Para wartawan juga banyak yang datang. Mereka membaur dengan warga desa. Kesetiaan warga Bakungan dan juga warga Olehsari untuk terus menggelar ritual Seblang, selain untuk kepentingan pariwisata, juga menegaskan komitmen mereka terhadap nilai traidisional yang mengikat mereka secara komunal.Â
Bagi mereka, pelaksanaan ritual Seblang merupakan usaha untuk terus-menerus menegosiasikan identitas ke-Using-an mereka ketika nilai-nilai modernitas semakin biasa dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun, pemertahanan identitas kultural tersebut pada akhirnya mengundang kehadiran negara dengan program pariwisatanya dan pemodal dengan umbul-umbul sponsornya.
Keyakinan terhadap asal-usul dan kekuatan ritual, terus diwariskan dari generasi ke generasi, dari masa ke masa. Tuturan secara ajeg tentang ritual kepada generasi muda oleh orang tua atau pemuka adat, menjadikan mereka tetap memiliki kesadaran kolektif tentang pentingnya ritual.Â
Bahkan, kaum muda yang sudah mengenyam pendidikan modern, tetap meyakini ritual sebagai praktik kultural yang patut dipertahankan.Â
Penjelasan tersebut menegaskan bahwa meskipun kaum mengenyam pendidikan yang mengedepankan rasionalitas dan menikmati gaya hidup berbasis teknologi, seperti mahasiswa kebanyakan, dalam hal keyakinan tradisi, banyak dari mereka yang tetap berpegang teguh kepada tuturan yang diwariskan oleh orang tua dan para leluhur.Â
Warga dan kaum muda meyakini bahwa dalam ritual Seblang terdapat hal-hal mistis dan gaib yang jauh dari nalar akademis, seperti kesurupan dan keyakinan untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.Â
Namun, karena hidup di Bakungan dan terlibat secara ajeg dalam ritual Seblang, April menganggap ritual tersebut sebagai sebuah kebenaran tradisi. Keberantaraan dan hibriditas kultural yang ia jalani, merupakan proses yang juga dijalani oleh banyak kaum muda Using.
Apa yang tidak bisa dielakkan ketika rezim negara menginkorporasi Seblang sebagai agenda pariwisata adalah masuknya elemen-elemen tambahan yang dianggap akan semakin memeriahkan ritual. Di Olehsari, misalnya, pemkab membangun sebuah panggung besar sebagai altar yang akan digunakan oleh penari ketika kesurupan.Â
Panggung itu terbuat dari bahan batu bata, semen, dan pasir. Namun, penari ternyata tidak mau kesurupan ketika berada di atas panggung tersebut. Jadinya, adegan Seblang tetap dilaksanakan di altar beralas tanah. Selain itu, di sekitar tempat pelaksanaan Seblang, pemerintah juga membangun tempat bilyard.Â
Meskipun tidak setiap hari Seblang dilaksanakan, tetapi kehadiran tempat bilyard tentu menghadirkan pemandangan lain yang sangat profan, berdampingan dengan altar yang dianggap sakral. Karena sudah kehendak negara, para pemuka adat dan masyarakat tidak kuasa menolaknya. Dan, banyak pula pemuda Olehsari yang memanfaatkan tempat bilyard tersebut.
Pengaruh lain dari kehadiran negara adalah intervensi mereka terhadap pelaksanaan ritual. Pada ritual Seblang Bakungan 2011, aparatus negara dari Kantor Dinas Budaya dan Pariwisata, melarang adegan sabung ayam sungguhan karena tidak sesuai dengan norma agama.