Tidak penting sejak kapan mereka melakukan ritual tersebut, karena tradisi bertani pada masa lampau yang belum mengenal agama formal memang mendorong mereka untuk "berkomunikasi dengan kekuatan adikodrati" di luar nalar dan realitas yang mereka lakoni dalam bentuk ritual dan permohonan.Â
Ritual yang diawali dengan slametan bersama di jalan utama desa, ider bumi dengan visualisasi Dewi Sri, dan membajak sawah serta berebut benih padi ini, di masa kontemporer semakin meriah karena hadirnya pertunjukan seni seperti janger, gandrung, dangdut, maupun wayang kulit. Lagi-lagi, kehadiran sponsor sangat dibutuhkan.
Akibatnya, umbul-umbul sponsor dan umbul-umbul dinas semakin meramaikan ritual tradisi tersebut. Bahkan, baliho-baliho besar buatan sponsor ikut meramaikan jalan-jalan utama di Banyuwangi dengan tujuan agar masyarakat dari luar wilayah Alas Malang ikut hadir; bukan sekedar menikmati Kebo-keboan, tetapi juga menikmati 'parade sponsor' dan produk-produknya.Â
Untuk kepentingan daya tarik, tampilan esensial seperti manusia kerbau dan visualisasi Dewi Sri yang sangat cantik perlu dipertahankan, meskipun acara lainnya bersifat hiburan.Â
Usaha ini memang tampak mempertahankan kemurnian ritual, tetapi apa yang harus diingat adalah tetap saja baliho dan umbul-umbul sponsor ikut berkibar; memenuhi atmosfer Alas Malang, menumpang secara sah dalam kemurnian niat para manusia kerbau.Â
Selain itu, motivasi ekonomi pariwisata yang bersemayam dalam benak warga yang berkesesuaian dengan keinginan rezim negara menjadi bukti bahwa investasi makna modern tidak bisa dielakkan dalam praktik ritual, sesakral apapun keberadaannya di tengah-tengah masyarakat.
Berdasarkan paparan di atas, masuknya rezim pemodal ke dalam ritual masyarakat lokal memang menjadikan ritual semakin meriah. Apa yang paling kentara dari kemeriahan itu adalah tambahan atraksi seperti pagelaran musik dangdut yang, tentu saja, mampu mengundang banyak penonton, utamanya kaum muda.Â
Di satu sisi, melalui kemeriahan tersebut kita bisa melihat adanya transformasi kultural masyarakat lokal ke dalam atmosfer modern agar ritual mereka tetap hidup.Â
Di sisi lain, kemeriahan tersebut bisa menyebabkan disorientasi, di mana penonton, utamanya yang berasal dari luar desa tempat penyelenggaraan ritual, datang bukan didorong oleh niatan untuk meyakini makna-makna yang ada di dalam ritual, tetapi untuk menikmati atraksi tambahan yang gegap-gempita.Â
Meskipun banyak ritual yang sudah ditambahi atraksi hiburan, di Banyuwangi juga terdapat ritual-ritual sakral yang tidak ditambahi embel-embel hiburan. Apa yang menarik dicermati adalah bahwa kesadaran menjadikan ritual tradisi sebagai atraksi wisata, mulai berkembang dalam masyarakat dikarenakan oleh program pemkab Banyuwangi sejak era Orde Baru.