyemaikan identitas komunal Using, tetapi kehadiran negara telah menjadikan ritual sebuah medium untuk menjalankan niatan-niatan profan; mengeruk keuntungan finansial dari keyakinan adat.
Kehadiran negara seringkali hanya menimbulkan "kekacauan kultural" karena mereka dengan semena-mena berusaha menawarkan logika modern ataupun agamis terhadap pelaksanaan ritual yang sakral. Akibatnya, masyarakat dan pemuka adat-lah yang merasakan akibat tragisnya.
Rujukan
Apriliyanti, Rizky. "Seblang Bakungan." Komunikasi via e-mail, 1 Agustus 2012.
Handayani, Surti. 2011 (14 November). “Ritual Adat Seblang dan Ajang Pencitraan.” http://www.facebook.com/#!/notes/surti-handayani/ritual-adat-seblang-dan-ajang-pencitraan/300927103265018.
Hudijono, Anwar & Aryo Wisanggeni. 2011 (2 Februari). "Cari Jodoh di Paradise." Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2011/02/20/04045737/twitter-com?page=all.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H